Bisnis.com, JAKARTA – BRI Danareksa Sekuritas memprediksi tren penawaran umum perdana saham (initial public offering/IPO) akan lebih semarak pada 2026 dibandingkan realisasi 2025. Meskipun begitu, sejumlah prasyarat mesti dipenuhi untuk memberikan ekosistem yang menarik bagi calon emiten tercatat.
Proyeksi Analis BRI Danareksa Sekuritas Chory Agung ihwal kondisi pasar perdana saham pada 2026 salah satunya didasarkan pada proyeksi IPO global yang cenderung menguat di tengah volatilitas pasar.
Laporan EY Global IPO Trends 2025 menunjukkan bahwa tren IPO pada 2026 cenderung optimis di seluruh pasar global.
: Sektor Konsumer dan Properti Absen dari Pipeline IPO Akhir Tahun 2025
Meskipun begitu, pada saat bersamaan, investor akan kian selektif dalam memilih saham baru ke depannya dengan fokus pada profitabilitas, tata kelola, dan monetisasi teknologi seperti AI.
“IPO Indonesia diperkirakan akan lebih aktif di 2026 dibandingkan 2025, tetapi akan tetap bergantung pada kualitas emiten dan kondisi pasar secara luas,” katanya kepada Bisnis, dikutip Selasa (23/12/2025).
: : 9 Calon Emiten Antre IPO, BEI: Ada 6 Perusahaan Aset Jumbo
Adapun sepanjang 2025, terdapat 26 perusahaan anyar yang mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia. Realisasi itu masih berada di bawah target BEI sebanyak 45 perusahaan tercatat baru. Bahkan, realisasi pada 2025 jauh di bawah realisasi IPO BEI sejak 2017.
Lesunya tren IPO sepanjang 2025 ditengarai beberapa faktor, salah satunya sentimen global yang kian tidak menentu. Menurutnya, ketidakpastian ekonomi global telah mendorong investor dan banyak emiten menunggu waktu yang lebih kondusif untuk melantai di Bursa.
: : Aksi IPO 2025: EMAS Himpun Dana Paling Jumbo, Saham COIN Paling Moncer
“Kondisi ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di pasar global yang mengakibatkan banyak perusahaan mengurangi mendaftar IPO atau menundanya,” kata Chory.
Dari dalam negeri, fokus BEI pada kualitas dan ukuran emiten dinilai menjadi salah satu alasan lesunya IPO Tanah Air belakangan. Menurutnya, terjadi pergeseran tren IPO ke kualitas emiten yang memiliki fundamental kuat dan prospek jangka panjang.
Terakhir, sentimen investor terhadap kondisi pasar saham Tanah Air turut mengambil peran terhadap lesunya minat IPO di Indonesia. Menurutnya, kinerja IHSG yang volatil serta kekhawatiran investor terhadap pasar modal telah mendorong perusahaan lebih jauh dari BEI.
“Lesunya pencatatan saham selama 2025 akibat kombinasi antara sentimen makro yang lemah, ketidakpastian pasar, fokus pada quality over quantity, serta kondisi valuasi yang tidak ideal bagi emiten yang ingin go public,” katanya.
Memasuki 2026, Chory menilai peluang pencatatan saham di BEI akan lebih besar. Namun, sejumlah kondisi makroekonomi dinilai bakal menentukan realisasinya ke depan. Namun, dia tidak menerangkan proyeksi jumlah IPO pada tahun mendatang.
Kendati stabilitas ekonomi, penurunan volatilitas, serta suku bunga yang lebih rendah bisa mendorong minat IPO, tetapi Chory menilai persepsi investor terhadap pasar modal Tanah Air juga menjadi sentimen kunci lainnya.
“Momentum pencatatan di 2026 belum bisa dipastikan sepenuhnya hidup tanpa perbaikan dalam sentimen investor, fundamental perusahaan, dan kondisi makro global, termasuk likuiditas pasar dan persepsi risiko,” tegas Chory.