IPO Berkualitas: Saran OJK dan BEI untuk Investor Cerdas

Muamalat.co.id JAKARTA. Proses penawaran umum perdana saham atau Initial Public Offering (IPO) di pasar modal domestik masih diwarnai berbagai tantangan signifikan. Kondisi ini menjadi perhatian di tengah ambisi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang menargetkan pencapaian 1.100 emiten dan kapitalisasi pasar sebesar Rp 25.000 triliun pada akhir masa jabatan mereka.

Menanggapi target tersebut, Pengamat Pasar Modal dari Universitas Indonesia (UI), Budi Frensidy, menekankan pentingnya kualitas emiten yang akan melantai di bursa. Menurutnya, meskipun peningkatan jumlah emiten akan memperbesar pasar modal, kehati-hatian harus tetap diutamakan agar perusahaan yang masuk bukan hanya entitas kecil dengan kinerja yang rentan atau kurang stabil. Hal ini disampaikannya dalam diskusi RISE FORUM 2025 pada Rabu lalu (6/8/2025).

Budi juga menyoroti bahwa pendorong utama indeks pasar saham Indonesia saat ini adalah perusahaan-perusahaan konglomerat besar. Ironisnya, saham-saham yang tergabung dalam indeks LQ45 justru menunjukkan performa yang tertinggal. Di sisi lain, potensi masalah dapat timbul dari IPO dengan volume saham yang sangat besar, seperti yang dialami oleh PT Gojek Tokopedia GoTo Tbk (GOTO).

5 Perusahaan Masuk Pipeline IPO OJK, Nilainya Capai Rp 6,28 Triliun

Menurut Budi, pelaksanaan IPO jumbo sebaiknya tidak dipaksakan, terutama jika melibatkan triliunan saham yang beredar, karena pada akhirnya investor ritel yang berpotensi menanggung dampaknya. “Jika valuasi dilakukan sembarangan dan free float terlalu besar, ini akan menjadi masalah serius,” tegasnya. Meskipun jumlah investor ritel di Indonesia cukup banyak, pasar modal tetap didominasi oleh investor institusi besar yang sangat berperan dalam menentukan arah pergerakan pasar.

Oleh karena itu, Budi menekankan pentingnya mendukung perusahaan menengah yang mampu menggandeng konglomerat besar. Keberadaan konglomerat dengan komitmen kuat dapat menjaga harga saham dan mencegah kerugian bagi investor ritel. Hadirnya konglomerat besar seringkali menjadi kunci dalam menjaga stabilitas harga saham perusahaan yang baru melaksanakan IPO. Sebagai contoh, PT Merry Riana Edukasi Tbk (MERI) mengalami lonjakan harga saham signifikan setelah menarik perhatian konglomerat ternama, Hermanto Tanoko.

Komitmen Pemegang Saham Pengendali (PSP) dalam menjaga stabilitas harga saham juga krusial agar investor tidak dirugikan. “Dengan adanya PSP yang memiliki komitmen kuat untuk menjaga harga saham, investor ritel dapat merasa lebih aman dalam berinvestasi,” jelas Budi. Namun, rasio free float yang kecil dapat memengaruhi likuiditas saham. “Jika free float terlalu kecil, apalagi jika banyak saham dimiliki oleh investor asing, maka harga saham bisa sangat dipengaruhi oleh keputusan investor asing yang mungkin saja berpindah ke pasar lain yang lebih menarik,” tambahnya.

Kontribusi ke Pertumbuhan Ekonomi

Di kesempatan yang sama, Peneliti Indonesia Democracy Bridge Research Institute (Ind-Bri), Fauzan Luthsa, menyatakan bahwa perusahaan menengah yang melakukan IPO dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Dana hasil IPO, menurutnya, akan dimanfaatkan untuk perputaran modal kerja, penambahan kapasitas produksi, serta penambahan tenaga kerja. “Hal ini pada gilirannya akan berdampak pada peningkatan daya beli masyarakat,” ujarnya.

Dirut BEI Ungkap Ada Emiten Konglomerasi Siap IPO di Semester II-2025

Pengamat Pasar Modal, Dipo Satria Ramli, juga menyoroti peran OJK dan Bursa Efek Indonesia (BEI) dalam mengatasi masalah biaya dan regulasi, yang menjadi hambatan utama bagi perusahaan menengah untuk mengakses pasar modal. Biaya proses IPO yang tinggi, berkisar antara Rp 3 miliar hingga Rp 5 miliar, serta persyaratan administratif yang rumit, menyulitkan banyak perusahaan menengah untuk melantai di bursa.

“Perusahaan menengah sering kali terhalang oleh biaya yang sangat besar dan persyaratan yang ketat untuk memenuhi standar yang berlaku di papan utama pasar modal,” kata Dipo. Ia menambahkan bahwa peraturan yang berlaku di Indonesia seringkali mengacu pada standar papan utama, yang memang ditujukan untuk perusahaan besar dengan kapitalisasi pasar tinggi. “Sementara itu, perusahaan menengah memiliki karakteristik yang berbeda dan membutuhkan regulasi yang lebih fleksibel agar dapat masuk ke pasar modal,” pungkas Dipo.

Ringkasan

OJK dan BEI menyoroti tantangan dalam IPO, dengan target meningkatkan jumlah emiten berkualitas di pasar modal. Pengamat menekankan pentingnya kualitas emiten dan perlunya kehati-hatian agar perusahaan yang masuk memiliki kinerja yang stabil, terutama karena indeks pasar saham saat ini didorong oleh perusahaan konglomerat besar.

Disarankan untuk mendukung perusahaan menengah yang menggandeng konglomerat besar untuk menjaga stabilitas harga saham. Selain itu, komitmen Pemegang Saham Pengendali (PSP) juga krusial. Perusahaan menengah yang melakukan IPO dapat berkontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, namun biaya IPO yang tinggi dan regulasi yang ketat menjadi hambatan.

Leave a Comment