Harga Minyak Turun, Saham Petrokimia Gimana? Analisis Lengkap!

JAKARTA. Sektor industri petrokimia nasional kini menghadapi skenario ganda: peluang cerah dari tren penurunan harga minyak mentah dunia, sekaligus ancaman serius dari lonjakan impor produk petrokimia ke pasar Indonesia. Kondisi ini menciptakan dinamika yang kompleks bagi para emiten petrokimia dalam negeri.

Mengutip data dari Trading Economics, harga minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) tercatat telah merosot signifikan 19,77% secara year to date (ytd), mencapai level US$ 57,54 per barel pada Jumat (17/10/2025). Penurunan ini juga terlihat dalam sebulan terakhir, di mana harga minyak WTI anjlok 9,04%. Tren serupa terjadi pada minyak mentah Brent yang mengalami koreksi 17,89% ytd ke level US$ 61,29 per barel pada tanggal yang sama, dengan penyusutan 9,12% dalam sebulan terakhir.

Penurunan harga minyak mentah ini menjadi sentimen positif yang diantisipasi oleh para emiten petrokimia. Analis Korea Investment & Sekuritas Indonesia (KISI), Muhammad Wafi, menjelaskan bahwa bahan baku utama produk kimia seperti nafta, bersumber dari minyak mentah. Dengan demikian, koreksi harga minyak mentah secara otomatis akan menurunkan biaya bahan baku, membuka potensi peningkatan margin keuntungan bagi produsen petrokimia.

Namun, Wafi mengingatkan bahwa efek positif ini bergantung pada keberlanjutan tren pelemahan harga minyak mentah dan tidak diiringi oleh penurunan permintaan global. “Jika disertai dengan penurunan permintaan global, efek positif bagi emiten petrokimia bisa tertahan,” tegasnya pada Jumat (17/10/2025), menggarisbawahi pentingnya meninjau kembali sifat tren pelemahan tersebut, apakah temporer atau berkelanjutan.

Melengkapi pandangan tersebut, Chief Executive Officer (CEO) Edvisor Provina Visindo, Praska Putrantyo, turut mengingatkan bahwa volatilitas harga minyak mentah dunia sangat erat kaitannya dengan kondisi geopolitik global dan perang dagang. Jika sentimen-sentimen ini berlarut-larut, permintaan petrokimia di pasar global justru bisa terpengaruh, mengakibatkan koreksi pada harga produk petrokimia itu sendiri.

Di tengah kondisi harga minyak mentah yang menurun, perhatian para analis kini beralih pada ancaman serius dari banjir impor produk petrokimia di pasar domestik. Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) telah mengungkapkan fakta mengejutkan: volume impor petrokimia dari China ke Indonesia melonjak hampir dua kali lipat dalam dua tahun terakhir. Diprediksi, volume impor petrokimia pada tahun 2025 dapat mencapai 150.000 ton, meningkat drastis dibandingkan realisasi impor tahun sebelumnya yang hanya 80.000 ton.

Tren peningkatan impor petrokimia ini diperkirakan akan terus berlanjut hingga tahun 2026, terutama didorong oleh dampak kebijakan tarif impor Amerika Serikat (AS) terhadap produk-produk asal China. Industri petrokimia China saat ini menghadapi kondisi oversupply atau kelebihan pasokan. Dengan adanya tarif dari AS, China terpaksa mencari pasar alternatif, dan produk petrokimia mereka pun berpindah haluan ke kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Praska menilai, lonjakan impor tersebut akan memicu persaingan di industri petrokimia yang semakin ketat. Kondisi ini secara khusus akan menekan kinerja keuangan emiten petrokimia yang belum memiliki integrasi produksi dan distribusi yang kuat. “Tekanan harga akan lebih terasa,” jelas Praska pada Jumat (17/10/2025), menekankan dampak langsung pada profitability perusahaan.

Senada dengan Praska, Wafi menambahkan bahwa kondisi oversupply di China memungkinkan mereka mengalihkan produk petrokimia dengan harga yang lebih kompetitif ke Indonesia. Situasi ini tentu menjadi tantangan berat bagi emiten lokal yang belum memiliki skala ekonomi kuat dan efisiensi produksi yang solid, sehingga berpotensi menekan margin mereka. Namun, ia mencatat bahwa pemain besar seperti PT Chandra Asri Pacific Tbk (TPIA) masih memiliki daya saing yang relatif kuat berkat integrasi vertikal dan skala produksi yang besar.

Dengan demikian, Wafi menyimpulkan bahwa prospek kinerja emiten produsen petrokimia ke depan akan diwarnai oleh peluang sekaligus tantangan. Peluang datang dari pelemahan harga minyak mentah yang dapat meningkatkan margin keuntungan emiten. Di sisi lain, tekanan dari maraknya produk impor serta permintaan global yang belum sepenuhnya pulih berpotensi menahan pertumbuhan kinerja emiten petrokimia.

Dalam konteks investasi, Wafi merekomendasikan untuk hold saham TPIA dan PT Barito Pacific Tbk (BRPT) dengan target harga masing-masing di level Rp 5.200 per saham dan Rp 3.750 per saham. Sementara itu, saham PT Lotte Chemical Titan Tbk (FPNI) disarankan untuk trading, mengingat valuasinya yang masih tergolong murah.

Meskipun tantangan bisnis di sektor ini cukup berat, Praska optimistis bahwa sektor petrokimia masih tetap prospektif, seiring adanya potensi pemulihan ekonomi pada tahun depan. Ia menyarankan agar emiten petrokimia lebih adaptif terhadap kondisi global, aktif melakukan diversifikasi bisnis, dan terus meningkatkan efisiensi energi. Praska secara khusus merekomendasikan untuk beli saham TPIA dengan target harga di level Rp 8.000 per saham.

Ringkasan

Industri petrokimia Indonesia menghadapi dua kondisi berbeda: peluang dari penurunan harga minyak mentah yang dapat mengurangi biaya bahan baku dan meningkatkan margin keuntungan, serta ancaman dari lonjakan impor produk petrokimia, terutama dari China akibat kebijakan tarif AS. Lonjakan impor ini diperkirakan akan meningkatkan persaingan dan menekan kinerja emiten petrokimia yang belum memiliki integrasi produksi dan distribusi yang kuat.

Prospek emiten petrokimia diwarnai oleh peluang dan tantangan. Penurunan harga minyak mentah menjadi peluang untuk meningkatkan margin keuntungan, sementara maraknya impor dan permintaan global yang belum pulih berpotensi menahan pertumbuhan. Analis merekomendasikan untuk hold saham TPIA dan BRPT, serta melakukan trading untuk saham FPNI, dengan target harga tertentu. Optimisme terhadap sektor ini tetap ada seiring potensi pemulihan ekonomi, dengan saran bagi emiten untuk lebih adaptif, melakukan diversifikasi, dan meningkatkan efisiensi energi.

Leave a Comment