Emiten BUMN Karya Masih Menderita, Begini Prospek Kinerjanya

JAKARTA – Kinerja emiten Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di sektor konstruksi terus didera tekanan berat sepanjang sembilan bulan pertama tahun 2025. Laporan keuangan mereka menunjukkan penurunan signifikan, sementara perolehan nilai kontrak baru juga cenderung lesu.

PT Waskita Karya Tbk (WSKT), misalnya, membukukan rugi bersih sebesar Rp 3,17 triliun per September 2025. Angka ini meningkat 5,74% dibandingkan rugi bersih Rp 3 triliun pada periode yang sama tahun 2024. Tak hanya itu, pendapatan usaha WSKT turut merosot 22,08% menjadi Rp 5,28 triliun per kuartal III 2025. Meskipun demikian, Direktur Keuangan Waskita Karya, Wiwi Suprihatno, mencatat adanya pertumbuhan margin laba kotor (GPM) WSKT dari 14,7% pada tahun sebelumnya menjadi 18,5% di kuartal III tahun ini. Beban keuangan sebesar Rp 2,8 triliun juga menjadi salah satu faktor utama yang menekan kinerja Waskita sepanjang 2025. “Meskipun demikian, upaya restrukturisasi utang yang sedang kami lakukan berpotensi memperbaiki beban bunga di periode mendatang, demi menuju pemulihan keuangan yang lebih berkelanjutan dengan tata kelola manajemen risiko yang prudent,” ujar Wiwi kepada Kontan.

Situasi serupa dialami oleh PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) yang mencatatkan rugi bersih sebesar Rp 3,21 triliun per kuartal III 2025. Angka ini berbanding terbalik dari laba bersih Rp 741,43 miliar pada kuartal III tahun lalu. Pendapatan bersih WIKA juga terkoreksi 27,54% secara tahunan (year on year/YoY) menjadi Rp 9,09 triliun per September 2025, dari Rp 12,54 triliun pada periode yang sama tahun 2024. Sejumlah beban operasional WIKA memang terpantau naik pada periode ini, termasuk beban umum dan administrasi yang meningkat dari Rp 795,27 juta menjadi Rp 865,78 juta. Porsi rugi pengendalian bersama juga melonjak dari Rp 669,64 miliar menjadi Rp 1,1 triliun per kuartal III 2025. Peningkatan ini tak lepas dari keterlibatan WIKA dalam joint venture dengan PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), di mana KSO WIKA-CRIC-CRDCCREC-CRSC mencatat saldo klaim atas cost over run proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung sebesar Rp 5,01 miliar per 30 September 2025.

Di tengah kondisi yang menantang ini, PT PP Tbk (PTPP) dan PT Adhi Karya Tbk (ADHI) menghadapi nasib yang sedikit lebih baik dibandingkan WSKT dan WIKA, meskipun kinerja keuangan mereka juga mengalami penurunan tajam. Laba bersih PTPP hanya mencapai Rp 5,55 miliar per kuartal III 2025, anjlok 97,92% dibandingkan Rp 267,28 miliar pada periode yang sama tahun sebelumnya. Pendapatan usaha PTPP juga turun 23,33% YoY menjadi Rp 10,73 triliun. Sementara itu, laba ADHI terkoreksi 93,62% YoY menjadi Rp 4,42 miliar per kuartal III 2025, dari Rp 69,32 miliar tahun lalu. Pendapatan usaha ADHI juga turun 38,28% YoY menjadi Rp 5,65 triliun di akhir September 2025.

Nilai Kontrak Baru yang Lesu

Penurunan kinerja emiten BUMN karya tidak hanya tercermin dari neraca keuangan, tetapi juga dari performa operasional mereka, terutama dalam perolehan nilai kontrak baru. Sepanjang Januari-September 2025, PTPP hanya mengantongi nilai kontrak baru Rp 16,88 triliun, menurun dari Rp 20,64 triliun pada September 2024. Begitu pula ADHI, yang mencatat nilai kontrak baru hanya Rp 6,5 triliun, jauh di bawah Rp 14,2 triliun pada periode yang sama tahun lalu. WIKA bahkan mengalami penurunan paling drastis, dengan perolehan kontrak baru senilai Rp 6,19 triliun hingga September 2025, anjlok 60,25% YoY dari Rp 15,58 triliun di tahun sebelumnya.

Analis Kanaka Hita Solvera, Andhika Cipta Labora, menilai bahwa efisiensi pemerintah dan perlambatan ekonomi global, termasuk peningkatan PHK dan pengangguran, turut mempengaruhi penurunan pendapatan ADHI dan PTPP. “Ini menjadi salah satu penyebab raihan pendapatan ADHI dan PTPP turun, karena investor menahan diri untuk ekspansi,” jelas Andhika kepada Kontan, Jumat (31/10/2025). Senada, Analis Pilarmas Investindo Sekuritas, Arinda Izzaty, menyoroti bahwa penurunan kinerja kompak emiten BUMN Karya per kuartal III 2025 utamanya disebabkan oleh turunnya nilai kontrak baru dan perlambatan penyelesaian proyek, yang secara langsung menekan pendapatan dan margin. Beban keuangan yang tinggi akibat struktur utang dan bunga juga memperburuk laba, sementara masalah penagihan piutang dan backlog proyek membuat arus kas operasional semakin tertekan. Kondisi ini bervariasi antar emiten; PTPP, misalnya, masih memiliki kontrak baru yang relatif besar sehingga arus kas operasionalnya lebih terjaga. “Namun, arus kas WSKT sudah sangat tertekan dan mereka mengandalkan penjadwalan ulang atau restrukturisasi utang untuk menjaga kelangsungan operasi,” tambah Arinda.

Upaya Restrukturisasi Utang dan Penyehatan Kinerja

Menghadapi tantangan ini, Waskita Karya secara aktif melakukan restrukturisasi. Wiwi Suprihatno menjelaskan bahwa perseroan sedang merampungkan restrukturisasi satu seri obligasi yang tersisa, sebagai bagian dari upaya agar saham perusahaan dapat kembali diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia (BEI). Perlu diketahui, saham WSKT telah disuspensi lebih dari dua tahun, mendekati kriteria untuk delisting. Wiwi menegaskan komitmen Waskita untuk mempertahankan status sebagai perusahaan terbuka dan terus berkoordinasi dengan BEI serta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait progres restrukturisasi. Hingga saat ini, Waskita Karya telah berhasil menyelesaikan restrukturisasi utang perbankan dan tiga seri obligasi senilai sekitar Rp 30 triliun, serta tengah menuntaskan satu seri obligasi senilai Rp 1,3 triliun. “Selain itu, Waskita juga memperoleh persetujuan perubahan financial covenant atas obligasi, sukuk penjaminan pemerintah, dan kredit modal kerja senilai sekitar Rp 10 triliun,” kata Wiwi.

Direktur Utama WIKA, Agung Budi Waskito (BW), menyatakan bahwa perseroan terus berupaya menjaga kinerja fundamental di tengah kondisi industri konstruksi yang sangat menantang. Upaya konsisten WIKA meliputi delapan substream penyehatan, seperti peningkatan tata kelola dan perbaikan portofolio order book. Selain itu, WIKA mengimplementasikan empat pilar utama perbaikan arus kas: restrukturisasi utang, daur ulang aset non-inti melalui penyertaan investasi jangka panjang, percepatan pencairan piutang, dan penerapan operational excellence di seluruh lini bisnis. Hasilnya, WIKA berhasil menurunkan utang berbunga sebesar Rp 2,20 triliun dan utang mitra kerja sebesar Rp 924,58 miliar dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Efektivitas perputaran piutang (Account Receivable Days) dan pembayaran utang (Account Payable Days) juga membaik, masing-masing menjadi 127 hari dan 158 hari, dari sebelumnya 142 hari dan 196 hari. Dampak dari upaya ini adalah efisiensi operasi yang tercermin pada kemampuan menjaga core operasi Perseroan tetap positif sebesar Rp 287,83 miliar. “Selain itu, kami juga aktif membangun komunikasi yang intensif dengan stakeholders kami. Sebab, diperlukan dukungan dari seluruh pihak agar langkah penguatan dan penyehatan ini dapat berjalan dengan baik,” kata Agung dalam keterangan resmi, Jumat (31/10/2025).

Senior Equity Research Kiwoom Sekuritas Indonesia, Sukarno Alatas, mengamati bahwa arus kas mayoritas emiten BUMN karya sudah sangat ketat. PTPP dan ADHI masih mampu menjaga likuiditas jangka pendek, sementara WSKT dan WIKA sangat bergantung pada restrukturisasi utang untuk mempertahankan operasional. Secara keseluruhan, rasio cakupan bunga (interest coverage ratio/ICR) keempat BUMN karya tersebut sudah di bawah 1x, dengan PTPP sebesar 0,77x, ADHI 0,69x, WIKA 0,11x, dan WSKT 0,02x. “Artinya, kemampuan perusahaan membayar beban bunga sangat buruk,” ujar Sukarno kepada Kontan.

Prospek dan Rekomendasi Saham Emiten BUMN Karya

Andhika Cipta Labora melihat potensi perbaikan kinerja emiten BUMN Karya hingga tahun 2026, terutama jika Bank Indonesia (BI) kembali menurunkan suku bunga menyusul kebijakan The Fed. Penurunan suku bunga ini akan berdampak positif pada penurunan beban bunga, sehingga kinerja keuangan berpotensi membaik. Selain itu, stimulus pemerintah untuk mendukung pertumbuhan ekonomi juga menjadi angin segar bagi sektor konstruksi. “Jika merger PTPP dan ADHI jadi, prosesnya juga akan berjalan baik, karena akan berdampak lebih efektif dalam perolehan kontrak dan lebih efisien,” tambah Andhika. Ia merekomendasikan buy on weakness untuk PTPP dan ADHI, dengan target harga masing-masing Rp 420 per saham dan Rp 300 per saham. Dari sisi valuasi, PTPP (PER 319,52x) dan ADHI (PER 373,70x) dinilai sudah cukup mahal mengingat kinerja yang memburuk.

Arinda Izzaty berpendapat bahwa prospek BUMN Karya ke depan bersifat kondisional. Kinerja dapat membaik jika ada peningkatan belanja infrastruktur pemerintah atau BUMN, percepatan penagihan piutang, dan keberhasilan restrukturisasi utang. Sebaliknya, kinerja bisa memburuk jika tender tetap lesu, suku bunga tinggi menekan biaya finansial, atau restrukturisasi gagal. Progres restrukturisasi saat ini memang membantu mengurangi tekanan, namun bagi beberapa emiten, khususnya WSKT, belum sepenuhnya mencukupi. Gagasan merger atau pembentukan holding BUMN Karya sebenarnya berpotensi menjadi solusi jangka menengah untuk efisiensi, alokasi proyek yang lebih baik, dan mekanisme dukungan silang. “Namun, integrasi aset bermasalah dan beban utang anggota holding dapat menghambat manfaat tersebut,” katanya. Arinda menambahkan bahwa untuk emiten BUMN Karya yang sahamnya disuspensi, pasar umumnya telah mendiskon kinerja buruk, yang tercermin dalam PER negatif atau sangat tertekan. Untuk BUMN Karya yang tidak disuspensi, valuasinya terbilang sangat terdiskon dengan price to book value (PBV) rendah, menandakan ekspektasi pemulihan yang lemah. Mengenai WSKT, risiko delisting saham memang tinggi karena akumulasi rugi dan tekanan likuiditas. Namun, delisting tidak terjadi secara otomatis; Bursa biasanya memberikan waktu jika ada rencana pemulihan dan progres restrukturisasi yang nyata. “Jadi kemungkinan delisting tinggi, namun belum pasti dan sangat bergantung pada kelanjutan keberhasilan restrukturisasi,” jelas Arinda, merekomendasikan beli untuk saham PTPP dengan target harga Rp 550 per saham.

Sukarno Alatas menyimpulkan bahwa prospek emiten BUMN Karya masih cenderung moderat-positif jika restrukturisasi berjalan efektif dan proyek pemerintah kembali bergulir. Restrukturisasi memang meringankan beban bunga, tetapi belum cukup tanpa perbaikan kontrak dan efisiensi proyek. Merger atau konsolidasi juga berpotensi menjadi katalis positif jangka menengah, meski implementasinya mungkin tertunda akibat kondisi keuangan yang lemah. “Sentimen positif datang dari percepatan proyek infrastruktur dan dukungan pemerintah, sementara risiko negatif mencakup keterlambatan tender, tekanan margin, dan potensi delisting khususnya WSKT,” ungkap Sukarno. Dari sisi valuasi, saham yang tidak disuspensi seperti PTPP dan ADHI, relatif lebih murah jika dilihat dari PBV. PTPP, di level Rp 382 per saham, diperdagangkan pada PBV 0,20x yang mengindikasikan undervalued. Namun, Forward PE sebesar 320x menunjukkan saham PTPP sudah overvalued. Senada, ADHI di level Rp 262 per saham, diperdagangkan pada PBV 0,24x yang juga undervalued, namun Forward PE ADHI sebesar 373x menandakan overvalued. Potensi delisting saham WSKT diperkirakan belum dalam waktu dekat, mengingat upaya positif restrukturisasi utang yang sedang dilakukan bisa menjadi pertimbangan untuk perbaikan kinerja ke depan. Sukarno merekomendasikan hold atau buy untuk PTPP dengan target harga 12 bulan Rp 450 – Rp 500 per saham, serta hold atau speculative buy untuk ADHI dengan target harga 12 bulan di Rp 350 – Rp 360 per saham, dengan catatan jika merger dan kontrak baru berjalan lancar.

Leave a Comment