
JAKARTA. Dolar Amerika Serikat (AS) menunjukkan pelemahan signifikan di pasar global, terutama menjelang pengumuman krusial dari Federal Open Market Committee (FOMC) terkait kebijakan moneter The Fed bulan September. Pergerakan ini menjadi sorotan utama bagi para pelaku pasar dan investor di seluruh dunia.
Menurut data dari Trading Economics, pada Rabu (17/9/2025) pukul 12.30 WIB, indeks dolar AS (DXY) tercatat berada di level 96,712. Meskipun sempat menguat tipis 0,05% dalam sehari, DXY telah mengalami koreksi substansial, yakni merosot 1,09% dalam sepekan terakhir dan terkoreksi 1,48% secara bulanan. Angka-angka ini mengindikasikan tekanan jual yang cukup kuat terhadap mata uang AS.
Analis mata uang Doo Financial Futures, Lukman Leong, mengamati bahwa kecepatan dan besaran penurunan indeks dolar AS belakangan ini cukup mencengangkan. Fenomena ini erat kaitannya dengan ekspektasi pasar yang mengantisipasi adanya pemangkasan suku bunga sebesar 25 basis poin (bps) oleh bank sentral AS, The Fed. Penurunan suku bunga biasanya cenderung melemahkan nilai mata uang domestik.
Dolar Tertekan, Emas Sentuh Rekor Baru Jelang Keputusan The Fed
Lukman menjelaskan bahwa kebijakan penurunan suku bunga berpotensi memengaruhi nilai dolar AS baik dalam jangka pendek maupun panjang. “Dengan perkembangan sentimen pasar belakangan ini, indeks dolar AS masih memiliki potensi untuk terus melemah hingga akhir tahun,” ujarnya kepada Kontan, Rabu (17/9/2025).
Lebih lanjut, Lukman mengidentifikasi beberapa faktor lain yang diprediksi akan terus menekan dolar AS ke depan. Di antaranya adalah fenomena dedolarisasi, di mana bank-bank sentral global mulai mengurangi ketergantungan pada dolar AS dan melepaskan obligasi pemerintah AS. Selain itu, pemberlakuan tarif yang berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi AS juga turut menjadi pemicu pelemahan. “Inflasi dan dampak tarif yang diperkirakan hanya bersifat one-off (tidak berkelanjutan) justru berpotensi menekan dolar AS,” tambahnya.
Namun demikian, pelemahan dolar AS tidak serta-merta menjamin penguatan rupiah secara berbanding lurus. Menurut Lukman, Bank Indonesia (BI) masih memiliki pekerjaan rumah besar untuk menyesuaikan suku bunga domestik. Kebijakan moneter BI yang independen menjadi faktor penting dalam dinamika nilai tukar rupiah.
Dolar AS Tertekan, Sentuh Level Terendah Terhadap Euro Jelang Keputusan The Fed
“Mandat utama BI adalah menjaga stabilitas nilai tukar. Oleh karena itu, baik penguatan maupun pelemahan rupiah yang terlalu ekstrem tidak sejalan dengan tujuan tersebut,” tegas Lukman. Ini menunjukkan bahwa BI akan berupaya menjaga keseimbangan, bukan sekadar memanfaatkan pelemahan dolar.
Meskipun sedang mengalami tekanan, status dolar AS sebagai aset safe haven belum sepenuhnya hilang. “Ketidakpastian ekonomi global, konflik geopolitik yang memanas, serta perang yang berkecamuk di berbagai belahan dunia dapat membuat investor kembali mencari perlindungan pada dolar AS,” jelas Lukman, mengisyaratkan potensi pembalikan arah jika kondisi global memburuk.
Melihat kompleksitas faktor-faktor tersebut, Lukman memproyeksikan bahwa indeks dolar AS dalam jangka pendek dapat bergerak di rentang 94 hingga 96. Sementara itu, untuk periode akhir tahun, ia memperkirakan indeks dolar AS berpotensi melemah lebih lanjut, mencapai kisaran 92 hingga 94.
Ringkasan
Dolar AS mengalami pelemahan signifikan menjelang pengumuman kebijakan moneter The Fed, dengan indeks dolar AS (DXY) tercatat menurun dalam sepekan dan sebulan terakhir. Analis mengaitkan pelemahan ini dengan ekspektasi pemangkasan suku bunga oleh The Fed, yang secara umum melemahkan mata uang domestik. Selain itu, dedolarisasi dan potensi dampak tarif terhadap pertumbuhan ekonomi AS juga menjadi faktor pendorong pelemahan.
Meskipun dolar AS tertekan, pelemahan ini tidak otomatis menjamin penguatan rupiah, karena Bank Indonesia memiliki mandat untuk menjaga stabilitas nilai tukar. Status dolar AS sebagai aset safe haven juga tetap relevan di tengah ketidakpastian ekonomi global dan konflik geopolitik. Proyeksi jangka pendek indeks dolar AS berada di rentang 94-96, dengan potensi pelemahan lebih lanjut ke kisaran 92-94 pada akhir tahun.