Muamalat.co.id JAKARTA. PT Abadi Lestari Indonesia Tbk (RLCO), perusahaan yang bergerak di bidang pengolahan sarang burung walet, menetapkan harga penawaran saham perdana (IPO) pada level tertinggi, yaitu Rp 168 per saham. Sebelumnya, harga yang ditawarkan berkisar antara Rp 150 hingga Rp 168 per saham.
Samuel Sekuritas Indonesia, selaku penjamin emisi efek IPO RLCO, memberikan proyeksi positif terhadap prospek bisnis perusahaan ini. Analis Samuel Sekuritas Indonesia, Kenzie Keane, dalam risetnya yang terbit pada 30 September 2025, memperkirakan bahwa RLCO, sebagai salah satu pengolah dan eksportir sarang burung walet terbesar di Indonesia, berpotensi mencatatkan pertumbuhan pendapatan dengan tingkat pertumbuhan tahunan majemuk (CAGR) sebesar 21,5% dalam periode 2025-2027. Prospek cerah ini didukung oleh tingginya permintaan dari luar negeri dan kondisi industri yang kondusif, mengingat Indonesia memasok sekitar 75% kebutuhan sarang burung walet dunia.
Permintaan ekspor RLCO didominasi oleh Hong Kong dan China, dengan pangsa lebih dari 85%. Tren konsumsi sarang burung walet di kalangan generasi muda dengan daya beli tinggi terus meningkat di kedua negara tersebut. Selain itu, meningkatnya kesadaran global akan kesehatan juga menjadi faktor pendorong permintaan, yang tercermin dari pertumbuhan ekspor sarang burung walet Indonesia dengan CAGR 10 tahun sebesar 15,7%.
Di pasar domestik, perkembangan sektor makanan dan minuman (F&B) berbasis kesehatan turut mendukung prospek RLCO. Pasar suplemen makanan di Indonesia diperkirakan akan tumbuh dari US$ 3,24 miliar pada tahun 2024 menjadi US$ 4,72 miliar pada tahun 2030.
Lebih lanjut, analis Samuel Sekuritas Indonesia, Kenzie Keane dan Jonathan Guyadi, dalam risetnya memprediksi bahwa RLCO dapat memperkuat pertumbuhan bisnisnya melalui ekspansi portofolio produk consumer goods, yang saat ini menyumbang 88,5% dari total pendapatan. Produk-produk seperti ready-to-drink (RTD), ready-to-eat (RTE), dan minuman bubuk akan diarahkan ke pasar ekspor baru seperti Thailand dan Vietnam mulai kuartal II 2025. “Ke depan, perusahaan juga menargetkan pasar Amerika Serikat dan Filipina untuk memperluas jangkauan ekspornya,” tulis kedua analis tersebut.
Selain produk sarang burung walet premium, manajemen RLCO juga berupaya melakukan diversifikasi produk ke kategori berbasis protein alami, seperti kaldu ayam, kolagen, serta inovasi minuman dan makanan siap konsumsi. Melalui merek-merek seperti Lion Nest, Jade Nest, Realfood, dan Momiku, RLCO mengoperasikan tiga fasilitas produksi modern di Bojonegoro, Jawa Timur, yang mendukung kapasitas produksi besar, kontrol kualitas yang ketat, dan kesiapan ekspor yang kuat.
Samuel Sekuritas menilai bahwa laba RLCO berpotensi tumbuh pesat dan memiliki valuasi yang menarik, dengan potensi kenaikan harga (upside) hingga 43%.
Di bawah kepemimpinan CEO dan pemilik Edwin Pranata, RLCO mencatatkan lonjakan laba bersih lebih dari tiga kali lipat dalam lima bulan pertama tahun 2025, mencapai Rp14,5 miliar. Fokus pada produk non-sarang burung walet dengan margin nilai yang lebih tinggi serta penetrasi pasar ekspor baru menjadi mesin utama pertumbuhan laba di masa depan.
Valuasi perusahaan dihitung menggunakan model discounted cash flow (DCF) 5 tahun dengan weighted average cost of capital (WACC) 5,7% dan terminal growth 2,0%. Hasilnya, RLCO memiliki nilai ekuitas sebesar Rp 709 miliar atau Rp 227 per saham, mencerminkan price-to-sales ratio (P/S) 1,1x (diskon 45% dibandingkan emiten sejenis) dan memberikan potensi kenaikan hingga 43%. “Pada tahun 2025, return on equity (ROE) RLCO diperkirakan mencapai 19,1%, atau 49% lebih tinggi dari rata-rata industri,” ujar Kenzie dalam risetnya.
Dengan asumsi harga wajar Rp 227 per saham, maka potensi kenaikan harga saham RLCO adalah 35,12% dari harga IPO di Rp 168 per saham.
Meskipun demikian, Kenzie mengakui bahwa proyeksi pertumbuhan RLCO memiliki risiko, terutama terkait dengan potensi melemahnya daya beli konsumen, yang dapat mempengaruhi permintaan fast-moving consumer goods (FMCG) secara umum, serta peningkatan biaya consumer packaged goods (CPG). Kondisi ini dapat menekan kemampuan perusahaan untuk menaikkan harga dalam jangka pendek.
Untuk mengatasi tantangan tersebut, RLCO dapat menerapkan strategi price-pack agar lebih menarik bagi konsumen yang mencari nilai terbaik. Dengan permintaan global yang kuat, inovasi produk yang berkelanjutan, dan ekspansi agresif ke pasar baru, RLCO berada pada posisi strategis untuk mempertahankan pertumbuhan jangka panjang.
Komposisi kepemilikan saham RLCO saat ini adalah 97% dimiliki oleh Realco Omega Investama, 0,1% oleh Budiono, 2,9% oleh Edwin Pranata, dan 0,1% oleh Edi Haryanto. Setelah penawaran saham sebanyak 625 juta saham, yang setara dengan 20% dari modal ditempatkan dan disetor penuh, kepemilikan saham Realco Omega akan berkurang menjadi 77,6%, Budiono menjadi 0%, Edwin Pranata menjadi 2,3%, dan Edi Haryanto menjadi 0%.
Samuel Sekuritas juga membuat proyeksi kinerja RLCO untuk tahun 2025 hingga 2027. Pendapatan RLCO diperkirakan mencapai Rp 635 miliar pada tahun 2025 dengan laba bersih Rp 35 miliar. Pada tahun 2026, pendapatan dan laba bersih RLCO diproyeksikan meningkat menjadi Rp 773 miliar dan Rp 54 miliar. Sementara itu, untuk tahun 2027, Samuel Sekuritas memperkirakan pendapatan dan laba bersih RLCO akan mencapai Rp 952 miliar dan Rp 78 miliar.
Ringkasan
PT Abadi Lestari Indonesia Tbk (RLCO), perusahaan pengolahan sarang burung walet, menetapkan harga IPO Rp 168 per saham. Samuel Sekuritas memproyeksikan pertumbuhan pendapatan RLCO dengan CAGR 21,5% (2025-2027), didukung permintaan ekspor, terutama dari Hong Kong dan China, serta perkembangan sektor F&B berbasis kesehatan di domestik. Perusahaan juga berencana ekspansi produk consumer goods ke pasar ekspor baru seperti Thailand dan Vietnam.
Analis Samuel Sekuritas memprediksi potensi kenaikan harga saham RLCO hingga 43%, didasarkan pada model DCF dengan WACC 5,7%. Proyeksi pendapatan RLCO untuk tahun 2025, 2026, dan 2027 masing-masing adalah Rp 635 miliar, Rp 773 miliar, dan Rp 952 miliar, dengan laba bersih masing-masing Rp 35 miliar, Rp 54 miliar, dan Rp 78 miliar. Meskipun demikian, risiko terkait melemahnya daya beli konsumen dan peningkatan biaya CPG perlu diperhatikan.