
Muamalat.co.id JAKARTA. Longsor di tambang Grasberg Block Cave (GBC), PT Freeport Indonesia (PTFI), Distrik Tembagapura, Papua Tengah, Senin (08/09/2025), memicu lonjakan harga tembaga global. Insiden ini bukan hanya berita lokal, namun berdampak signifikan pada pasar komoditas internasional.
Berdasarkan data Bloomberg, pada Selasa (15/09/2025) pukul 13.40 WIB, harga tembaga kontrak pengiriman tiga bulan di London Metal Exchange (LME) melonjak dari US$ 10.067,50/ton menjadi US$ 10.186,50/ton. Kenaikan ini menandai level tertinggi sejak Mei 2024, menunjukkan dampak langsung dari gangguan pasokan akibat longsor.
Wahyu Laksono, Analis Komoditas dan Founder Traderindo, menjelaskan bahwa Grasberg, sebagai tambang tembaga terbesar kedua dunia berdasarkan cadangan, menyumbang sekitar 3,6% dari total produksi tembaga global. Penghentian sementara produksi akibat longsor inilah yang menjadi pemicu utama kenaikan harga. “Tambang Grasberg merupakan tambang tembaga terbesar kedua di dunia berdasarkan cadangan dan memproduksi sekitar 3,6% dari total produksi tembaga dunia,” ujar Wahyu kepada Kontan, Selasa (16/09/2025).
Ia menambahkan, penghentian produksi, walau bersifat sementara, memicu kekhawatiran supply disruption di pasar. Dengan permintaan yang tetap tinggi bahkan cenderung meningkat, harga tembaga pun naik untuk menyeimbangkan pasar, sesuai hukum ekonomi dasar. Situasi ini diperparah oleh cadangan tembaga yang relatif rendah di gudang-gudang LME dan Shanghai Futures Exchange (SHFE).
Potensi Tembus US$ 10.800 per Ton
Wahyu memproyeksikan harga tembaga berpotensi mencapai US$ 10.500 per ton dalam jangka pendek, bahkan hingga US$ 10.800 per ton dalam jangka menengah. Kenaikan ini akan berlanjut selama ketidakpastian pasokan masih ada, dan lamanya kenaikan harga bergantung pada kecepatan PT Freeport Indonesia dalam menormalisasi operasional dan menyelesaikan evakuasi karyawan.
Selain insiden longsor, faktor lain juga turut mendorong kenaikan harga. Meningkatnya permintaan dari sektor energi terbarukan, seperti panel surya dan kendaraan listrik, menjadi pendorong signifikan. “Tembaga merupakan komponen kunci dalam infrastruktur transisi energi, sehingga permintaan jangka panjangnya sangat kuat,” jelas Wahyu.
Lebih lanjut, sentimen makroekonomi juga berperan. Spekulasi penurunan suku bunga oleh The Fed (Federal Reserve) melemahkan dolar AS. Hal ini membuat tembaga lebih terjangkau bagi pembeli internasional dan meningkatkan minat beli, serupa dengan dampak yang terjadi pada harga nikel. “Faktor ini memberikan dorongan signifikan pada harga tembaga, yang saat ini berada di level US$10.000,” tutup Wahyu.
Ringkasan
Longsor di tambang Grasberg, Papua, mengakibatkan lonjakan harga tembaga global. Harga tembaga kontrak tiga bulan di LME mencapai US$ 10.186,50/ton, level tertinggi sejak Mei 2024. Kenaikan ini disebabkan oleh gangguan pasokan sementara dari Grasberg, tambang tembaga terbesar kedua dunia yang berkontribusi sekitar 3,6% terhadap produksi global.
Analis memproyeksikan harga tembaga berpotensi mencapai US$ 10.500 hingga US$ 10.800 per ton. Selain longsor, peningkatan permintaan dari sektor energi terbarukan dan pelemahan dolar AS akibat spekulasi penurunan suku bunga The Fed juga berkontribusi terhadap kenaikan harga. Lamanya kenaikan harga bergantung pada kecepatan pemulihan operasional PT Freeport Indonesia.