Muamalat.co.id Menjelang pengumuman BI Rate hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) pada Rabu (22/10) ini, perhatian tertuju pada arah kebijakan moneter. Sejumlah ekonom telah menyampaikan pandangannya, terbelah antara mempertahankan suku bunga acuan di level 4,75 persen atau memangkasnya menjadi 4,50 persen.
Kepala Ekonom BCA, David Sumual, memproyeksikan bank sentral Indonesia akan menahan BI-Rate pada bulan Oktober ini. Menurutnya, langkah ini diambil setelah Bank Indonesia sebelumnya telah melakukan “front loading” atau penyesuaian suku bunga awal sebagai antisipasi sebelum potensi penurunan suku bunga The Fed.

David menambahkan bahwa dalam sebulan terakhir, terjadi arus keluar modal yang cukup besar dari instrumen SRBI dan SUN. Kendati demikian, ia menilai masih terdapat potensi penurunan suku bunga acuan pada akhir tahun, asalkan nilai tukar rupiah stabil dan menguat, serta The Fed melanjutkan kebijakan pelonggaran moneternya.
Senada dengan David, Ekonom LPEM FEB UI Teuku Riefky juga memiliki pandangan serupa. Ia mencatat fenomena menarik bahwa penurunan suku bunga The Fed yang biasanya menarik modal ke negara berkembang, kali ini justru tidak terjadi. Sebaliknya, Indonesia mengalami peningkatan arus keluar modal, dipengaruhi oleh kombinasi faktor eksternal dan domestik, di mana faktor domestik dinilai memiliki peran yang lebih besar.
Dampak dari tekanan ini terlihat jelas dari aksi jual bersih surat utang pemerintah oleh investor asing senilai 1,88 miliar dolar AS antara 17 September hingga 17 Oktober 2025. Kondisi ini turut menekan nilai tukar rupiah ke level Rp16.577 per dolar AS per 17 Oktober 2025, mencatat pelemahan 3,05 persen secara year-to-date (ytd). Merespons situasi ini, Bank Indonesia melakukan langkah stabilisasi yang menyebabkan cadangan devisa menurun menjadi 148,7 miliar dolar AS.
Meskipun inflasi saat ini masih terkendali, tekanannya diperkirakan akan meningkat menjelang akhir tahun. Oleh karena itu, Riefky menilai bahwa menjaga suku bunga acuan tetap di level 4,75 persen akan sangat membantu meredakan tekanan terhadap rupiah sekaligus memperkuat persepsi independensi Bank Indonesia di mata pasar.
Di sisi lain, Kepala Ekonom Permata Bank Josua Pardede berpandangan bahwa terdapat peluang bagi Bank Indonesia untuk menurunkan suku bunga sebesar 25 basis poin (bps) ke 4,50 persen. Ruang kebijakan ini terbuka lebar karena inflasi inti tetap terkendali dan tingkat suku bunga riil masih tergolong cukup tinggi.
Josua juga mencermati bahwa permintaan domestik belum sepenuhnya pulih, tercermin dari pelemahan keyakinan konsumen. Dengan demikian, penurunan suku bunga dapat menjadi stimulus yang efektif untuk mendorong konsumsi dan pertumbuhan kredit. Selain itu, likuiditas perbankan yang membaik juga dipercaya akan membuat transmisi kebijakan moneter semakin efektif, memungkinkan penurunan bunga lebih cepat tersalurkan ke sektor riil.
Tekanan terhadap rupiah juga relatif terjaga, berkat surplus neraca perdagangan, intervensi Bank Indonesia di pasar spot dan DNDF, serta faktor revaluasi cadangan devisa. Kondisi ini memberikan ruang gerak yang lebih aman bagi Bank Indonesia untuk melakukan penyesuaian suku bunga.
Hal senada juga disampaikan oleh Kepala Departemen Makroekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef), M. Rizal Taufikurahman. Ia berpendapat bahwa selain inflasi yang masih terjaga, keputusan penurunan BI-Rate tidak akan menimbulkan kejutan di pasar karena ekspektasi pasar keuangan domestik sudah menyesuaikan diri terhadap potensi pemangkasan ringan.
Dengan adanya stimulus fiskal tambahan di kuartal IV, Rizal meyakini bahwa pelonggaran moneter ringan justru akan memperkuat daya dorong permintaan agregat dan mendukung pemulihan intermediasi perbankan yang masih tertahan di kisaran pertumbuhan kredit 7-8 persen year on year (yoy).
“Dengan demikian, BI idealnya memangkas suku bunga 25 bps ke 4,50 persen, karena ruang inflasi aman dan transmisi kredit butuh dorongan. Risiko outflow tetap ada, tapi manageable bila diimbangi dengan intervensi valas yang terukur. Namun bila rupiah kembali tertekan, pause sejenak juga bukan langkah keliru karena kredibilitas stabilitas tetap prioritas utama,” kata Rizal, merangkum kompleksitas keputusan Bank Indonesia.