
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Ketegangan hubungan antara Amerika Serikat (AS) dan China kembali memuncak, memicu kekhawatiran di pasar saham global. Pemicunya adalah pengumuman Presiden AS Donald Trump mengenai rencana penerapan tarif tambahan hingga 100% terhadap seluruh impor dari China. Tak hanya itu, Trump juga mengutarakan niatnya untuk memberlakukan kontrol ekspor pada berbagai perangkat lunak strategis mulai tanggal 1 November 2025.
Kebijakan agresif ini disampaikan Trump melalui akun media sosial pribadinya, dengan argumen bahwa China telah menerapkan pengendalian ekspor terhadap elemen tanah jarang atau rare earth elements, bahan vital dalam industri semikonduktor dan teknologi tinggi. Jika tarif baru ini benar-benar diberlakukan, bea impor atas barang-barang China akan melonjak jauh melampaui tarif 30% yang sudah berlaku saat ini, memperparah konflik dagang kedua raksasa ekonomi dunia.
Dampak langsung dari langkah ini terasa di pasar keuangan global. Bursa saham AS, Wall Street, anjlok tajam pada perdagangan Jumat (10/10/2025), dengan nilai pasar yang dilaporkan menyusut sekitar US$2 triliun. Ketiga indeks saham utama AS mengalami koreksi signifikan setelah pernyataan Trump tersebut. Pada Jumat (10/10/2025), Dow Jones Industrial Average merosot 878,82 poin atau 1,90% menjadi 45.479,60. Indeks S&P 500 ambles 182,60 poin atau 2,71% menjadi 6.552,51, sementara Nasdaq Composite anjlok 820,20 poin atau 3,56% ke posisi 22.204,43.
IHSG Bakal Tertekan Konflik Dagang AS dan China yang Kembali Panas
Menanggapi gejolak ini, pengamat pasar modal sekaligus Direktur Avere Investama, Teguh Hidayat, menjelaskan bahwa umumnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Indonesia cenderung bergerak searah dengan penurunan yang terjadi di bursa AS. Namun, Teguh menambahkan, kondisi pasar saham Indonesia saat ini disebut tidak sepenuhnya bergerak normal lantaran IHSG lebih banyak dipengaruhi oleh saham-saham konglomerat. “Kemungkinan sih IHSG turun ya tapi sedikit saja, bahkan tetap ada kemungkinan naik. Pada intinya tidak berpengaruh sama sekali pemberitaan yang di AS tersebut,” ujar Teguh kepada Kontan, Minggu (12/10/2025).
Meskipun demikian, Teguh mengingatkan bahwa saham-saham yang banyak dimiliki oleh investor asing, terutama di sektor perbankan seperti BBCA dan BBRI, berpotensi mengalami tekanan aksi jual. “Asing pasti panik dan akan keluar, tapi itu tidak akan bikin IHSG turun kalau di sisi lain saham-saham konglomerat justru naik,” tambahnya, menunjukkan dinamika pasar domestik yang unik.
IHSG Berpotensi Tertekan, Cermati Rekomendasi Saham untuk Senin (13/10)
Amankan Likuiditas
Lebih lanjut, Teguh menjelaskan bahwa koreksi di pasar saham AS kemungkinan masih bisa berlanjut tergantung pada hasil negosiasi antara pemerintah AS dan China dalam beberapa pekan ke depan. Dalam kondisi penuh ketidakpastian global seperti ini, fund manager global cenderung membutuhkan posisi cash dalam bentuk dolar AS untuk mengamankan likuiditas. “Di AS setiap kali terjadi penurunan saham dianggap sebagai kesempatan untuk buy the weakness. Jadi, fund manager akan butuh posisi cash. Kalau disuruh memilih, mereka pasti lebih fokus di pasar AS, karena potensi pertumbuhan ada di sana,” terang Teguh.
Teguh menambahkan bahwa, meskipun tekanan eksternal dapat menimbulkan aksi jual asing, struktur pasar Indonesia yang kurang normal membuat IHSG tidak akan terkoreksi terlalu dalam. Selain itu, Teguh juga menerangkan bahwa penurunan di pasar saham AS belakangan ini lebih dipicu oleh aksi ambil untung atau profit taking ketimbang perubahan fundamental. Teguh menjelaskan, saat pengumuman tarif pertama Trump pada April lalu, indeks S&P 500 sempat turun dalam ke sekitar 5.000. Namun pada perdagangan Kamis (9/10), indeks tersebut sudah berada di level 6.700, naik jauh dari posisi April.
“Jadi kemungkinan penurunan tersebut karena profit taking. Ada yang beli saham saat S&P turun, sekarang sudah naik tinggi dan ada momentum kayak ini yaudah profit taking dulu, karena ini namanya perang tarif engga akan beres dalam waktu singkat. Tapi secara keseluruhan, sebetulnya memang sudah tidak berpengaruh karena S&P secara keseluruhan sudah naik tinggi,” jelas Teguh.
Perang Dagang AS-China Kembali Berkobar, Simak Proyeksi IHSG Senin (13/10/2025)
Secara terpisah, Head of Investment Specialist Maybank Sekuritas, Fath Aliansyah, menilai bahwa dalam jangka pendek IHSG berpotensi mengalami volatilitas tinggi akibat sentimen yang muncul dari memanasnya hubungan antara AS dan China. Menurut Fath, koreksi tajam yang terjadi di bursa AS juga dapat menular ke berbagai negara, termasuk Indonesia. Hal ini, kata dia, bisa menjadi bagian dari rotasi aset yang dilakukan para pengelola dana untuk mengalihkan portofolio ke negara yang dinilai mampu memberikan return lebih baik ketika risiko meningkat atau saat mereka perlu menjaga likuiditas.
Namun, Fath menekankan, pergerakan IHSG banyak dipengaruhi aliran dana pada saham-saham milik konglomerasi besar. “Sehingga sangat mungkin sekali terjadi anomali atau terjadi rebound yang lebih cepat apabila terjadi koreksi sementara,” ucap Fath kepada Kontan, Minggu (12/10/2025).
Ringkasan
Ketegangan antara AS dan China kembali meningkat setelah pengumuman rencana tarif tambahan oleh Presiden Trump, memicu kekhawatiran di pasar saham global. Kebijakan ini dipicu oleh pengendalian ekspor elemen tanah jarang oleh China, yang dianggap vital bagi industri teknologi tinggi. Dampak langsungnya terlihat dari anjloknya Wall Street, dengan nilai pasar menyusut sekitar US$2 triliun.
Menurut pengamat pasar modal, Teguh Hidayat, IHSG di Indonesia cenderung terpengaruh penurunan bursa AS, namun tidak sepenuhnya normal karena dipengaruhi saham konglomerat. Saham-saham perbankan yang banyak dimiliki asing berpotensi mengalami tekanan jual. Koreksi di pasar saham AS mungkin berlanjut tergantung negosiasi AS-China dan kebutuhan cash dalam dolar oleh fund manager.