Proyeksi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengejutkan mengindikasikan bahwa separuh dari jenis pekerjaan yang ada saat ini diprediksi akan lenyap pada tahun 2050. Lebih jauh, diperkirakan 60% anak-anak yang kini menempuh pendidikan di bangku sekolah dasar kelak akan berkarier di bidang yang bahkan belum eksis saat ini. Kondisi ini menuntut persiapan serius akan keterampilan masa depan yang relevan dan adaptif.
Menyikapi tantangan global tersebut, Direktur Regional UNESCO, Maki Katsuno, menegaskan bahwa transformasi menuju ekonomi berkelanjutan bukan hanya sekadar adaptasi kognitif semata. Dalam forum Indonesia International Sustainability Forum (IISF) 2025 di Jakarta, Sabtu (11/10), Maki menguraikan bahwa visi ini mencakup pembangunan ekonomi hijau serta industri yang secara fundamental lebih inklusif, baik secara sosial maupun budaya, demi menciptakan masyarakat yang lebih adil dan setara.

Maki menekankan pentingnya pengembangan keterampilan masa depan yang bersifat holistik, yang secara aktif mendorong pergeseran menuju ekonomi hijau. Ia mengidentifikasi setidaknya tiga pilar utama kemampuan yang krusial untuk dikuasai di era mendatang. Pertama, keterampilan insani (human skills) seperti kepemimpinan yang adaptif, kemampuan kerja sama tim yang solid, motivasi diri yang kuat, kelincahan (agility) dalam menghadapi perubahan, serta kesadaran diri yang mendalam. Keterampilan ini, menurutnya, adalah kunci bagi manusia untuk tetap relevan di tengah pesatnya laju otomatisasi dan digitalisasi yang mendefinisi ulang lanskap pekerjaan global.
Kedua, adalah kapabilitas teknis yang spesifik, terutama yang berkaitan dengan pembangunan infrastruktur hijau dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. UNESCO, tambahnya, secara aktif memberikan dukungan dan pelatihan untuk meningkatkan kapasitas tenaga profesional di sektor ekologi dan keberlanjutan. Kemampuan ini vital untuk menghadapi kompleksitas tantangan perkotaan, mulai dari manajemen risiko banjir yang efektif, peningkatan kualitas air, hingga penguatan ketahanan masyarakat di era modern.
Ketiga, keterampilan krusial yang tak terpisahkan adalah kemampuan untuk memahami dan mengolah data secara efektif. Maki menjelaskan bahwa upaya pemecahan isu-isu lingkungan tidak dapat dilepaskan dari fondasi data ilmiah yang akurat dan terpercaya. Sebagai ilustrasi, penanganan masalah air yang komprehensif memerlukan keahlian dalam pengumpulan data yang presisi, pemanfaatan teknologi penginderaan jauh, serta interpretasi data yang cermat demi penentuan solusi yang cepat dan tepat sasaran.
Namun, semua penguatan keterampilan ini, kata Maki, harus berakar pada sistem pendidikan yang kokoh dan responsif. Ia menyoroti fakta bahwa saat ini, hanya sekitar 53% kurikulum global yang menyentuh isu perubahan iklim, dan bahkan kurang dari 40% guru merasa percaya diri untuk membahasnya di kelas. “Kita harus serius dalam pendidikan dasar sebelum kita bisa membicarakan akses yang lebih luas terhadap keterampilan hijau yang lebih kompleks,” ujarnya, menekankan urgensi perbaikan kurikulum yang holistik.
Guna mengatasi kesenjangan mendalam tersebut, UNESCO mengambil langkah proaktif dengan berkolaborasi bersama perguruan tinggi dan organisasi kepemudaan. Inisiatif ini bertujuan untuk memperluas akses terhadap pendidikan lingkungan, khususnya bagi kelompok masyarakat yang selama ini kurang terjangkau oleh sistem pendidikan formal. “Kami berkomitmen untuk memastikan setiap individu memiliki kesempatan yang adil dalam memperoleh keahlian esensial yang dibutuhkan untuk mendukung transformasi ekonomi yang berkelanjutan dan ramah lingkungan,” tegas Maki.
Pada akhirnya, transformasi menuju ekonomi hijau, menurut Maki, melampaui sekadar adaptasi teknologi. Ia menuntut sebuah pergeseran paradigma yang mendasar, di mana sains, teknologi, dan nilai-nilai keberlanjutan diintegrasikan secara harmonis dalam sebuah sistem yang saling mendukung dan memperkuat demi masa depan yang lebih baik.
Ringkasan
PBB memprediksi bahwa separuh pekerjaan saat ini akan lenyap di tahun 2050. UNESCO menekankan pentingnya transformasi menuju ekonomi berkelanjutan yang mencakup ekonomi hijau dan industri inklusif. Hal ini membutuhkan persiapan keterampilan masa depan yang relevan dan adaptif, terutama keterampilan insani, kapabilitas teknis terkait pembangunan infrastruktur hijau, dan kemampuan mengolah data.
UNESCO berkolaborasi dengan perguruan tinggi dan organisasi kepemudaan untuk memperluas akses pendidikan lingkungan. Maki Katsuno menekankan bahwa penguatan keterampilan harus berakar pada sistem pendidikan yang responsif dan holistik, dengan mengintegrasikan sains, teknologi, dan nilai-nilai keberlanjutan.