Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah strategis dengan menempatkan dana negara senilai Rp 200 triliun ke lima bank pelat merah utama. Kebijakan ini segera menjadi sorotan, dengan sejumlah analis menilai bahwa injeksi dana ini berpotensi menguntungkan bagi likuiditas perbankan, khususnya bagi emiten bank tertentu yang menjadi penerima manfaat.
Keputusan penting ini diresmikan melalui Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No. 276/2025, di mana Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menginstruksikan penyuntikan dana besar tersebut dalam bentuk deposito berjangka. Deposito ini menawarkan suku bunga sebesar 80,476% dari suku bunga acuan BI 7-DRR atau sekitar 4%, dengan tenor enam bulan yang memiliki opsi perpanjangan.

Distribusi dana negara tersebut menyasar beberapa emiten bank besar. PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) masing-masing menerima alokasi Rp 55 triliun. Selanjutnya, PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) mendapatkan kucuran dana sebesar Rp 25 triliun, dan PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS) memperoleh Rp 10 triliun.
Menteri Keuangan Purbaya menjelaskan bahwa penempatan dana ini bertujuan untuk memperlonggar likuiditas bank sekaligus mendorong pertumbuhan sektor riil. Ia secara tegas menekankan bahwa dana ini haram digunakan untuk membeli Surat Berharga Negara (SBN), memastikan fokus pada penyaluran kredit ke sektor-sektor produktif.
Bank Himbara Diguyur Likuiditas Rp 200 Triliun, Emiten di Sektor Ini Bakal Terpapar?
Meskipun demikian, Ekonom Panin Sekuritas Felix Darmawan berpandangan bahwa likuiditas perbankan sebetulnya masih cukup longgar sebelum adanya injeksi dana negara tersebut. Indikasi ini terlihat dari rasio pinjaman terhadap simpanan (loan to deposit ratio/LDR) yang relatif terjaga. Dari catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Agustus 2025, LDR perbankan berada di level 86,3%, sebuah angka yang memadai dalam kisaran ideal Bank Indonesia (BI) sekitar 80%–92%.
Selain itu, Felix melanjutkan, pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) perbankan juga masih lebih cepat dibandingkan pertumbuhan kredit. Merujuk data Bank Indonesia (BI), DPK perbankan pada Juli 2025 tumbuh 6,7% Year-on-Year (YoY), lebih tinggi ketimbang pertumbuhan kredit yang mencapai 6,6% YoY. “Jadi, dana pemerintah ini lebih bersifat booster untuk mempercepat penyaluran kredit ke sektor riil, bukan solusi darurat karena likuiditas kering,” kata Felix kepada Kontan, Rabu (17/9/2025).
Di sisi lain, Equity Research BRI Danareksa Sekuritas, Victor Stefano dan Naura Reyhan Muchlis, mengatakan bahwa dana ini secara otomatis tetap menambah likuiditas bank. Hal ini memungkinkan perbankan untuk menyalurkan dana pemerintah ke pinjaman baru sambil mengalihkan pinjaman yang jatuh tempo ke SBN. Peningkatan likuiditas ini terkonfirmasi dari catatan OJK, di mana rasio alat likuid terhadap DPK (AL/DPK) perbankan meningkat dari 22,53% pada 4 September 2025 menjadi 24,20%. Pada waktu yang sama, rasio alat likuid terhadap Non-Core Deposit (AL/NCD) juga meningkat dari 99,81% menjadi 107,10%.
Saham Bank Kembali Lanjutkan Penurunan Dalam pada Selasa (9/9/2025)
Meski demikian, Victor dan Naura mewaspadai potensi risiko. Jika bank harus menyalurkan kredit secara cepat, risiko pemburukan kualitas aset perbankan bisa meningkat, mengingat kondisi ekonomi yang masih lesu. Ini tercermin dari rasio kredit bermasalah (NPL) bank per Juni 2025 yang mencapai 2,22%, lebih tinggi ketimbang Desember 2024 yang sebesar 2,08%. “Dalam skenario ini, ada potensi penurunan tipis margin bunga bersih (NIM), kecuali bagi BBTN, satu-satunya bank dengan biaya dana (cost of fund/CoF) di atas 4%,” ujar Victor dan Naura dalam risetnya, Senin (15/9/2025).
Sebaliknya, bila tidak ada kewajiban ekspansi kredit yang agresif, bank berpeluang menurunkan biaya dana sebesar 1 basis poin (bps) hingga 13 bps. BBTN akan mendapat keuntungan terbesar mengingat suku bunga deposito berjangka yang tinggi serta porsi dana pemerintah yang diterimanya lebih besar. Jika bank mengganti deposito mahal, misalnya berbunga 6,5%, CoF menurut Victor dan Naura bisa turun lebih jauh, yakni 8–16 bps. Di sini, BBNI dan BBTN akan lebih diuntungkan lantaran porsi dana pemerintah terhadap total simpanan mereka lebih besar.
Tercatat, total DPK BBTN dan BBNI per Juli 2025 masing-masing mencapai Rp 400,82 triliun dan Rp 880,66 triliun. Ini berarti, dana tambahan tersebut mengambil porsi sekitar 6,23% dan 6,24% dari total dana simpanan BBTN dan BBNI sebelumnya. Porsi tersebut lebih besar bila dibandingkan dengan BMRI yang punya DPK Rp 1.421 triliun (3,87%), BBRI Rp 1.456 triliun (3,77%), dan BRIS Rp 327,70 triliun (3,05%).
Dampak pada Kinerja Saham
Terlepas dari potensi risiko, penempatan dana negara ini menurut Victor dan Naura dapat menjadi sentimen positif bagi saham perbankan. Adanya potensi perbaikan likuiditas dan kualitas aset menjadi faktor pendorong utama.
Felix Darmawan pun sepakat, menilai saham bank saat ini menjadi lebih menarik. Terlebih, Bank Indonesia baru-baru ini kembali memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 4,75%. Namun, Felix mengingatkan investor untuk tetap melakukan diversifikasi aset dan tidak menaruh semua modal pada saham bank. “Permintaan kredit belum sepenuhnya pulih, jadi investor perlu masuk lebih selektif,” ujar Felix.
Felix juga melihat bahwa saham bank sudah dalam kondisi overweight dan valuasinya tergolong mahal. Meskipun demikian, overweight di sini lebih mencerminkan besarnya porsi bank di Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), bukan berarti potensi kenaikan harga pupus. Laba perbankan juga dia perkirakan tetap solid sehingga bisa menopang harga saham.
Yang perlu diperhatikan investor ke depan ialah realisasi penyaluran kredit dari dana pemerintah, seberapa cepat transmisi pemangkasan suku bunga acuan ke profitabilitas bank, dan arah arus dana asing mengingat asing masih mengobral saham sektor perbankan.
Untuk pilihan investasi, Felix merekomendasikan bank BUMN besar seperti BBRI dan BMRI tetap menjadi favorit karena memiliki basis kredit yang luas dan dekat dengan program pemerintah. BBCA juga menarik untuk stabilitas jangka panjang, meskipun dengan valuasi yang lebih premium.
Sementara itu, baik Victor maupun Naura merekomendasikan buy saham BBCA, BMRI, dan BBNI dengan bidikan harga masing-masing Rp 11.900, Rp 5.900, dan Rp 4.800. Kemudian, mereka menyarankan hold saham BRIS, BBTN, dan BTPS dengan target harga Rp 2.900, Rp 1.400, dan Rp 1.500 per saham.
Ringkasan
Pemerintah mengalokasikan Rp 200 triliun dana negara ke lima bank BUMN (BBRI, BMRI, BBNI, BBTN, dan BRIS) melalui deposito berjangka dengan suku bunga 4%. Tujuan utama dari injeksi dana ini adalah untuk meningkatkan likuiditas perbankan dan mendorong penyaluran kredit ke sektor riil, bukan untuk pembelian Surat Berharga Negara (SBN).
Analis menilai injeksi dana ini sebagai sentimen positif bagi saham perbankan karena berpotensi memperbaiki likuiditas dan kualitas aset. Meskipun likuiditas perbankan saat ini dianggap cukup longgar, tambahan dana ini diharapkan mempercepat penyaluran kredit. Beberapa rekomendasi saham bank yang diberikan adalah BBRI, BMRI, BBCA, BBNI, BBTN, dan BRIS, dengan berbagai target harga.