Pemerintah berencana menyuntikkan likuiditas signifikan ke sektor perbankan dengan menarik dana sebesar Rp 200 triliun dari Bank Indonesia (BI). Langkah strategis ini diumumkan oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR RI pada Rabu (10/9), sebagai upaya proaktif untuk memacu roda perekonomian nasional.
Menurut Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Febrio Kacaribu, skema penempatan dana pemerintah senilai Rp 200 triliun ini akan mengadopsi model serupa dengan pembiayaan yang diberikan kepada Koperasi Desa Merah Putih (Kopdes Merah Putih) atau KDMP. Febrio menjelaskan, tujuan utamanya adalah untuk mempercepat penambahan likuiditas dalam sistem perekonomian, yang kemudian diharapkan dapat disalurkan sebagai kredit guna menggerakkan berbagai sektor ekonomi.
Sebagai gambaran, pemerintah sebelumnya telah menyalurkan dana sebesar Rp 16 triliun kepada Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) khusus untuk membiayai Kopdes Merah Putih. Komitmen ini akan berlanjut dengan alokasi tambahan Rp 67 triliun pada tahun 2026, sehingga total dukungan bagi koperasi desa tersebut mencapai Rp 83 triliun. Model pengelolaan dana inilah yang akan menjadi acuan.
Dengan besarnya alokasi dana hingga Rp 200 triliun ini, Febrio menegaskan bahwa pemerintah mengincar jangkauan program yang lebih luas dan inovatif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Sumber dana tersebut berasal dari Saldo Anggaran Lebih (SAL) serta Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) yang saat ini masih tersimpan di Bank Indonesia, siap untuk dioptimalkan.
Meskipun demikian, Kemenkeu kini tengah mematangkan aturan tata kelola serta regulasi yang akan menjadi payung hukum bagi kebijakan penempatan dana ini. Penyiapan regulasi ini krusial untuk memastikan pemanfaatan likuiditas secara efektif. Febrio juga memberikan penekanan penting: dana yang ditempatkan ke perbankan tersebut tidak boleh digunakan oleh bank untuk membeli Surat Berharga Negara (SBN) maupun Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI). “Pemanfaatan untuk pembelian SBN atau SRBI jelas kontraproduktif terhadap tujuan utama kita untuk menggerakkan perekonomian,” tegasnya, menyoroti pentingnya alur dana langsung ke sektor riil.
Langkah ini didasari analisis mendalam dari Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa, yang sebelumnya telah mengungkapkan rencana penarikan dana ini guna mendongkrak kinerja perekonomian. Ia mengamati bahwa realisasi belanja pemerintah yang cenderung lambat telah mengakibatkan “kekeringan” dalam sistem finansial, yang pada gilirannya menghambat pertumbuhan ekonomi. Purbaya bahkan menyoroti adanya dugaan kesalahan kebijakan moneter maupun fiskal dalam dua tahun terakhir, yang berdampak pada kesulitan mencari pekerjaan dan perlambatan ekonomi secara keseluruhan. Ia optimis Kementerian Keuangan dapat mengambil peran krusial dalam mengatasi kondisi ini.
Purbaya menjelaskan, injeksi dana pemerintah ini diharapkan mampu menyuntik likuiditas perbankan, mendorong mereka untuk lebih agresif dalam menyalurkan kredit dan secara langsung menggerakkan sektor riil. Sejalan dengan itu, percepatan belanja kementerian/lembaga juga dinilai esensial untuk memutar roda ekonomi. Hingga saat ini, Kemenkeu masih terus mengkaji daftar bank penerima dana, baik dari Himbara maupun bank swasta, beserta besaran alokasi yang tepat untuk masing-masing institusi, demi memastikan efektivitas kebijakan.
Ringkasan
Pemerintah berencana menarik dana Rp 200 triliun dari Bank Indonesia (BI) untuk disuntikkan ke sektor perbankan, dengan tujuan memacu pertumbuhan ekonomi nasional. Skema ini meniru pembiayaan Koperasi Desa Merah Putih (KDMP), dengan fokus mempercepat penambahan likuiditas dan penyaluran kredit ke berbagai sektor ekonomi.
Dana yang berasal dari Saldo Anggaran Lebih (SAL) dan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) ini tidak boleh digunakan untuk membeli Surat Berharga Negara (SBN) atau Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI). Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menekankan pentingnya likuiditas untuk menggerakkan sektor riil dan mendorong perbankan menyalurkan kredit secara agresif, sembari mempercepat belanja kementerian/lembaga.