Muamalat.co.id, JAKARTA — Proyeksi harga emas pada perdagangan pekan depan tampak semakin cerah, didorong oleh konvergensi beragam sentimen pasar. Katalis utama yang menguatkan optimisme ini adalah meningkatnya spekulasi akan penurunan suku bunga acuan oleh bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve (The Fed).
Sepanjang pekan ini, harga emas dunia di pasar spot menunjukkan performa impresif, menguat lebih dari 2% dibandingkan pekan sebelumnya dan ditutup pada level US$3.443,50 per troy ounce. Kenaikan signifikan juga tercatat sepanjang Agustus 2025, dengan penguatan sebesar 4,7%. Sementara itu, kontrak berjangka emas Desember di Comex, yang menjadi tolok ukur pasar utama, turut menguat hampir 3% menjadi US$3.511,50 per troy ounce dalam kurun waktu satu pekan.

Di pasar domestik, harga emas Antam juga menunjukkan tren positif. Berdasarkan informasi dari Unit Bisnis Pengolahan dan Pemurnian Logam Mulia Antam pada pukul 08.30 WIB hari ini, harga dasar emas 24 karat ukuran 1 gram dijual seharga Rp1.980.000 per gram. Angka ini menandai kenaikan sebesar Rp51.000 dalam sepekan perdagangan terakhir, menegaskan momentum penguatan logam mulia di Indonesia.
Menanggapi pergerakan ini, pengamat pasar uang Ibrahim Assuaibi memprediksi harga emas dunia untuk perdagangan Senin (1/9/2025) akan berfluktuasi di kisaran support US$3.437 per troy ounce hingga resistance US$3.460 per troy ounce. Untuk prospek satu pekan ke depan, Ibrahim memperkirakan kisaran support di US$3.419 per troy ounce dan resistance di US$3.490 per troy ounce.
“Dalam semester II/2025, saya optimistis harga emas dunia bisa mencapai US$3.600 per troy ounce dan logam mulia di Rp2.150.000 per gram,” ungkap Ibrahim dalam keterangan tertulisnya pada Minggu (31/8/2025). Prediksi optimistis ini didasari oleh sejumlah sentimen krusial yang membentuk dinamika pasar emas global.
Dari ranah internasional, spekulasi mengenai penurunan suku bunga oleh The Fed pada September 2025 menjadi pendorong utama. Sentimen ini diperkuat oleh data yang menunjukkan pelemahan di pasar tenaga kerja Amerika Serikat. Ketua The Fed, Jerome Powell, secara terbuka mengakui penurunan kondisi pasar tenaga kerja dan mengisyaratkan potensi pemangkasan suku bunga sebesar 25 basis poin pada pertemuan September 2025.
Analisis pasar melalui CME FedWatch Tool memperkuat harapan ini, dengan probabilitas 82% terjadinya penurunan suku bunga sebesar 25 basis poin pada pertemuan The Fed di bulan September 2025. Ekspektasi ini secara fundamental mendukung daya tarik investasi emas sebagai aset yang tidak menghasilkan bunga.
Selain faktor moneter, aspek geopolitik juga turut berperan dalam mengerek harga emas. Harapan akan perdamaian meredup setelah Presiden AS Donald Trump mendesak Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky dan Presiden Rusia Vladimir Putin untuk berdialog langsung, sebelum mempertimbangkan pertemuan puncak trilateral. Ketegangan di Timur Tengah juga terus memanas menyusul serangan Israel ke Jalur Gaza yang bertujuan menguasai wilayah tersebut, kebijakan yang menuai pertentangan global.
Sentimen perang dagang juga masih membayangi pasar global. Langkah India yang agresif dalam membeli minyak mentah Rusia telah memicu penerapan tarif tambahan sebesar 25% oleh AS terhadap impor dari India, menambah lapisan ketidakpastian ekonomi global.
Analis Dupoin Futures Indonesia, Andy Nugraha, turut menegaskan arah bullish harga emas dunia berdasarkan indikator teknikal. Kombinasi pola candlestick dengan indikator Moving Average mengindikasikan tren naik yang diproyeksikan berlanjut hingga akhir pekan ini, bahkan berpotensi bertahan hingga pekan depan. “Jika tekanan bullish berlanjut, harga emas dunia berpotensi naik hingga ke area US$3.450 pada minggu depan,” jelas Andy.
Kendati demikian, Andy juga mengingatkan akan skenario alternatif. Apabila harga emas mengalami reversal dan menembus level kunci US$3.300, potensi penurunan lebih lanjut ke area US$3.250 dapat terjadi. Oleh karena itu, level US$3.300 dianggap sebagai titik krusial penentu arah pergerakan harga emas dalam jangka pendek.
Saat ini, pasar tengah menantikan rilis data Personal Consumption Expenditures (PCE) malam ini, yang merupakan indikator inflasi favorit The Fed. Data ini diperkirakan akan menjadi katalis utama bagi pergerakan harga emas dalam beberapa hari ke depan, menambah urgensi bagi investor untuk memantau perkembangan ekonomi makro.
Ekspektasi penurunan suku bunga terus menjadi faktor fundamental yang menopang harga emas, seiring dengan meningkatnya permintaan akan aset lindung nilai di tengah ketidakpastian ekonomi global yang masih bergejolak. Kondisi ini diperkuat oleh tren de-dolarisasi, di mana negara-negara BRICS dan Asia Tenggara secara signifikan mengurangi ketergantungan pada Dolar AS dengan memperbesar cadangan emas mereka.
Faktor politik di AS, termasuk wacana pemecatan salah satu gubernur The Fed, turut mendukung penguatan emas. Kontroversi semacam ini menimbulkan kekhawatiran terhadap independensi bank sentral, menambah kecemasan pasar dan mendorong investor mencari perlindungan pada emas. Situasi ini semakin relevan di tengah inflasi yang masih tinggi dan volatilitas pasar global yang meningkat. Bagi investor, emas tetap menjadi aset investasi yang menawarkan stabilitas di tengah puncak ketidakpastian politik dan ekonomi.