Muamalat.co.id JAKARTA — PT Garuda Indonesia Tbk. (GIAA), maskapai kebanggaan nasional, bersiap menghelat penambahan modal tanpa hak memesan efek terlebih dahulu (PMTHMETD) atau private placement senilai Rp30,31 triliun. Suntikan dana jumbo ini datang dari PT Danantara Asset Management (Persero), sebuah langkah korporasi strategis yang di sisi lain akan menyebabkan dilusi signifikan terhadap kepemilikan saham para pemegang saham minoritas GIAA, termasuk PT Trans Airways yang terafiliasi dengan konglomerat Chairul Tanjung.
Berdasarkan keterbukeran informasi yang disampaikan, GIAA akan menerima dana private placement ini melalui dua skema utama yang dilaksanakan oleh Danantara. Skema pertama adalah setoran modal dalam bentuk uang tunai, dan skema kedua merupakan konversi pinjaman pemegang saham (shareholder loan/SHL) menjadi saham baru. Total dana segar ini mencapai US$1,84 miliar, setara dengan Rp30,31 triliun berdasarkan kurs Rp16.421 per dolar AS. Secara lebih rinci, Danantara akan menyetorkan modal tunai sebanyak-banyaknya US$1,44 miliar atau Rp23,66 triliun, serta mengonversi SHL menjadi saham baru sebesar US$405 juta atau Rp6,65 triliun.
Sebelum pelaksanaan private placement ini, Garuda Indonesia akan terlebih dahulu meminta persetujuan para pemegang sahamnya melalui Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) yang dijadwalkan pada 12 November 2025. Aksi korporasi ini menjadi bagian integral dari upaya restrukturisasi menyeluruh perseroan, mengingat urgensi perbaikan posisi keuangan dan kebutuhan pendanaan yang mendesak guna menjaga kelangsungan usaha serta operasional maskapai dan entitas anaknya.
Seiring dengan masuknya suntikan modal dari Danantara ini, komposisi kepemilikan saham di GIAA akan berubah secara drastis. Setelah dilaksanakannya PMTHMETD, porsi kepemilikan Danantara di GIAA akan meningkat tajam. Sebelum transaksi, Danantara telah memiliki 59,03 miliar lembar saham atau 64,54%. Namun, pasca private placement, kepemilikan Danantara akan melonjak menjadi 466,93 miliar lembar saham, setara dengan 93,50% dari total saham.
Kenaikan signifikan kepemilikan Danantara ini berbanding terbalik dengan nasib pemegang saham lainnya. Entitas milik Chairul Tanjung, PT Trans Airways, yang sebelumnya menggenggam 7,31 miliar lembar saham atau 7,99% di GIAA, akan terdilusi hingga persentasenya menyusut menjadi 1,47%. Demikian pula dengan kepemilikan publik, yang saat ini mencapai 25,12 miliar lembar saham atau 27,46%, akan menyusut drastis menjadi hanya 5,03% setelah transaksi ini rampung.
Manajemen GIAA menegaskan bahwa pelaksanaan PMTHMETD oleh Danantara diharapkan dapat memberikan dampak positif yang substansial. Dampak tersebut mencakup perbaikan struktur permodalan yang lebih sehat, peningkatan likuiditas perseroan yang sangat dibutuhkan, serta dukungan vital bagi keberlangsungan usaha Garuda Indonesia di masa yang akan datang. Langkah ini dipandang krusial untuk menopang stabilitas dan pertumbuhan maskapai.
Dana yang diperoleh dari private placement ini akan dialokasikan secara strategis untuk berbagai keperluan mendesak. Sebanyak 29% akan digunakan untuk pembiayaan modal kerja dan operasional GIAA, termasuk pembayaran biaya perawatan dan perbaikan pesawat. Lalu, 37% akan disalurkan untuk peningkatan modal pada anak usaha GIAA, Citilink, guna membiayai modal kerja dan operasionalnya, termasuk perawatan pesawat. Selanjutnya, 22% akan dipakai untuk ekspansi armada Garuda Indonesia dan Citilink, dan sisanya 12% akan digunakan untuk peningkatan modal pada Citilink, khususnya untuk melunasi utang pembelian bahan bakar pesawat dari Pertamina periode 2019 hingga 2021.
Kebutuhan akan suntikan modal ini tak lepas dari kondisi keuangan GIAA yang masih berkutat dengan ekuitas negatif dan kerugian. Per 30 Juni 2025, aset Garuda Indonesia tercatat sebesar US$6,51 miliar, sementara liabilitasnya mencapai US$8,01 miliar, mengakibatkan ekuitas negatif sebesar US$1,49 miliar. Selain itu, perseroan juga masih membukukan rugi bersih yang diatribusikan kepada pemilik entitas induk sebesar US$143,7 juta atau Rp2,33 triliun (berdasarkan kurs Jisdor Rp16.231 per dolar AS pada 30 Juni 2025) di semester I/2025. Angka kerugian ini bahkan membengkak 41,36% secara tahunan dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, yang tercatat sebesar US$101,65 juta atau Rp1,64 triliun.