Deretan Kritik Purbaya ke Danantara: dari Kilang, Utang, hingga Dividen BUMN

Muamalat.co.id , JAKARTA — Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa secara konsisten menyoroti peran strategis Danantara, mulai dari isu krusial penyelesaian kewajiban dalam proyek pembangunan kereta cepat hingga pengelolaan dividen BUMN. Pandangan tajam Purbaya ini mengemuka seiring dengan perubahan fundamental dalam regulasi BUMN.

Sebagai catatan penting, sejak diberlakukannya rezim Undang-undang BUMN yang baru, Danantara kini memegang kendali yang sangat substansial. Mereka telah mengambil alih pengelolaan seluruh perusahaan-perusahaan negara dari Kementerian BUMN, yang statusnya kini telah bertransformasi menjadi Badan Pengaturan atau BP BUMN. Implikasi dari perubahan ini sangat besar: semua perusahaan negara beralih status menjadi entitas semi-swasta dan sepenuhnya berada di bawah pengelolaan Danantara, termasuk PT Kereta Api Indonesia (KAI) yang kini memikul beban utang besar proyek kereta cepat.

: Danantara: Efisiensi Tantiem Komisaris BUMN Bisa Hemat Rp8,2 Triliun

Perlu dipahami, modal BUMN yang bersumber dari Penyertaan Modal Negara (PMN) kini diperlakukan sebagai kekayaan BUMN itu sendiri, bukan lagi bagian dari kekayaan negara yang dipisahkan. Selain itu, seluruh dividen BUMN yang dihasilkan kini disetorkan langsung kepada Danantara. Inilah inti dari kritik tajam Purbaya, terutama saat muncul wacana melibatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk menopang atau menanggung sebagian utang BUMN.

: : Airlangga Minta Danantara Masuk ke Bisnis Kawasan Industri

Purbaya Tanggung Utang Kereta Cepat

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa telah menunjukkan ketegasannya dalam rapat perdana bersama Danantara sebagai salah satu anggota dewan pengawas (dewas) pada Rabu, 15 Oktober 2025. Dalam kesempatan tersebut, Purbaya secara lugas menegaskan penolakannya agar APBN tidak lagi menanggung utang Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau Whoosh.

Purbaya menggarisbawahi fakta bahwa saat ini dividen BUMN tidak lagi mengalir ke pos Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pada APBN, melainkan langsung ke kas Danantara. Ia berargumen bahwa dengan proyeksi dividen BUMN sebesar Rp90 triliun berdasarkan UU APBN 2025, angka tersebut seharusnya lebih dari cukup untuk menutupi pembayaran utang proyek Whoosh sebesar Rp2 triliun setiap tahunnya.

: : Purbaya Sentil Danantara Pakai Dividen BUMN untuk Beli SBN: Keahlian Anda Apa?

“Itu cukup untuk menutupi Rp2 triliun bayaran tahunan. Dan saya yakin uangnya juga setiap tahun akan lebih banyak,” jelasnya kepada awak media di Wisma Danantara Indonesia, Jakarta, Rabu (15/10/2025). Purbaya juga mengklaim bahwa CEO Danantara, Rosan Roeslani, yang hadir dalam pertemuan tersebut, menyetujui sikap otoritas fiskal dan akan mempelajari skema-skema penyelesaian utang KCJB lebih lanjut.

Mengingat pengalamannya sebagai Deputi di Kemenko Maritim dan Investasi pada pemerintahan sebelumnya, Purbaya pernah terlibat dalam negosiasi dengan China Development Bank (CDB) sebagai kreditur proyek KCJB. Ia menegaskan bahwa tidak ada klausul dalam perjanjian antara Indonesia dan Tiongkok yang mewajibkan pembayaran utang atas nama pemerintah Indonesia. Baginya, yang terpenting adalah struktur pembayaran utang yang jelas dan terukur. “Mereka [Danantara] bilang masih akan studi. Saya sih posisinya clear, karena di perjanjian Indonesia dengan China enggak ada harus pemerintah yang bayar. Biasanya sih selama struktur pembayarannya clear, mereka enggak ada masalah, tetapi kan kita lihat hasil studinya seperti apa nanti,” terang Purbaya.

Singgung Dividen Buat Beli SBN

Selain isu kereta cepat, Purbaya Yudhi Sadewa juga melontarkan kritik keras terhadap Danantara Indonesia yang dinilai terlalu banyak menggunakan dividen BUMN untuk membeli obligasi atau Surat Berharga Negara (SBN) pemerintah, alih-alih mengalihkannya ke berbagai proyek investasi yang lebih produktif. Menkeu menyebutkan bahwa Danantara tahun ini diperkirakan akan menerima dividen BUMN senilai Rp90 triliun, sesuai target APBN 2025, namun sebagian besar masih dialihkan ke pembelian SBN.

“Saya tadi sempat kritik. Kalau Anda taruh obligasi begitu banyak di pemerintah, keahlian Anda apa?” ucap Purbaya. Meski demikian, ia menambahkan, pihak Danantara menjelaskan bahwa alokasi ini hanya terjadi dalam tiga bulan terakhir karena keterbatasan waktu untuk menyiapkan proyek. Mereka berjanji akan melakukan perbaikan ke depan. “Tapi mereka bilang ini kan hanya tiga bulan terakhir ini. Karena enggak sempat kan, untuk buat proyek. Ke depan akan mereka perbaiki,” terangnya kepada wartawan usai rapat, dikutip Kamis (16/10/2025).

: Menkeu Purbaya Kritik Danantara Investasi di SBN, CIO Pandu Tangkis Begini

Purbaya secara aktif mendorong agar pendapatan Danantara yang berasal dari keuntungan BUMN dapat diinvestasikan ke berbagai proyek yang mampu menjadi katalis pertumbuhan ekonomi nasional. Pemerintah sendiri menargetkan lonjakan investasi hingga 8,5% pada tahun 2029, atau di akhir periode pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Dengan target pertumbuhan investasi mencapai Rp10.000 triliun, diharapkan dapat memacu pertumbuhan ekonomi hingga 8%.

Dalam proyeksi tersebut, sektor swasta diharapkan menyumbang kontribusi terbesar, yaitu Rp8.300 triliun. Sementara itu, Danantara diharapkan mampu menyumbang Rp980 triliun, dan pemerintah sebesar Rp710 triliun. Di samping fokus pada investasi, Purbaya juga kembali menegaskan agar Danantara memanfaatkan dividen BUMN yang tidak lagi disetorkan ke APBN untuk melunasi utang proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Sikap ini telah ia sampaikan secara gamblang kepada CEO Danantara serta para anggota dewas, menolak beban APBN kembali dialihkan untuk proyek tersebut. “Saya sih posisinya clear, karena di perjanjian Indonesia dengan China enggak ada harus pemerintah yang bayar. Biasanya sih selama struktur pembayarannya clear, mereka enggak ada masalah. Tapi kan kita lihat hasil studinya seperti apa nanti,” tegas Purbaya.

Singgung Soal Kilang Minyak

Jauh sebelum kritik soal Danantara, pada awal masa jabatannya sebagai Menkeu, Purbaya juga mendesak Komisi XI DPR untuk mendorong PT Pertamina (Persero) segera membangun kilang minyak baru guna mengurangi ketergantungan impor. Purbaya menjelaskan bahwa subsidi energi terus membengkak dari tahun ke tahun karena kebutuhan energi domestik yang masih sangat bergantung pada impor. “BBM tuh—solar, diesel—kita banyak impornya sampai puluhan miliar dolar per tahun. Sudah berapa tahun kita mengalami hal tersebut? Sudah puluhan tahun kan,” ungkap Purbaya dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Selasa (30/9/2025).

Ia menyoroti masalah kronis di mana Pertamina tak kunjung merealisasikan pembangunan kilang minyak baru. Purbaya teringat janji Pertamina pada tahun 2018 untuk membangun tujuh kilang baru dalam lima tahun. Janji tersebut muncul ketika ada tawaran investor Tiongkok untuk membangun kilang minyak di Indonesia, namun dengan syarat Pertamina harus membeli minyak dari mereka selama 30 tahun sebelum diambil alih. Saat itu, Pertamina menolak dengan alasan sudah memiliki rencana pembangunan tujuh kilang baru. Namun, kenyataannya, setelah tujuh tahun berlalu, belum satu pun kilang minyak baru berhasil dibangun oleh Pertamina. Oleh karena itu, Purbaya kembali meminta DPR untuk mendorong Pertamina dalam rapat bersama Danantara. “Jadi kilang itu, bukan kita enggak bisa bikin atau kita nggak bisa bikin proyeknya, cuman Pertamina-nya males-malesan aja,” jelasnya.

Apa Kata Danantara?

Menanggapi kritik keras tersebut, Chief Investasi Officer (CIO) Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara Indonesia), Pandu Sjahrir, memberikan penjelasan mengenai keputusan pihaknya untuk masih mengalokasikan investasi di Surat Berharga Negara (SBN). Menurut Pandu, hal ini disebabkan oleh keterbatasan waktu dan sifat pasar keuangan SBN yang sangat likuid. “Kebetulan kita hanya ada waktu dua bulan ya. Memang kami harus [cari investasi] paling cepat, harus cari market yang paling likuid. Ya, salah satunya memang di pasar bond, bond market,” ujar Pandu dikutip dari Antara, Kamis (15/10/2025).

Pandu menambahkan bahwa Danantara sebetulnya sangat tertarik untuk mengalokasikan investasinya ke pasar saham Indonesia. Namun, ia menekankan bahwa untuk itu diperlukan pasar saham yang jauh lebih likuid. Saat ini, rata-rata nilai transaksi harian (RNTH) di pasar saham Indonesia baru mencapai sekitar US$1 miliar per hari, padahal untuk mendorong keterlibatan Danantara secara signifikan, dibutuhkan setidaknya US$8 miliar. “Kita [Danantara] ingin di public market equity. Tapi [jika investasi di] equity itu memang perlu likuiditas yang lebih banyak, yang tadi saya sebutkan (RNTH) kita hanya US$1 miliar per hari. Itu harus ditingkatkan, harus bisa US$5 atau US$8 miliar per hari,” ujar Pandu saat ditemui seusai menghadiri acara bertajuk 1 Tahun Pemerintahan Prabowo Gibran di Jakarta, Kamis (16/10/2025).

Dengan demikian, Pandu menegaskan bahwa salah satu fokus utama Danantara Indonesia saat ini adalah memperdalam pasar saham Indonesia. Ia sebelumnya meyakini bahwa pasar saham Indonesia memiliki potensi besar untuk mencapai RNTH hingga US$8 miliar per hari, jauh melampaui angka saat ini. Potensi ini, menurut Pandu, belum tergarap maksimal meskipun Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar di Asia Tenggara dan pertumbuhan ekonomi yang stabil. Sebagai perbandingan, ia menyebut India memiliki nilai transaksi harian mencapai US$12-15 miliar, sementara Hong Kong bahkan mencatat nilai transaksi US$30-50 miliar per hari.

Pandu menyimpulkan bahwa salah satu faktor utama yang menghambat pertumbuhan pasar modal domestik adalah terbatasnya kedalaman pasar dan minat investor publik. “Masalah utama bagi venture capital dan investasi jangka panjang adalah kurangnya pasar publik yang kuat,” pungkas Pandu.

Leave a Comment