
Muamalat.co.id JAKARTA. Isu seputar potensi peleburan Kementerian BUMN dengan Danantara kini semakin santer terdengar, memicu reaksi “wait and see” yang terasa kuat di kalangan pasar terhadap kinerja emiten-emiten BUMN.
Pergeseran ini berawal dari perombakan kabinet yang terjadi pekan lalu, di mana Erick Thohir beralih posisi dari Menteri BUMN menjadi Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora). Kekosongan pucuk pimpinan di Kementerian BUMN kemudian diisi oleh Wakil Menteri BUMN, Dony Oskaria, yang ditunjuk sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Menteri BUMN. Mengingat Dony Oskaria juga merangkap jabatan sebagai COO Danantara, spekulasi mengenai peleburan kedua entitas ini pun kian menguat di benak publik dan pasar.
Kehadiran Danantara memang telah membawa dinamika baru yang signifikan bagi operasional dan kinerja emiten BUMN. Hal ini terlihat dari adanya imbauan agar setiap Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dilakukan dengan persetujuan Danantara. Tidak hanya itu, berbagai aksi korporasi penting dari emiten-emiten “pelat merah” juga kini wajib menanti “lampu hijau” dari Danantara, termasuk rencana besar merger emiten BUMN Karya yang direncanakan rampung pada akhir tahun 2025.
Menyikapi kondisi ini, Sekretaris Perusahaan PT Wijaya Karya Tbk (WIKA), Ngatemin atau yang akrab disapa Emin, menegaskan fokus perusahaan. Menurutnya, WIKA terus berupaya menjaga kinerja operasional yang solid, meningkatkan tata kelola perusahaan dan digitalisasi, serta menerapkan inovasi dalam metode kerja guna memastikan penyelesaian proyek-proyek berjalan tepat waktu. Tujuannya adalah agar bisnis WIKA selalu siap dan relevan dengan setiap kebijakan yang ditetapkan oleh para pemangku kepentingan utama. “Kami meyakini, apa pun keputusan yang nantinya diambil, hal tersebut pasti telah melalui kajian mendalam dari berbagai aspek, baik birokrasi maupun keberlanjutan operasional,” ungkap Emin kepada Kontan pada Senin (22/9).
Mengenai proses integrasi BUMN Karya, WIKA secara tegas menyatakan dukungan penuhnya terhadap kebijakan konsolidasi tersebut. Emin meyakini bahwa langkah strategis penyatuan emiten-emiten konstruksi “pelat merah” ini akan membawa banyak manfaat. “Konsolidasi ini tidak hanya akan memperkuat peran BUMN Karya dalam mendukung program-program pemerintah, tetapi juga menjaga keberlangsungan Perseroan sebagai agen utama pembangunan infrastruktur nasional,” jelasnya.
Di sisi lain, Hari Rachmansyah, Equity Analyst dari PT Indo Premier Sekuritas (IPOT), menyoroti dampak dari dinamika ini. Menurutnya, isu peleburan serta pergeseran posisi strategis di BUMN menciptakan ketidakpastian tata kelola atau “governance risk” yang signifikan. Risiko ini berpotensi menyebabkan penundaan proyek, pembatasan belanja modal, dan perubahan arah strategi bisnis perusahaan. “Akibat peningkatan risiko politik ini, investor asing cenderung memilih sikap ‘wait and see‘,” jelas Hari kepada Kontan pada hari Senin.
Masih Dijual Asing
Meskipun demikian, kinerja beberapa emiten yang terkait dengan Danantara tampak masih menunjukkan pergerakan yang variatif di pasar saham. Berdasarkan data dari Bursa Efek Indonesia (BEI), indeks IDX BUMN20 sendiri justru tercatat masih menguat 5,38% sejak awal tahun atau year-to-date (YTD).
Ekky Topan, seorang Investment Analyst dari Infovesta Utama, mengamati bahwa pergerakan indeks IDX BUMN20 sejauh ini belum menunjukkan reaksi yang signifikan terhadap kekosongan posisi Menteri BUMN maupun isu peleburan peran Kementerian BUMN ke Danantara. Ia berpendapat bahwa pasar masih dalam fase “wait and see“, dengan konstituen indeks yang cenderung stagnan. “Ini mengindikasikan bahwa untuk saat ini, sentimen terkait dinamika di lingkungan kementerian belum direspons secara luas oleh para pelaku pasar,” jelasnya kepada Kontan pada hari Senin.
Namun demikian, aliran dana asing justru masih mencatatkan net sell yang cukup substansial pada beberapa emiten BUMN. Sebagai contoh, saham PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) telah dilepas asing senilai Rp 4,6 triliun dalam sebulan terakhir, sementara PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) juga dijual asing hingga Rp 574,8 miliar. Kondisi ini, menurut Ekky, dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk perlambatan pertumbuhan kredit, kekhawatiran terhadap stabilitas fiskal pasca-reshuffle, serta tren kinerja yang mulai melandai. “Investor asing tampak lebih berhati-hati terhadap bank-bank BUMN yang memang lebih sensitif terhadap arah kebijakan makroekonomi dan isu-isu politik,” ujarnya.
Kontras dengan kondisi tersebut, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) justru menjadi incaran asing, dengan akumulasi pembelian mencapai Rp 2,7 triliun dalam sebulan terakhir. Saham lain yang diborong asing adalah PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) senilai Rp 1,2 triliun, PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) Rp 289 miliar, dan PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM) Rp 162,1 miliar. Ekky menjelaskan, sentimen positif ini didorong oleh penguatan harga komoditas emas untuk ANTM, serta valuasi TLKM yang dinilai sudah terjangkau dan memiliki karakter defensif. BBRI sendiri sangat menarik untuk dicermati, sebab setelah sempat dilepas asing secara masif di akhir tahun lalu, kini kembali menjadi salah satu saham dengan akumulasi terbanyak. “BBRI sering kali menjadi indikator utama kembalinya aliran dana asing ke pasar,” imbuhnya.
Hari Rachmansyah menambahkan, berdasarkan data per Juni 2025, Loan to Deposit Ratio (LDR) BBRI tercatat lebih rendah, yaitu 85,52%, dibandingkan BMRI (90,48%) dan BBNI (93,99%). Ini menandakan bahwa ruang ekspansi kredit BBRI masih cukup terbuka lebar, sementara di dua bank lainnya cenderung lebih terbatas. Meskipun demikian, Hari mengamati bahwa implementasi suntikan likuiditas sebesar Rp200 triliun ke sistem perbankan belum menunjukkan efek yang nyata pada industri. “Untuk ANTM, net buy asing didukung oleh tren kenaikan harga emas global, sedangkan TLKM diuntungkan oleh sentimen positif dari rencana IPO anak usaha pusat datanya,” pungkas Hari.
Prospek dan Rekomendasi
Secara prospek, Ekky Topan menilai bahwa emiten-emiten BUMN masih menyimpan potensi pertumbuhan yang sangat menarik. Potensi ini terutama akan terwujud jika stabilitas makroekonomi dan arah kebijakan fiskal pasca-reshuffle kabinet dapat kembali terjaga. “Penurunan suku bunga BI, suntikan likuiditas sebesar Rp200 triliun ke sistem perbankan, serta keberlanjutan proyek hilirisasi dan pembangunan infrastruktur akan menjadi katalis utama pendorong kinerja,” papar Ekky. Ia memperkirakan fokus investor akan kembali beralih ke sektor-sektor strategis seperti energi, infrastruktur, dan pertambangan yang masih menawarkan ruang pertumbuhan yang solid. Sementara itu, meskipun sektor perbankan tetap fundamentalnya kuat, pemulihan sentimen investor terhadap sektor ini diprediksi akan berjalan secara bertahap.
Dalam rekomendasinya, Ekky menyarankan untuk mulai mengakumulasi saham PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) dan PT Timah Tbk (TINS). Saham PGEO dinilai sudah berada di area support yang kuat, menjadikannya layak untuk dikoleksi dengan target harga kembali ke kisaran Rp1.800–2.000 per saham. Sedangkan TINS menarik dari sisi teknikal dan valuasi, dengan target harga jangka menengah di level Rp1.400–1.500 per saham. “Sektor energi terbarukan, telekomunikasi, dan tambang logam mulia akan terus menjadi penopang utama indeks BUMN20, sementara sektor perbankan, dalam jangka pendek, akan berperan sebagai penyeimbang,” pungkasnya.
Sementara itu, Hari Rachmansyah menegaskan bahwa prospek kinerja emiten BUMN yang tergabung dalam indeks BUMN20 diperkirakan akan tetap atraktif, asalkan fundamental perusahaan terjaga solid dan dividend yield tetap kompetitif. Sentimen positif ini akan ditopang oleh beberapa faktor, seperti prospek penguatan harga komoditas global, khususnya emas, nikel, dan gas; pemangkasan suku bunga BI yang dapat mendorong pertumbuhan kredit; tambahan likuiditas sebesar Rp200 triliun ke sektor perbankan; serta potensi efisiensi yang muncul pasca-konsolidasi BUMN.
Untuk sektor perbankan, Hari merekomendasikan saham BBRI, BMRI, dan BBNI dengan peringkat “beli”. Target harga yang dipasang masing-masing adalah Rp 4.700 per saham untuk BBRI, Rp 6.000 per saham untuk BMRI, dan Rp 4.800 per saham untuk BBNI. Di sektor komoditas, saham ANTM juga direkomendasikan “beli” dengan target harga Rp 3.900 per saham. Terakhir, saham TLKM dan PGAS turut mendapat rekomendasi “beli” dengan target harga masing-masing Rp 3.700 per saham dan Rp 1.900 per saham.
Ringkasan
Isu peleburan Kementerian BUMN dengan Danantara memicu sikap “wait and see” pasar terhadap emiten BUMN. Pergeseran ini dipicu oleh perubahan kabinet dan pengangkatan Plt Menteri BUMN yang juga menjabat sebagai COO Danantara, memperkuat spekulasi peleburan kedua entitas. Hal ini menciptakan ketidakpastian tata kelola yang berpotensi menunda proyek, membatasi belanja modal, dan mengubah strategi bisnis, sehingga investor asing cenderung berhati-hati.
Meskipun demikian, indeks IDX BUMN20 masih menguat, meski dana asing mencatatkan net sell pada beberapa saham seperti BMRI dan BBNI, dipengaruhi oleh perlambatan pertumbuhan kredit dan kekhawatiran stabilitas fiskal. Sebaliknya, BBRI, ANTM, PGAS, dan TLKM justru diborong asing. Prospek emiten BUMN masih menarik jika stabilitas makroekonomi terjaga dan kebijakan fiskal pasca-reshuffle kondusif, dengan rekomendasi mengakumulasi saham PGEO dan TINS.