Dolar AS Menguat: Analis Ungkap Fakta Mengejutkan! Sementara Saja?

Muamalat.co.id JAKARTA. Pergerakan indeks dolar Amerika Serikat (AS) menjadi fokus utama para pelaku pasar keuangan. Setelah sempat menunjukkan penguatan signifikan pada pekan lalu, banyak pihak menilai reli tersebut hanya bersifat sementara, mengindikasikan prospek yang kompleks bagi mata uang Paman Sam di masa mendatang.

Menurut data terbaru dari Trading Economics, indeks dolar AS (DXY) pada Jumat (10/10/2025) tercatat di level 98,978. Angka ini memang menunjukkan penurunan harian sebesar 0,56%, namun secara kumulatif, DXY berhasil menguat hampir 2% dalam sepekan dan naik 1,35% dalam sebulan terakhir. Kenaikan mingguan dan bulanan ini memberikan gambaran awal tentang volatilitas dan sentimen pasar yang tengah berlangsung.

Analis Research & Development PT Trijaya Pratama Futures, Alwy Assegaf, mencermati bahwa pelemahan mata uang utama lainnya menjadi pendorong utama penguatan dolar AS yang temporer tersebut. Gejolak politik di Eropa, khususnya di Prancis, yang dipicu oleh pengunduran diri Perdana Menteri Sebastien Lecornu setelah kurang dari sebulan menjabat, namun kemudian ditunjuk kembali oleh Presiden Emmanuel Macron pada Jumat (10/10/2025), turut menekan nilai euro (EUR).

Di sisi lain, pelemahan yen (JPY) tak terlepas dari terpilihnya Sanae Takaichi sebagai pemimpin baru Partai Demokrat Liberal di Jepang. Takaichi, yang dikenal sebagai pendukung setia kebijakan Abenomics, memicu kekhawatiran pasar. Alwy menjelaskan, Abenomics adalah kebijakan Shinzo Abe pada tahun 2012 yang mengusung stimulus besar dan suku bunga longgar, sehingga prospek kenaikan suku bunga Bank of Japan (BoJ) di sisa tahun ini meredup. “Dengan terpilihnya Takaichi, harapan BoJ akan menaikkan suku bunga pun sirna,” terang Alwy.

Meski demikian, Alwy menegaskan bahwa penguatan dolar AS diperkirakan tidak akan berlanjut secara signifikan dalam jangka panjang. Salah satu faktor utama yang menjadi penghambat adalah potensi government shutdown di AS yang dapat merugikan perekonomian negara secara keseluruhan. Lebih lanjut, setelah pemerintahan AS kembali beroperasi, persetujuan Rancangan Undang-Undang (RUU) pendanaan akan memicu penambahan biaya atau anggaran, yang pada gilirannya dapat menghidupkan kembali ancaman isu debt ceiling atau batas utang AS menjelang akhir tahun. “Maka, setelah shutdown dibuka, nanti ke depannya masih ada ancaman lagi,” ujar Alwy.

Sementara itu, Pengamat Mata Uang, Ibrahim Assuaibi, menyoroti eskalasi perang dagang antara AS dan Tiongkok sebagai faktor krusial lainnya. Presiden AS Donald Trump baru-baru ini melayangkan ancaman tarif impor tambahan sebesar 100% terhadap Tiongkok, sebagai respons atas kebijakan Tiongkok yang memperketat ekspor tanah jarang. Ibrahim menilai, langkah ini akan menciptakan dampak luar biasa terhadap dinamika tarif global, mengingat Trump telah menerapkan bea impor pada 1 Oktober lalu dan berencana menerapkannya lagi pada 14 Oktober serta 1 November 2025 mendatang. “Artinya perang dagang akan terus memanas dan inflasi jadi tak jelas,” imbuh Ibrahim, menekankan potensi ketidakpastian ekonomi global.

Dengan mempertimbangkan kompleksitas dinamika tersebut, para analis memiliki pandangan yang berbeda terkait prospek indeks dolar AS hingga akhir tahun. Ibrahim Assuaibi memprediksi indeks dolar AS dapat mencapai posisi 101,70, mencerminkan antisipasi terhadap dampak perang dagang. Namun, pandangan ini sedikit berbeda dengan Alwy Assegaf, yang lebih optimis bahwa rebound dolar AS hanya bersifat sementara, dengan proyeksi indeks dolar AS akan bergerak di area support 96,38 dan resistance 100 hingga akhir tahun. Perbedaan proyeksi ini menggarisbawahi ketidakpastian yang masih membayangi pasar mata uang global.

Ringkasan

Indeks dolar AS (DXY) mengalami penguatan dalam sepekan terakhir, namun analis menilai reli ini bersifat sementara. Penguatan ini didorong oleh pelemahan mata uang utama lainnya, seperti euro akibat gejolak politik di Eropa dan yen setelah terpilihnya Sanae Takaichi di Jepang yang memicu kekhawatiran terkait kebijakan Abenomics.

Meskipun demikian, penguatan dolar AS diperkirakan tidak akan berlanjut lama karena potensi government shutdown di AS dan ancaman isu debt ceiling. Selain itu, eskalasi perang dagang antara AS dan Tiongkok dengan ancaman tarif impor tambahan juga menjadi faktor krusial. Analis memiliki pandangan berbeda terkait prospek DXY hingga akhir tahun, dengan perkiraan indeks akan bergerak di antara level support 96,38 dan resistance 101,70.

Leave a Comment