Wacana penyederhanaan mata uang atau redenominasi rupiah kembali mencuat ke permukaan, menarik perhatian berbagai kalangan di ekonomi Indonesia. Isu ini semakin hangat setelah Rancangan Undang-Undang (RUU) Redenominasi Rupiah masuk dalam rencana strategis Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk periode 2025-2029. Namun, realisasi kebijakan ambisius ini bukanlah perkara mudah, mengingat ia menuntut waktu panjang serta kondisi perekonomian Indonesia yang stabil dan kuat sebagai prasyarat utama.
Meskipun demikian, Bank Indonesia (BI), melalui Gubernur Perry Warjiyo, menegaskan bahwa bank sentral saat ini belum memprioritaskan langkah penyederhanaan mata uang tersebut. Dalam rapat dengan Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen Senayan pada Rabu (12/11/2025), Perry menyatakan, “Kami pada saat ini lebih fokus menjaga stabilitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Apalagi redenominasi itu memerlukan timing dan persiapan yang lebih lama.” Pernyataan ini jelas menunjukkan prioritas utama Bank Indonesia saat ini adalah stabilitas makroekonomi.
Senada dengan Gubernur BI, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa turut menyampaikan bahwa rencana penyederhanaan mata uang ini tidak akan terealisasi dalam waktu dekat, spesifiknya tidak akan dilakukan tahun depan (2026). Purbaya menekankan bahwa kebijakan redenominasi rupiah sepenuhnya berada di bawah wewenang bank sentral dan akan dijalankan sesuai kebutuhan pada waktunya. Ia kembali menegaskan pada Senin (10/11/2025) bahwa langkah ini tidak akan terwujud pada tahun 2026 mendatang, bahkan berkelakar agar dirinya tidak terus ‘digebukin’ terkait isu yang sejatinya menjadi domain Bank Indonesia, bukan Kementerian Keuangan.
Di sisi lain, Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbhakun memberikan gambaran lebih jauh mengenai tahapan pelaksanaan redenominasi rupiah. Ia menjelaskan, proses ini memerlukan waktu yang panjang karena melibatkan beberapa tahapan krusial, dimulai dari pembentukan Undang-Undang (UU). Misbhakun menekankan, meskipun nantinya UU Redenominasi Rupiah telah disepakati, penyederhanaan nominal uang — misalnya dari Rp1.000 menjadi Rp1 — tidak akan langsung berlaku serta merta.
Legislator dari Fraksi Partai Golkar tersebut melanjutkan, akan ada masa transisi yang idealnya berlangsung selama tiga tahun. Skenarionya meliputi satu tahun sosialisasi, satu tahun masa transisi, dan barulah implementasi penuh di tahun ketiga. Berdasarkan penjelasan ini, redenominasi rupiah berpotensi mulai berlaku penuh pada tahun 2029, dengan asumsi pembahasan UU selesai pada 2026, sosialisasi 2027, dan transisi 2028.
Lebih lanjut, Misbhakun memaparkan sejumlah prasyarat mendasar yang harus dipenuhi sebelum redenominasi rupiah dilaksanakan. Ini mencakup pertumbuhan ekonomi yang solid, tingkat inflasi yang rendah, serta stabilitas politik dan keamanan yang terjaga. Ia menilai, prasyarat tersebut cenderung telah terpenuhi di ekonomi Indonesia saat ini, dengan pertumbuhan ekonomi stabil di kisaran 5%, inflasi di kisaran 2%, dan dukungan koalisi pemerintah yang kuat di parlemen.
Meskipun demikian, keputusan akhir mengenai redenominasi rupiah sepenuhnya berada di tangan Presiden Prabowo Subianto. Misbhakun menegaskan kesiapan DPR untuk membantu pembahasan apabila RUU Redenominasi Rupiah secara resmi diajukan oleh pemerintah. “Memang kalau memang mau dibahas di tahun 2026, itu kita harus membahas Undang-undang. Kita persiapkan dengan baik,” ujarnya pada Rabu (12/11/2025).
Pelaksanaan penyederhanaan mata uang ini juga akan berdampak pada perlunya revisi beberapa UU terkait, seperti UU No. 7/2011 tentang Mata Uang dan UU No. 24/1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. Aspek lain yang tak kalah penting adalah sosialisasi masif. Misbhakun menekankan bahwa sosialisasi menyeluruh, terutama kepada pelaku usaha ritel, krusial untuk mencegah dampak negatif berupa kenaikan inflasi. Sebab, jika sebelumnya harga barang Rp5.500, pedagang ritel bisa saja membulatkan ke atas menjadi Rp6 setelah redenominasi, bukannya Rp5,5 atau pembulatan ke bawah menjadi Rp5.
Misbhakun juga meyakini bahwa redenominasi rupiah akan membawa banyak dampak positif bagi ekonomi Indonesia. Selain menjadikan sistem ekonomi lebih sederhana dan efisien, langkah ini juga diyakini dapat membangun kepercayaan diri nasional karena nilai mata uang akan tampak lebih kuat di mata publik dan internasional, memberikan citra yang lebih kokoh bagi rupiah.