
Muamalat.co.id, JAKARTA – Presiden Korea Selatan, Lee Jae-myung, telah mengambil langkah mundur signifikan dengan membatalkan rencana kontroversial untuk menurunkan ambang batas pajak capital gain saham. Keputusan ini datang setelah usulan tersebut memicu gejolak pasar yang luas dan resistensi kuat dari jutaan investor ritel di negara tersebut.
Pembatalan kebijakan yang dilaporkan Bloomberg pada Senin (15/9/2025) ini merupakan respons langsung terhadap penolakan berbulan-bulan dari basis pemilih utama Lee, yang mayoritas adalah investor ritel. Usulan revisi aturan yang mengusulkan penurunan ambang batas pajak capital gain dari 5 miliar won menjadi 1 miliar won (sekitar Rp11 miliar) tersebut telah menuai kritik tajam dan bahkan memicu aksi jual masif pada Agustus, mengakibatkan miliaran dolar terhapus dari nilai pasar saham Korea.
Menanggapi kabar baik ini, pada Senin (15/9/2025), indeks acuan Kospi segera merespons positif dengan kenaikan 0,7% hingga mencapai rekor tertinggi, melanjutkan momentum reli yang telah terbangun sejak pekan lalu seiring ekspektasi pembatalan kebijakan. Ditopang oleh gelombang reformasi korporasi yang kuat dan euforia global terhadap Kecerdasan Buatan (AI), Kospi telah melonjak fantastis sekitar 42% sepanjang tahun ini, menjadikannya salah satu indeks saham dengan kinerja paling cemerlang di dunia.
Awalnya, otoritas pemerintah mengemukakan kebijakan pajak ini sebagai strategi vital untuk meningkatkan penerimaan negara dan menanggulangi tekanan ekonomi yang diakibatkan oleh tarif tinggi Amerika Serikat. Namun, setelah gelombang kritik keras yang menyatakan bahwa rencana tersebut dapat mengikis kepercayaan investor dan melemahkan pasar saham Korea yang sedang bergairah, pemerintah akhirnya memutuskan untuk mundur.
Menurut Hyosung Kwon, seorang ekonom terkemuka di Bloomberg Economics, langkah balik terkait pajak capital gain saham ini bukan sekadar persoalan konsistensi kebijakan. Lebih jauh, ia menyingkap kelemahan fundamental dalam aturan pajak terhadap pemegang saham besar, yang berpotensi memicu kekhawatiran investor ritel akan terjadinya aksi jual besar-besaran. Kwon menekankan, “Reformasi ke depan harus lebih tajam dan bebas distorsi agar kesalahan yang sama tidak terulang,” seraya menyerukan perbaikan sistem perpajakan yang lebih adil dan efektif.
Presiden Lee Jae-myung, yang selama kampanyenya berjanji untuk mendukung penuh pasar saham Korea, kini diperkirakan akan mengumumkan langkah-langkah alternatif guna menghimpun penerimaan negara sembari tetap memprioritaskan kebijakan penguatan sistem keuangan. Pembatalan aturan ini menjadi ujian awal yang krusial bagi kemampuan Lee dalam menyeimbangkan kebutuhan fiskal mendesak dengan komitmen politiknya, sekaligus mengukuhkan pengaruh besar sekitar 14 juta investor ritel Korea yang menyumbang dua pertiga dari total transaksi harian.
Aktivitas pasar saham Korea semakin memanas dengan dicatatnya arus masuk dana asing terbesar ke Kospi sejak 2013 pada pekan lalu. Menurut laporan Goldman Sachs, investor global secara bersih memborong saham Kospi senilai 4 triliun won, sebagian besar terfokus pada sektor teknologi. Jung Eui-jung, Kepala Korea Stockholders Alliance, sebelumnya telah dengan tegas menyatakan dalam sebuah konferensi pers, “Indeks Kospi 5.000 tidak bisa berjalan beriringan dengan ambang pajak capital gain sebesar 1 miliar won. Penurunan ambang batas pasti akan memicu gejolak sosial,” menggambarkan sentimen kuat para investor ritel.
Mendorong Kospi menembus 5.000 poin merupakan salah satu janji kampanye utama Presiden Lee, bahkan pemerintah telah membentuk komite khusus untuk mewujudkan target ambisius tersebut. Ini bukan kali pertama kekuatan investor ritel berhasil menggagalkan kebijakan pajak yang kontroversial. Akhir tahun lalu, partai yang menaungi Lee juga sepakat dengan usulan Presiden Yoon Suk Yeol untuk membatalkan rencana penerapan pajak capital gain atas pendapatan investasi finansial, setelah menghadapi resistensi keras dari para investor ritel.
Sebelumnya, Lee Jae-myung memang mengusulkan kenaikan pajak sebagai upaya mencari sumber penerimaan negara baru untuk mendanai janji-janji kampanyenya dan menutupi defisit anggaran di tengah pelemahan ekonomi yang ada. Hyosung Kwon kembali menegaskan, “Dengan sepertiga rumah tangga berinvestasi di saham, obligasi, atau reksa dana, pemerintah tidak bisa begitu saja mengabaikan tuntutan investor ritel.” Namun, ia juga mengingatkan bahwa dorongan Presiden Lee untuk kebijakan fiskal yang longgar menjadikan isu penerimaan negara sangat krusial. Lebih lanjut, Kwon menyimpulkan bahwa langkah mundur terkait pajak capital gain saham dan penundaan pajak investasi finansial berpotensi melemahkan penerimaan pajak sekaligus disiplin fiskal dalam jangka panjang.