Gerak Saham Emiten Ayam Saat Danantara Bersiap Banjiri Pasar dengan Investasi Rp20 Triliun

Muamalat.co.id JAKARTA — Pemerintah secara serius tengah menggarap rencana strategis pembangunan peternakan ayam pedaging dan petelur skala besar di berbagai wilayah Indonesia. Inisiatif ambisius ini dirancang untuk memastikan pasokan protein yang memadai dan berkelanjutan guna menopang kebutuhan Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Dengan dukungan pendanaan sebesar Rp20 triliun dari Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) Indonesia, proyek vital ini dijadwalkan akan mulai direalisasikan pada Januari 2026.

Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, menegaskan bahwa pembangunan peternakan tersebut akan diprioritaskan di daerah-daerah yang selama ini masih menghadapi kekurangan pasokan ayam dan telur. Keputusan krusial ini merupakan hasil dari rapat finalisasi lintas kementerian dan lembaga yang membahas program hilirisasi sektor pangan, pertanian, perkebunan, hortikultura, dan peternakan. “Kita akan bangun di seluruh Indonesia untuk menyuplai MBG. Penting bagi kita untuk menjamin ketersediaan, jangan sampai ada shortage atau kekurangan telur dan ayam di masa depan. Karena itu, persiapan harus dilakukan dari sekarang,” ujarnya akhir pekan lalu (7/11/2025).

Amran menambahkan bahwa fase persiapan investasi saat ini sedang memasuki tahap pra-feasibility study, yang ditargetkan rampung sebelum pembangunan fisik dimulai pada Januari 2026. Anggaran Rp20 triliun ini merupakan bagian tak terpisahkan dari total rencana hilirisasi sektor pangan pemerintah yang mencapai Rp371 triliun. Diperkirakan, kebutuhan telur untuk MBG dapat mencapai 700.000 ton hingga hampir 1 juta ton per tahun, sementara kebutuhan ayam pedaging diperkirakan mencapai 1,1 juta ton.

Antisipasi akan tingginya permintaan protein juga tercermin dari data Badan Pusat Statistik (BPS). BPS mencatat bahwa program MBG telah mendorong lonjakan permintaan telur ayam ras dan daging ayam ras sejak beberapa bulan terakhir. Kedua komoditas ini bahkan menjadi penyumbang signifikan pada inflasi kelompok harga bergejolak pada Oktober 2025, dengan telur ayam ras menyumbang andil inflasi 0,04% dan daging ayam ras 0,02%. Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Pudji Ismartini, menjelaskan bahwa peningkatan permintaan ini utamanya berasal dari dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) untuk MBG, yang mengindikasikan langsung dampak program tersebut terhadap pasar. BPS lebih lanjut mencatat telur ayam ras mengalami inflasi 4,43% secara bulanan, sementara daging ayam ras naik 1,13%, tak hanya akibat meningkatnya permintaan, tetapi juga kenaikan komponen biaya produksi seperti harga day old chicks (DOC), harga ayam hidup, dan jagung pakan.

Menyikapi rencana besar ini, Chief Operating Officer Danantara Indonesia, Dony Oskaria, menyatakan pihaknya tengah mengkaji secara mendalam aspek teknis pembangunan peternakan ayam, termasuk estimasi waktu dan kebutuhan infrastruktur yang diperlukan. Sebagai bagian dari komitmen ini, pemerintah berencana menerbitkan surat keputusan bersama untuk penugasan pembangunan. “Pemerintah juga berupaya agar kita bisa mencapai swasembada protein. Dan Danantara, sebagai korporasi, tentu akan mengkaji dengan baik dan akan melaksanakan ini sesuai dengan kaidah korporasi yang sehat,” ujarnya, menekankan bahwa penyediaan protein untuk MBG menjadi faktor utama urgensi pengembangan peternakan berskala besar tersebut.

Kinerja Saham Unggas di Tengah Rencana Danantara

Kebijakan pemerintah yang akan melibatkan Danantara secara langsung hingga ke hilir sektor peternakan sempat menimbulkan sentimen negatif di kalangan emiten unggas. Pengumuman ini berpotensi menyebabkan persaingan langsung di ranah produksi. Kendati demikian, harga saham emiten ayam dan telur terintegrasi ini menunjukkan tanda-tanda kebangkitan. Ambil contoh PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk. (CPIN), penguasa bisnis rantai pasok ayam. Harga saham perusahaan sempat turun dari Rp4.770 menjadi Rp4.600 pasca-pengumuman Menteri Amran, namun perlahan pulih dan menutup perdagangan kemarin di level Rp4.700. Ini mencerminkan penguatan 0,64% secara harian, meskipun masih tercatat turun 2,29% sepanjang tahun kalender (year to date/ytd).

Kondisi serupa dialami oleh emiten ayam lainnya, PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk. (JPFA), yang tercatat anjlok ke level Rp2.280 dari Rp2.430 pada hari pengumuman. Namun, hingga kemarin, harga saham perusahaan mulai membaik menjadi Rp2.360. Sepanjang tahun berjalan, saham JPFA justru melonjak impresif 25,2% (ytd). Sementara itu, saham PT Malindo Feedmill Tbk. (MAIN) mengalami penurunan dari Rp830 per lembar menjadi Rp810, dan pada perdagangan kemarin, saham MAIN bertengger di bawah posisi saat pengumuman, yakni Rp815 per lembar. Meski demikian, sepanjang tahun berjalan, saham MAIN telah menguat 5,84%. Kinerja emiten unggas lain sepanjang tahun berjalan (ytd) juga bervariasi; saham AYAM tercatat mengalami kenaikan 28,17%, saham WMUU melonjak 211% ke level Rp28 per lembar, sedangkan saham DMND justru turun 15,66% ke level Rp700.

Di sisi lain, Center of Economics and Law Studies (Celios) memberikan pandangan kritis. Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira Adhinegara, berpendapat bahwa pembangunan peternakan ayam dengan pendanaan besar berpotensi membebani Danantara serta memperbesar dominasi korporasi dalam rantai pasok unggas, yang dapat mengancam keberlangsungan peternak kecil. Bhima menyarankan agar Danantara lebih fokus pada upaya perbaikan kinerja BUMN dan menopang produksi pakan ternak, seperti kedelai dan jagung, daripada terlibat langsung dalam bisnis peternakan ayam. “Jika [Danantara ingin] membantu, bukan di peternakan ayamnya, tapi lebih pada menurunkan harga pakan ternaknya. Jadi, harus ada investasi ke pertanian untuk kedelai domestik dan jagung, karena itu kan sumber pakan ternak ayam,” jelasnya. Ia juga menambahkan bahwa pembangunan peternakan berskala besar dikhawatirkan akan mengulang persoalan lama, yaitu dominasi perusahaan besar dalam penyediaan pakan dan DOC yang berujung pada penekanan peternak kecil. Celios juga menyoroti bahwa sejumlah wilayah yang menghadapi kekurangan pasokan ayam sesungguhnya memiliki alternatif protein lokal yang melimpah, seperti ikan laut, ikan air tawar, dan udang hasil budidaya, yang bisa dioptimalkan.

Leave a Comment