Muamalat.co.id JAKARTA – Pasar modal Indonesia menghadapi periode penuh gejolak. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menunjukkan sinyal pelemahan signifikan, terutama dipicu oleh meningkatnya tensi sosial politik di dalam negeri. Pada penutupan perdagangan Jumat (29/8), IHSG tercatat anjlok 1,53% atau kehilangan 121,59 poin, bertengger di level 7.830,04. Ini menandakan kekhawatiran yang mendalam di kalangan investor terhadap stabilitas domestik.
Pada hari yang sama, sentimen negatif terlihat jelas dari aksi jual besar-besaran oleh investor asing. Mereka membukukan net sell sebesar Rp 1,12 triliun di seluruh pasar. Meskipun demikian, dalam rentang satu pekan terakhir, aliran dana investor asing masih menunjukkan net buy positif senilai Rp 3,04 triliun. Data ini menyoroti adanya volatilitas dan kehati-hatian, di mana momentum jangka pendek yang melemah kontras dengan akumulasi jangka menengah.
Menanggapi situasi ini, Head of Research Kiwoom Sekuritas, Liza Camelia Suryanata, menyuarakan kekhawatirannya. Menurutnya, jika eskalasi demonstrasi terus berlanjut dan memburuk, aliran dana investor asing yang selama ini menopang pasar akan dengan cepat berbalik arah menjadi outflows. Hal ini tidak mengherankan, mengingat karakteristik investor asing yang dikenal sangat sensitif terhadap gejolak politik dan ketidakpastian ekonomi.
Liza menambahkan, fondasi optimisme pasar yang dibangun di atas berbagai proyeksi positif, seperti potensi pemangkasan suku bunga oleh Bank Indonesia, pemulihan sektor properti, dan peningkatan konsumsi domestik, terancam runtuh. “Semua ini bisa gagal total jika tingkat kepercayaan investor terhadap stabilitas dan prospek ekonomi Indonesia terkikis habis,” tegasnya kepada Kontan, Sabtu (30/8).
Secara teknikal, Liza juga mencermati potensi pergerakan IHSG. Apabila level support krusial di 7.550 berhasil ditembus, maka koreksi lanjutan diperkirakan dapat menyeret IHSG ke kisaran 7.200 hingga 7.000. Namun, ada secercah harapan: jika kondisi keamanan dan sosial politik dapat segera terkendali, koreksi yang biasa terjadi di bulan September (September Effect) mungkin hanya bersifat teknikal dan justru berpotensi memicu rebound.
“Meskipun sentimen global saat ini cukup mendukung, namun arah pergerakan IHSG akan sangat ditentukan oleh sejauh mana risiko domestik, terutama tensi sosial politik, dapat dikelola. Ini akan menjadi penentu apakah September Effect hanyalah sebuah koreksi pasar yang sehat atau justru berubah menjadi penurunan yang lebih dalam dan berkepanjangan,” pungkas Liza.
Dana Asing Berpotensi Hengkang Akibat Ketidakpastian
Direktur Infovesta Utama, Parto Kawito, turut mengamini kekhawatiran ini. Ia memproyeksikan bahwa, berkaca pada skala demonstrasi yang telah meluas ke berbagai daerah dan bahkan menimbulkan kerusakan, baik investor asing maupun domestik kemungkinan besar akan melakukan aksi jual masif dalam beberapa hari perdagangan ke depan. Ini adalah respons alami terhadap peningkatan risiko yang dirasakan di pasar modal.
Parto menambahkan, saham-saham blue chip, yang selama ini menjadi penopang utama pasar modal, diprediksi akan menjadi sasaran langsung tekanan jual ini. Hal ini sudah terlihat pada Jumat (29/8), di mana investor asing terpantau agresif melepas kepemilikan mereka pada saham-saham unggulan tersebut, menandakan hilangnya kepercayaan jangka pendek terhadap prospek perusahaan besar.
Data menunjukkan, investor asing paling banyak melepas saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) dengan nilai net sell fantastis sebesar Rp 1,1 triliun. Disusul oleh saham PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) dengan net sell Rp 169,3 miliar, dan saham PT Alamtri Resources Indonesia Tbk (ADRO) dengan net sell Rp 109,3 miliar. Ini mengindikasikan bahwa saham-saham unggulan perbankan dan energi menjadi korban utama tekanan jual.
Dari sudut pandang berbeda, Pengamat Pasar Modal, Lanjar Nafi, menjelaskan filosofi di balik keputusan investor asing. Menurutnya, mereka pada dasarnya selalu mengedepankan dua pilar utama: keuntungan dan kepastian. Gejolak di dalam negeri, terutama yang bersumber dari tensi sosial politik, secara langsung menyerang pilar kedua, yaitu kepastian. “Ketika ketidakpastian meningkat, persepsi risiko pun otomatis ikut terkerek naik, membuat daya tarik investasi menurun,” ujar Lanjar.
Lanjar menambahkan, dalam jangka pendek, investor asing akan cenderung mengambil posisi yang lebih defensif. Mereka mungkin tidak serta-merta menarik seluruh investasinya, namun yang pasti adalah terhentinya aliran dana masuk baru. “Ini berarti, meskipun tidak ada eksodus massal, namun suplai likuiditas segar dari luar akan berkurang drastis, memperlambat pertumbuhan pasar modal,” paparnya.
Ada beberapa faktor krusial yang akan terus dicermati oleh investor asing, menurut Lanjar. Pertama, pergerakan nilai tukar Rupiah. Mata uang domestik ini dianggap sebagai barometer utama kepercayaan asing terhadap stabilitas ekonomi Indonesia. Pelemahan yang tajam dan berkelanjutan pada nilai Rupiah akan menjadi sinyal bahaya yang tidak bisa diabaikan.
Kedua, adalah kenaikan yield surat utang negara yang signifikan. Ini mengindikasikan bahwa investor menuntut premi risiko yang lebih tinggi untuk memegang aset pemerintah, yang pada gilirannya menunjukkan adanya tekanan jual pada instrumen utang. Ketiga, investor asing akan secara ketat memantau konsistensi dan kejelasan arah kebijakan ekonomi serta politik. Ketidakpastian dalam hal ini dapat memicu kekhawatiran lebih lanjut.
Dalam situasi ini, Lanjar menekankan pentingnya peran Bursa Efek Indonesia (BEI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Keduanya harus mengambil langkah proaktif untuk meyakinkan publik, dan khususnya investor asing, bahwa mekanisme pasar modal berjalan dengan normal dan teratur. Konferensi pers rutin atau rilis data harian mengenai aktivitas pasar secara transparan diyakini dapat efektif membantu meredam rumor dan spekulasi negatif.
Selain itu, Lanjar juga menyarankan agar BEI lebih aktif dalam memberikan notasi UMA (Unusual Market Activity) pada saham-saham yang menunjukkan pergerakan tidak wajar. “Ini adalah cara untuk mengingatkan investor agar lebih berhati-hati. Dan jangan ragu untuk menerapkan trading halt, baik untuk satu saham spesifik maupun untuk keseluruhan pasar, jika terjadi volatilitas yang ekstrem dan berpotensi merusak,” tegas Lanjar.
Senada dengan itu, Parto Kawito juga memberikan serangkaian rekomendasi bagi BEI dan OJK. Ia menyarankan pembatasan margin untuk mengurangi risiko yang besar, menunda penerapan short selling, dan bila diperlukan, meminta keterbukaan informasi yang lebih transparan dari emiten. Kolaborasi antara kedua otoritas ini juga esensial dalam memberikan paparan makro-ekonomi yang jelas dan prospek pasar modal yang realistis kepada publik dan investor. Langkah-langkah ini diharapkan dapat menjaga stabilitas dan kepercayaan di tengah badai gejolak tensi sosial politik.
Ringkasan
IHSG mengalami pelemahan akibat meningkatnya tensi sosial politik yang memicu aksi jual oleh investor asing. Pada penutupan perdagangan, IHSG anjlok 1,53% dan investor asing mencatatkan net sell sebesar Rp 1,12 triliun. Kekhawatiran utama adalah eskalasi demonstrasi yang dapat memicu outflow dana asing dan menggagalkan proyeksi positif ekonomi.
BEI dan OJK disarankan untuk proaktif meyakinkan investor bahwa pasar modal berjalan normal dengan memberikan informasi transparan. Langkah-langkah seperti pembatasan margin, penundaan short selling, dan pemberian notasi UMA pada saham yang bergerak tidak wajar juga diperlukan. Tujuannya adalah menjaga stabilitas dan kepercayaan investor di tengah gejolak politik.