Muamalat.co.id – Sebuah video yang memperlihatkan seorang nenek tidak dapat membeli roti karena hanya membawa uang tunai viral di media sosial dan memantik keprihatinan publik. Peristiwa tersebut menuai sorotan, karena sang nenek diminta melakukan pembayaran non-tunai menggunakan kartu atau QRIS, padahal ia tidak memiliki sarana pembayaran digital.
Ketua Komisi VII DPR RI, Saleh Partaonan Daulay, menyatakan kasus tersebut mengonfirmasi kekhawatiran yang sejak lama disampaikan terkait penerapan sistem pembayaran cashless yang dinilai tidak inklusif bagi seluruh lapisan masyarakat.
“Sebelum kejadian ini, saya sudah lama mengkhawatirkan masalah ini. Saya takut ada orang yang benar-benar tidak punya kartu. Tidak bisa bayar cashless. Nah, dugaan saya benar, akhirnya terjadi juga. Bahkan lebih dari itu, sudah viral,” kata Saleh kepada wartawan, Jumat (26/12).
Ia menilai, praktik penolakan pembayaran tunai bukan hanya merugikan konsumen, tetapi juga berpotensi melanggar hukum. Saleh mengungkapkan, dirinya kerap mengalami hal serupa ketika hendak membayar secara tunai di sejumlah restoran dan gerai.
“Saya sendiri saja, di beberapa restoran dan gerai, sering ditolak kalau mau bayar cash. Katanya, ketentuannya seperti itu dari atasan. Padahal, atasan mereka itu adalah warga negara biasa,” tegasnya.
Debit Kali Lamong Masih Tinggi, Sisa Luapan Air Masih Rendam 5 Desa di Gresik
Menurut Saleh, fakta bahwa tidak semua orang mampu atau terbiasa menggunakan teknologi digital harus menjadi perhatian serius pemerintah. Ia menilai, kasus nenek yang tidak bisa membeli roti tersebut menunjukkan adanya kelompok masyarakat yang tertinggal oleh sistem pembayaran digital.
“Adalah fakta yang nyata bahwa teknologi digital tidak semuanya relevan dan bisa dipakai oleh semua orang. Termasuk nenek yang mau beli roti O tadi. Dia disuruh bayar pakai Qris. Padahal, dia hanya punya cash,” tuturnya.
Saleh menegaskan bahwa secara hukum, setiap orang wajib menerima pembayaran menggunakan uang tunai selama Rupiah tersebut sah dan tidak diduga palsu. Penolakan pembayaran tunai tanpa dasar hukum dinilai bertentangan dengan Undang-Undang.
“Kasihan, dia ditinggalkan zaman. Padahal, menurut UU, setiap orang harus menerima pembayaran pakai uang cash. Hanya dikecualikan jika uang tersebut diduga palsu. Dan yg menduga, harus membuktikannya. Jika tidak ada bukti bahwa uangnya palsu, tidak ada alasan untuk menolak pembayaran cash,” ujarnya.
Karena itu, Saleh meminta pejabat berwenang bersikap tegas terhadap pihak-pihak yang memberlakukan kewajiban pembayaran non-tunai secara sepihak. Ia menilai praktik tersebut berpotensi menjadi preseden buruk jika dibiarkan.
“Menteri Keuangan dan Gubernur BI harus turun tangan. Apalagi, sudah banyak orang yang kritis dan mencermati masalah ini. Jangan lemah dalam menegakkan aturan. Apalagi, aturan tersebut secara eksplisit disebutkan di dalam Undang-undang,” tegas Saleh.
Ia menambahkan, ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang secara jelas melarang penolakan pembayaran Rupiah kecuali terdapat keraguan atas keasliannya.
“Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia perlu mengusut kasus serupa hingga tuntas agar tidak berdampak negatif terhadap kehidupan sosial, ekonomi, dan kepercayaan publik ke depan,” pungkasnya.