Banjir Sumatra: Menteri LHK Soroti Adaptasi Iklim Indonesia, Mampukah?

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Hanif Faisol Nurofiq, menyoroti keterkaitan erat antara bencana banjir yang melanda Sumatera dengan fenomena perubahan iklim global. Pernyataan ini menggarisbawahi urgensi adaptasi terhadap perubahan iklim di Indonesia.

Menurut Hanif, peningkatan suhu perairan Indonesia menghilangkan status aman negara dari ancaman siklon tropis, meskipun secara geografis berada di garis khatulistiwa. Ironisnya, Indonesia dinilai belum memiliki kesiapan yang memadai dalam upaya adaptasi menghadapi dampak perubahan iklim yang semakin nyata.

“Selama ini, kita cenderung fokus pada aksi mitigasi, sementara upaya adaptasi kurang mendapatkan perhatian yang seimbang,” ujar Menteri LHK Hanif Faisol Nurofiq di Jakarta, Selasa (2/12).

Hanif menjelaskan bahwa aksi mitigasi seringkali terhambat oleh kebutuhan konsensus internasional. Sementara itu, upaya adaptasi menjadi krusial untuk mengatasi dampak langsung perubahan iklim, seperti yang sedang terjadi di Sumatera. Sayangnya, upaya mitigasi yang dirumuskan dalam COP30 belum membuahkan hasil yang konkret.

Lebih lanjut, Hanif menyoroti pentingnya mengoptimalkan forest and other land use (FOLU) Net Sink sebagai salah satu langkah adaptasi yang dapat dilakukan Indonesia. Inisiatif ini bertujuan untuk menyeimbangkan, atau bahkan melampaui, penyerapan gas rumah kaca dibandingkan dengan emisi yang dihasilkan oleh sektor kehutanan.

“Upaya yang dilakukan sektor FOLU memiliki potensi besar dalam menghadirkan ketahanan air dan memulihkan keanekaragaman hayati,” tegas Hanif.

Keterkaitan antara keanekaragaman hayati dan keseimbangan alam sangat penting. Kerusakan biodiversitas dapat mengganggu bentang alam secara keseluruhan. Apabila kondisi ini diperparah oleh perubahan iklim, alam akan kehilangan kemampuannya untuk menahan dampak buruk dan menjadi lebih rentan terhadap bencana.

Hanif tidak menyangkal adanya perubahan drastis pada bentang alam Indonesia, seperti yang terjadi di Batang Toru, wilayah yang terdampak parah oleh Siklon Tropis Senyar.

Ia menyoroti kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Toru yang didominasi oleh area penggunaan lain (APL) atau non-kawasan hutan. Alih fungsi lahan menjadi pertanian lahan kering maupun lahan basah menjadi penyebab utama kerusakan.

Menurutnya, jika area hulu DAS Batang Toru tetap dipenuhi dengan pepohonan, dampak bencana yang terjadi mungkin tidak separah saat ini. Hal ini menggarisbawahi pentingnya menjaga kelestarian hutan sebagai bagian integral dari upaya adaptasi terhadap perubahan iklim dan mitigasi risiko bencana.

Ringkasan

Menteri LHK menyoroti bencana banjir Sumatera sebagai dampak perubahan iklim global, menekankan urgensi adaptasi di Indonesia. Beliau menyebutkan peningkatan suhu perairan menghilangkan status aman Indonesia dari siklon tropis, sementara kesiapan adaptasi dinilai belum memadai. Selama ini, fokus lebih banyak pada mitigasi dibandingkan adaptasi.

Menteri LHK juga menyoroti pentingnya mengoptimalkan forest and other land use (FOLU) Net Sink sebagai langkah adaptasi, yang memiliki potensi besar dalam ketahanan air dan pemulihan keanekaragaman hayati. Kerusakan bentang alam, seperti di Batang Toru akibat alih fungsi lahan, memperparah dampak bencana. Menjaga kelestarian hutan menjadi integral dalam adaptasi iklim dan mitigasi risiko bencana.

Leave a Comment