Dana Pemda Nganggur di Bank? Ini Kata Purbaya, KDM, dan BI!

Sebuah polemik mengenai dana pemerintah daerah (Pemda) yang disebut mengendap di bank hingga ratusan triliun rupiah telah memicu serangkaian klarifikasi dari berbagai pihak kunci, yaitu Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi (KDM), dan Bank Indonesia (BI). Perdebatan ini menyoroti isu sensitif tentang efisiensi penyerapan anggaran di tingkat lokal dan transparansi keuangan Pemda.

Gubernur Dedi Mulyadi menyuarakan desakannya agar pemerintah pusat bersikap transparan dan membuka data spesifik mengenai daerah mana saja yang memiliki penyerapan anggaran lemah. Menurutnya, langkah ini krusial untuk mencegah opini negatif yang menyamaratakan semua daerah, sekaligus menghormati Pemda yang telah bekerja keras dan mengelola keuangannya dengan baik. “Untuk itu, dugaan tentang Rp 200 triliun dana yang masih tersimpan di daerah-daerah dan belum terbelanjakan dengan baik, sebaiknya umumkan saja daerah-daerah mana saja yang belum membelanjakan keuangannya dengan baik, daripada menjadi spekulasi yang membangun opini negatif,” tegas Dedi beberapa waktu lalu.

Menanggapi permintaan tersebut, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa data terkait dana pemerintah daerah yang disebut mengendap bukan berasal dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu), melainkan dari laporan sistem keuangan Bank Indonesia. Purbaya bahkan menyarankan agar pertanyaan tersebut diajukan langsung kepada bank sentral, sembari mengisyaratkan kemungkinan adanya misinformasi di kalangan staf KDM.

Bank Indonesia, melalui Kepala Departemen Komunikasi Ramdan Denny Prakoso, akhirnya buka suara untuk meluruskan sumber data simpanan Pemda di perbankan yang sempat dipertanyakan KDM. Ramdan menjelaskan bahwa BI mendapatkan data ini dari laporan resmi seluruh kantor bank yang disampaikan setiap bulan kepada BI. Setelah laporan diterima, BI melakukan proses verifikasi dan pengecekan kelengkapan data sebelum mengagregasikannya. Data agregat ini kemudian dipublikasikan secara terbuka dalam Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (SEKI) di situs resmi Bank Indonesia, memastikan ketersediaan informasi.

Berdasarkan data BI yang dirilis oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pada Senin (20/10), tercatat bahwa per 30 September 2025, total simpanan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di bank mencapai angka fantastis Rp 233,97 triliun. Rinciannya meliputi simpanan dalam bentuk giro sebesar Rp 178,14 triliun, deposito Rp 48,40 triliun, dan tabungan Rp 7,43 triliun. Secara spesifik, simpanan pemerintah provinsi dalam bentuk giro mencapai Rp 45,24 triliun, deposito Rp 14,35 triliun, dan tabungan Rp 610 miliar. Lima provinsi dengan nilai simpanan tertinggi di perbankan adalah DKI Jakarta (Rp 14,68 triliun), Jawa Timur (Rp 6,84 triliun), Kalimantan Timur (Rp 4,7 triliun), Jawa Barat (Rp 4,1 triliun), dan Aceh (Rp 3,1 triliun).

Polemik ini kian memanas setelah Mendagri Tito Karnavian dan Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa memaparkan bahwa ada Rp 4,1 triliun dana Jawa Barat yang mengendap di bank. Merespons informasi ini, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi segera mendatangi kantor Bank Indonesia pada Rabu (22/10) untuk mendapatkan penjelasan langsung dan mengklarifikasi data yang beredar.

Kunjungan Dedi ke BI mengungkap perbedaan data signifikan. Berdasarkan perhitungan Dedi, per 17 Oktober, kas daerah Provinsi Jawa Barat hanya sebesar Rp 2,6 triliun, jauh di bawah angka Rp 4,1 triliun yang disebutkan oleh pemerintah pusat. Dedi menjelaskan bahwa data BI per 30 September 2025 menunjukkan dana kas daerah Jabar dalam bentuk giro sebesar Rp 3,8 triliun. Selisih angka tersebut, menurut KDM, sebagian besar berasal dari dana Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) yang tersimpan dalam bentuk deposito di BLUD masing-masing, seperti rumah sakit atau dinas kesehatan, yang pengelolaannya terpisah dari kas daerah utama.

Lebih lanjut, KDM mengkritik frekuensi pelaporan data BI yang hanya bersifat bulanan. Ia membandingkannya dengan Kemendagri dan Pemprov yang memiliki akses ke data harian melalui Sistem Informasi Pemerintahan Daerah (SIPD). “BI itu hanya mengambil data-data dari bank kemudian dicatat dan dilaporkan setiap akhir bulan. Itu persoalannya,” ujar KDM, menyoroti kurangnya rincian data harian dari BI.

Dedi Mulyadi menutup pernyataannya dengan menegaskan bahwa penilaian akhir terhadap kemampuan belanja pemerintah daerah seharusnya dilakukan pada akhir tahun fiskal, tepatnya pada 31 Desember. Apabila ada sisa anggaran, sisa tersebut harus dianggap wajar, mencerminkan proses pengelolaan keuangan yang hati-hati dan terencana.

Ringkasan

Polemik mengenai dana Pemda yang mengendap di bank memicu klarifikasi dari Menteri Keuangan, Gubernur Jawa Barat (KDM), dan Bank Indonesia (BI). KDM mendesak transparansi data mengenai daerah dengan penyerapan anggaran lemah, sementara Menteri Keuangan menyatakan data tersebut berasal dari laporan sistem keuangan BI. Data BI menunjukkan simpanan Pemda mencapai ratusan triliun rupiah, memicu perbedaan interpretasi dan kebutuhan akan klarifikasi data yang lebih rinci.

Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, mengklarifikasi perbedaan data simpanan kas daerah Jawa Barat antara data BI dan data internal Pemprov. KDM menjelaskan bahwa sebagian besar selisih berasal dari dana BLUD yang tersimpan dalam bentuk deposito di BLUD masing-masing. Ia juga menyoroti frekuensi pelaporan data BI yang bulanan, dibandingkan dengan data harian yang tersedia melalui SIPD. KDM menekankan bahwa penilaian akhir kemampuan belanja daerah seharusnya dilakukan pada akhir tahun fiskal.

Leave a Comment