Setahun Prabowo-Gibran: BI ‘Dipaksa’ Biayai APBN, Independensi di Tepi Jurang

Muamalat.co.id , JAKARTA — Genap satu tahun kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, terjadi pergeseran signifikan dalam tren kebijakan moneter Bank Indonesia. Perubahan arah ini sontak memicu pertanyaan serius mengenai independensi Bank Indonesia sebagai bank sentral, sebuah pilar penting dalam stabilitas ekonomi nasional.

Sebagai informasi, sebelumnya Bank Indonesia cenderung mengetatkan kebijakan moneter untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah yang kala itu berada di bawah tekanan. Namun, kini fokus utama telah bergeser untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, sebagaimana ditegaskan oleh Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo. Perry menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi domestik masih belum mencapai kapasitas penuh nasional, sehingga dorongan terhadap permintaan domestik menjadi krusial. “Dari sisi Bank Indonesia, melalui sinergitas, semua kebijakan kami memang telah all out untuk pro growth dengan tetap menjaga stabilitas,” ungkap Perry dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur BI September 2025 secara daring, Rabu (17/9/2025).

Pemangkasan BI Rate dan Ekspansi Likuiditas

Langkah konkret dari orientasi pro-pertumbuhan ini terlihat jelas pada pemangkasan suku bunga acuan atau BI Rate. Sejak awal pemerintahan Prabowo-Gibran, bank sentral secara signifikan menurunkan suku bunga acuan sebesar 150 basis poin, dari 6,25% menjadi 4,75%. Perubahan ini kontras dengan periode sebelumnya, yaitu dari awal 2023 hingga akhir 2024, di mana Bank Indonesia mempertahankan suku bunga tinggi, berkisar antara 5,75% hingga 6,25%.

Tidak hanya melalui suku bunga, Gubernur Perry Warjiyo juga menegaskan komitmen Bank Indonesia dalam melakukan ekspansi likuiditas. Ini terlihat dari penurunan volume Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) sebesar Rp200 triliun, dari Rp916 triliun menjadi Rp716 triliun. Lebih lanjut, BI juga telah menyalurkan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) dalam jumlah besar, mencapai Rp384 triliun hingga minggu pertama September 2025, bertujuan untuk memperkuat dorongan pertumbuhan kredit dalam perekonomian.

Burden Sharing

Selain kebijakan moneter langsung, Bank Indonesia juga terlibat dalam mekanisme burden sharing dengan Kementerian Keuangan. Skema ini dirancang sebagai pembagian beban antara otoritas moneter dan fiskal untuk membiayai program-program prioritas strategis pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Berdasarkan keterangan bersama BI dan Kemenkeu, pembagian beban ini dilakukan dengan membagi rata biaya bunga setelah dikurangi imbal hasil dari penempatan dana pemerintah pada lembaga keuangan domestik, efektif berlaku mulai tahun 2025 hingga program tersebut berakhir.

Mekanisme burden sharing dieksekusi melalui pemberian tambahan bunga ke rekening pemerintah di Bank Indonesia, memperkuat peran BI sebagai pemegang kas negara. Dalam praktiknya, otoritas fiskal dan moneter akan menanggung bersama beban bunga utang sebesar 2,9% untuk program perumahan rakyat dan 2,15% untuk Kopdes Merah Putih. Formulanya mencakup pengurangan hasil penempatan dana pemerintah di perbankan dari yield SBN 10 tahun, kemudian sisanya dibagi dua antara Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia. Keterangan bersama pada Senin (8/9/2025) menegaskan bahwa “Besaran tambahan bunga oleh Bank Indonesia kepada pemerintah tetap konsisten dengan program moneter untuk menjaga stabilitas perekonomian serta bersinergi untuk memberikan ruang fiskal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional dan meringankan beban rakyat.”

Ikut Dukung Sektor Riil

Perubahan peran Bank Indonesia tidak berhenti pada kebijakan moneter dan fiskal. Terdapat wacana eksplisit untuk melibatkan Bank Indonesia dalam mendukung sektor riil melalui Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas UU No. 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU P2SK). RUU ini telah disetujui sebagai usulan DPR dalam rapat paripurna pada Kamis (2/10/2025), dan kini menunggu pembahasan lebih lanjut antara pemerintah dan DPR melalui daftar inventarisasi masalah (DIM).

Draf RUU P2SK memuat ketentuan baru yang signifikan terkait peran Bank Indonesia. Jika dalam UU P2SK yang berlaku saat ini, Pasal 7 angka 2 dalam Pasal 9 menyatakan peran BI sebatas menjaga stabilitas nilai rupiah, memelihara stabilitas sistem pembayaran, dan menjaga stabilitas sistem keuangan demi mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, draf terbaru memperkenalkan ayat baru dalam Pasal 7. Ayat ini secara spesifik mengatur peran baru BI untuk “menciptakan lingkungan ekonomi yang kondusif bagi pertumbuhan sektor riil dan penciptaan lapangan kerja”.

Penjelasan dalam draf RUU P2SK merinci bahwa peran tambahan bank sentral ini akan diwujudkan melalui sinergi antara kebijakan moneter dengan kebijakan fiskal dan sektor riil pemerintah. Tujuannya adalah mendorong lingkungan ekonomi yang suportif bagi pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja, meliputi terwujudnya iklim investasi yang sehat, digitalisasi, peningkatan daya saing ekspor, produktivitas sektor riil, pemberdayaan ekonomi masyarakat, serta pengembangan ekonomi inklusif dan hijau. Selain itu, draf RUU P2SK juga menambahkan tugas baru yang sebelumnya tidak diatur: Pasal 57 ayat (1) angka 28c mengamanatkan BI untuk melaksanakan program edukasi serta pemberdayaan masyarakat dan lingkungan secara inklusif.

Leave a Comment