Pemerintah mengakui bahwa target penerimaan negara pada tahun 2026 menghadapi berbagai tantangan signifikan, khususnya pada sektor Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Selain dipengaruhi oleh volatilitas harga komoditas global, tahun depan menjadi kali pertama otoritas fiskal tidak akan menerima pemasukan PNBP dari dividen BUMN sama sekali.
Meski porsinya tidak sebesar penerimaan perpajakan yang mencakup pajak dan bea cukai, PNBP tetap memegang peranan penting. Dari total target pendapatan negara sebesar Rp3.153,6 triliun, penerimaan perpajakan dialokasikan sebesar Rp2.693,7 triliun, atau lebih dari lima kali lipat target PNBP yang ditetapkan sebesar Rp459,2 triliun.
Staf Ahli Bidang PNBP Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Mochamad Agus Rofiudin, menjelaskan bahwa fluktuasi harga komoditas seperti minyak mentah Indonesia (ICP) dan harga batu bara acuan (HBA) memiliki dampak langsung terhadap PNBP. Data Kemenkeu menunjukkan korelasi ini selama satu dekade terakhir; saat terjadi “commodity boom” pada periode 2018-2019 dan 2022-2023, penerimaan PNBP melonjak. Sebaliknya, terjadi penurunan tajam pada 2020-2021 akibat pandemi Covid-19.
Saat ini, dengan penurunan produksi dan harga migas maupun minerba, PNBP pun turut melemah. Sebagai gambaran, pada puncak “commodity boom” terakhir di tahun 2023, realisasi PNBP mencapai Rp612,5 triliun, dengan kontribusi utama dari PNBP Sumber Daya Alam (SDA) migas sekitar Rp116 triliun dan SDA nonmigas Rp135 triliun. Angka ini diperkirakan menurun pada tahun 2025, dengan proyeksi realisasi PNBP sebesar Rp477,2 triliun. Kontribusi dari PNBP SDA migas dan nonmigas masing-masing diperkirakan mencapai Rp114,6 triliun dan Rp115,5 triliun.
Agus lebih lanjut menguraikan bahwa penurunan ini disebabkan oleh merosotnya produksi batu bara akibat berkurangnya permintaan global. Tiongkok, sebagai pasar terbesar komoditas RI, kini beralih ke energi hijau dan membutuhkan batu bara berkualitas tinggi, sementara kualitas batu bara Indonesia rata-rata cenderung rendah. Bersamaan dengan itu, harga ICP juga turun dari US$83 per barel pada tahun 2024 menjadi US$70 per barel pada tahun ini. “Tentunya itu pengaruhnya besar. Satu dolar ICP itu pengaruhnya ke penerimaan kita Rp1,6 triliun,” ujarnya dalam Media Gathering APBN 2026 di Bogor, Jawa Barat, Jumat (10/10/2025).
Ditinggal Dividen BUMN
Selain harga komoditas, PNBP semakin tertekan dengan adanya pengalihan dividen BUMN ke Danantara. Kebijakan ini merupakan amanat revisi Undang-Undang (UU) No.1/2025 tentang BUMN. Sebelumnya, dividen BUMN tercatat pada pos kekayaan negara yang dipisahkan (KND) dalam PNBP. Realisasi terakhir pada tahun 2024 mencapai Rp86,4 triliun. Perubahan ini telah mulai terlihat pada APBN 2025, di mana penetapan awal PNBP KND sebesar Rp90 triliun, namun proyeksi realisasinya kini hanya Rp11,8 triliun.
Menurut Agus, faktor ini berkontribusi pada realisasi PNBP yang baru mencapai Rp306 triliun per Agustus, terkontraksi 20% (yoy) dari realisasi Agustus tahun sebelumnya yang sebesar Rp384,1 triliun. Meski demikian, Agus masih optimistis bahwa proyeksi PNBP sebesar Rp477,2 triliun untuk tahun ini masih bisa tercapai, meskipun sebagian dividen BUMN sudah tidak masuk.
Namun, untuk tahun depan, pemerintah otomatis menurunkan target PNBP keseluruhan menjadi Rp459,2 triliun dari proyeksi 2025 sebesar Rp477,2 triliun. Penurunan ini sejalan dengan tidak masuknya lagi dividen BUMN ke dalam APBN. “Karena KND-nya sudah enggak masuk lagi sama sekali. Kalau tahun ini kita masih dapet Rp11,8 triliun dividennya, tahun depan sudah enggak dapat. Atau kalau toh ada, saham pemerintah yang 1% merah putih itu kecil sekali hampir dimasukkan di target Rp1,8 triliun [tahun depan],” jelasnya.
Sementara itu, Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa turut menyoroti isu dividen BUMN yang kini tidak lagi masuk ke kas negara. Purbaya menyampaikan pandangannya ini saat menanggapi usulan agar APBN ikut menanggung utang proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) yang dikelola BUMN PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI. Ia menilai bahwa Danantara, yang kini mengelola dividen BUMN, seharusnya memiliki manajemen pembiayaan sendiri. “Harusnya mereka ke situ jangan ke kita lagi, kalau enggak, semua ke kita lagi. Termasuk dividennya, jadi ini kan mau dipisahin swasta sama government. Jangan kalau enak swasta, kalau enggak enak government,” tegas Purbaya melalui siaran virtual pada Media Gathering APBN 2026, Jumat (10/10/2025).
Ringkasan
Pemerintah menghadapi tantangan dalam mencapai target Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) tahun 2026 akibat volatilitas harga komoditas global dan hilangnya dividen BUMN. Fluktuasi harga minyak mentah Indonesia (ICP) dan harga batu bara acuan (HBA) berdampak langsung pada PNBP, yang diperparah dengan peralihan Tiongkok ke energi hijau dan kebutuhan batu bara berkualitas tinggi.
Selain penurunan harga komoditas, pengalihan dividen BUMN ke Danantara sesuai revisi UU BUMN semakin menekan PNBP. Realisasi PNBP dari dividen BUMN yang sebelumnya mencapai Rp86,4 triliun pada tahun 2024 diperkirakan hilang sepenuhnya pada tahun 2026, sehingga pemerintah menurunkan target PNBP keseluruhan menjadi Rp459,2 triliun.