Muamalat.co.id Utang pemerintah pusat hingga akhir kuartal II 2025 tercatat sebesar Rp 9.138,05 triliun. Angka ini menunjukkan penurunan signifikan dari posisi Mei 2025 yang mencapai Rp 9.177,48 triliun. Jumlah tersebut kini setara dengan 39,86 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, menempatkan rasio utang pada level yang relatif rendah dibandingkan negara lain di kawasan.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, Suminto, dalam media briefing pada Jumat (10/10), menegaskan bahwa rasio utang Indonesia berada pada “satu level yang cukup rendah, cukup moderate dibanding banyak negara.” Ia lantas membandingkan rasio utang Indonesia dengan negara tetangga seperti Malaysia yang telah mencapai 61,9 persen terhadap PDB, Filipina sebesar 62 persen, Thailand 62,8 persen, bahkan India yang menyentuh 84,3 persen dari PDB. Perbandingan ini menyoroti posisi fiskal Indonesia yang relatif stabil dan terkendali.

Secara rinci, total utang pemerintah pusat per Juni 2025 yang sebesar Rp 9.138 triliun terbagi menjadi dua komponen utama: pinjaman sebesar Rp 1.157 triliun dan Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 7.980 triliun. Pembagian ini memberikan gambaran jelas mengenai instrumen pembiayaan yang digunakan pemerintah.
Komponen pinjaman pemerintah mengalami sedikit kenaikan, dari Rp 1.147 triliun pada Mei 2025 menjadi Rp 1.157 triliun pada Juni 2025. Peningkatan ini didorong oleh kenaikan pinjaman dari luar negeri yang mencapai Rp 1.108,17 triliun (naik dari Rp 1.099,25 triliun pada Mei 2025) serta pinjaman dalam negeri yang juga naik tipis menjadi Rp 49 triliun (dari Rp 48,7 triliun).
Berbeda dengan pinjaman, utang dalam bentuk SBN justru menunjukkan tren penurunan yang positif. Total SBN turun dari Rp 8.029 triliun pada Mei 2025 menjadi Rp 7.980 triliun. SBN berdenominasi rupiah masih mendominasi dengan nilai Rp 6.484,12 triliun, menurun dari Rp 6.524,44 triliun di bulan sebelumnya. Sementara itu, SBN berdenominasi valuta asing juga turun menjadi Rp 1.496,75 triliun, dari posisi Mei 2025 sebesar Rp 1.505,09 triliun.
Suminto mengingatkan bahwa utang pemerintah pada akhirnya akan dibayar melalui penerimaan pajak dari masyarakat. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya bagi Indonesia untuk berhutang secara hati-hati, terukur, dan sesuai dengan kemampuan negara untuk membayar kembali pokok serta bunganya. “Saya bisa menerbitkan SUN tenor 5 tahun, 10 tahun, 20 tahun, bahkan 40 tahun, ini yang akan bayar anak cucu kita. Melalui apa? Membayar pajak, makanya utang ini sebenarnya future tax,” tegasnya, menyoroti tanggung jawab fiskal antar generasi.
Menurut Kementerian Keuangan, kenaikan nominal utang pemerintah sejalan dan dapat diimbangi oleh pertumbuhan PDB Indonesia. Ini mengindikasikan bahwa penarikan utang dilakukan berdasarkan asesmen terhadap proyeksi penerimaan negara di masa mendatang, memastikan keberlanjutan fiskal. “Utang akan dibiayai pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi akan menyebabkan kita mendapatkan penerimaan negara yang lebih tinggi juga, kemampuan membayar kita juga akan lebih tinggi,” pungkas Suminto, menggarisbawahi sinergi antara kebijakan utang dan prospek ekonomi nasional.
Ringkasan
Utang pemerintah pusat hingga akhir kuartal II 2025 tercatat sebesar Rp 9.138,05 triliun, menurun dari Rp 9.177,48 triliun pada Mei 2025 dan setara dengan 39,86% terhadap PDB. Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu, Suminto, menekankan bahwa rasio utang Indonesia relatif rendah dibandingkan negara lain seperti Malaysia, Filipina, dan Thailand.
Total utang terdiri dari pinjaman sebesar Rp 1.157 triliun dan SBN sebesar Rp 7.980 triliun. Suminto mengingatkan bahwa utang akan dibayar melalui penerimaan pajak dan menekankan pentingnya kehati-hatian dalam berutang, sesuai dengan kemampuan negara membayar. Kemenkeu menyatakan bahwa kenaikan utang sejalan dengan pertumbuhan PDB, memastikan keberlanjutan fiskal.