
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Presiden Prabowo telah merilis rancangan postur anggaran negara untuk tahun 2026, memproyeksikan target pertumbuhan ekonomi yang ambisius sebesar 5,4%.
Dalam dokumen Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, pendapatan negara ditargetkan mencapai Rp 3.147,7 triliun, merepresentasikan kenaikan 4,76% dibandingkan target APBN 2025. Sementara itu, belanja negara ditetapkan sebesar Rp 3.786,5 triliun, tumbuh 4,56% dari tahun ini. Dengan proyeksi tersebut, defisit anggaran tahun depan diperkirakan mencapai Rp 638,8 triliun, atau setara 2,48% dari total Produk Domestik Bruto (PDB).
Pandangan Pelaku Pasar
Merespons proyeksi ini, sejumlah pengamat pasar modal memiliki pandangan yang bervariasi. Direktur Avere Investama, Teguh Hidayat, menilai RAPBN 2026 yang disusun pemerintah terlalu optimistis, berpotensi dianggap kurang realistis oleh pelaku pasar. “Di satu sisi pemerintah enggak boleh pesimis, harus optimis. Tapi kalau jadinya kurang realistis, ya mungkin investor juga malah menjadi ragu,” kata Teguh kepada Kontan, Senin (18/8/2025).
Teguh menambahkan, tren arus keluar investor asing yang telah terlihat sepanjang tahun 2025 berpotensi berlanjut pada 2026 jika pemerintah tidak menyajikan postur anggaran yang lebih realistis. Ia memprediksi kemungkinan adanya revisi, namun jika kondisi tetap seperti ini, respons pasar cenderung negatif.
Disokong Emiten Konglomerasi, Bisakah IHSG Kembali Tembus Level 8.000?
Di sisi lain, Head of Research & Chief Economist Mirae Asset, Rully Arya Wisnubroto, berpendapat bahwa postur RAPBN 2026 pemerintahan Prabowo relatif disiplin, namun tetap ekspansif guna mendukung target pertumbuhan ekonomi 5,4%. Anggaran tersebut diarahkan pada sejumlah agenda prioritas, termasuk ketahanan pangan, energi, program Makan Bergizi Gratis, dan penguatan Koperasi Merah Putih. “Efisiensi anggaran tetap dijaga, namun tetap fleksibel menghadapi kemungkinan guncangan dan menjaga ruang fiskal untuk belanja pembangunan prioritas. Saya rasa pasar merespons positif disiplin fiskal,” ucap Rully kepada Kontan, Senin (18/8/2025).
Meski demikian, Rully menilai postur anggaran tidak memiliki korelasi langsung dengan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Menurutnya, saat ini indeks lebih banyak digerakkan oleh saham-saham konglomerasi yang valuasinya sudah cenderung tinggi. “Namun kalau kita berbicara mengenai fundamental, kami melihat ada peluang yang baik, bila perusahaan menyesuaikan strategi perusahaan dengan berbagai program pemerintah,” ujar Rully.
Prediksi IHSG Pekan Ini dari KISI Sekuritas
Analis sekaligus VP Equity Retail Kiwoom Sekuritas Indonesia, Oktavianus Audi, sejalan dengan pandangan bahwa target pertumbuhan ekonomi 5,4% terbilang cukup ambisius, mengingat tren pertumbuhan 2023–2024 masih berada di kisaran 5%–5,2%. Namun, defisit sekitar 2,48% terhadap PDB dipandang masih aman karena mampu menjaga kredibilitas fiskal sekaligus tetap memberi ruang bagi belanja produktif.
Sektor Investasi Penopang Ekonomi
Untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi 5,4% pada tahun 2026, pemerintah menempatkan investasi, ekspor, ekonomi digital, serta hilirisasi mineral kritis sebagai pilar utama. Khusus di sektor investasi, kebutuhan dana diproyeksikan mencapai Rp 7.450 triliun dari total PDB nasional. Dari jumlah tersebut, kontribusi investasi terbesar diharapkan datang dari swasta senilai Rp 6.200 triliun. Sementara itu, Danantara/BUMN ditargetkan menyumbang Rp 720 triliun, dan pemerintah melalui APBN sekitar Rp 530 triliun.
Audi menerangkan bahwa strategi pertumbuhan ekonomi ini lebih mengandalkan peran swasta. Dari total target investasi Rp 7.450 triliun, sekitar 83% diharapkan berasal dari swasta. Ini menunjukkan bahwa pemerintah hanya berperan sebagai katalis, bukan motor utama, sehingga keberhasilan target akan sangat bergantung pada kondisi iklim investasi, mulai dari regulasi, insentif fiskal, kepastian hukum, hingga stabilitas politik.
Penguatan IHSG Ditopang Saham Lapis Kedua, Intip yang Masih Menarik
Lebih lanjut, Audi menilai emiten di bawah Danantara berpotensi menjadi penopang utama pencapaian RAPBN 2026. Pasar diperkirakan akan mencermati sejumlah sektor dengan potensi dampak signifikan, antara lain:
- Hilirisasi: Transisi menuju energi baru terbarukan (EBT) menjadi kunci rerating. Saham-saham yang berpotensi terdampak positif mencakup PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), PT Timah Tbk (TINS), dan PT Bukit Asam Tbk (PTBA).
- Digital: Peluang sinergi dengan sovereign wealth fund dan big tech akan memengaruhi performa PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM) dan PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk (MTEL).
- Energi dan Energi Terbarukan: Valuasi pada sektor ini berpotensi meningkat meskipun dibatasi kebutuhan belanja modal besar, seperti PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) dan Perusahaan Listrik Negara (PLN).
- Keuangan: Sektor ini berperan vital sebagai penyalur kredit Rp 6.200 triliun untuk investasi swasta, kendati risiko pembiayaan proyek besar tetap harus diantisipasi.
“Kami berpandangan positif terhadap emiten konstituen indeks BUMN jika dapat dijalankan dan dikelola dengan baik sesuai dengan RAPBN,” kata Audi kepada Kontan, Senin (18/8).
Dampak Percepatan Belanja Pemerintah di Semester II-2025
Selain RAPBN 2026, percepatan realisasi belanja pemerintah pada semester II 2025 juga dinilai berpotensi memberikan dampak yang berbeda bagi masing-masing sektor saham. Teguh Hidayat menjelaskan, program prioritas pemerintah tahun ini mencakup Makan Bergizi Gratis (MBG), Koperasi Merah Putih, Sekolah Rakyat, serta pembangunan 3 juta rumah.
Menurut Teguh, program MBG diperkirakan bisa memberikan sentimen positif terhadap emiten konsumer, khususnya produsen bahan pangan seperti beras, telur, hingga ayam. Dengan demikian, sektor unggas seperti JPFA dan CPIN bakal diuntungkan dari program ini.
IHSG Masih Bisa Menguat Pasca HUT RI, Ini Saham yang Bisa Ditimbang
Sementara itu, program Koperasi Merah Putih yang dibiayai melalui sektor perbankan justru dinilai penuh risiko. Pasalnya, pembiayaan yang disalurkan berpotensi meningkatkan rasio kredit bermasalah (NPL) di bank. “Program ini belum tentu menguntungkan malah bisa jadi merugikan untuk perbankan,” ujarnya. Untuk program Sekolah Rakyat, Teguh melihat tidak ada dampak signifikan bagi perusahaan swasta. Adapun program pembangunan 3 juta rumah diperkirakan akan memberi dorongan positif bagi sektor perbankan, khususnya Bank BTN, Bank BRI, hingga Bank Danamon, yang memiliki eksposur pada penyaluran Kredit Pemilikan Rumah (KPR).