Muamalat.co.id, JAKARTA – Rilis data inflasi AS pekan depan akan menjadi ujian bagi laju reli pasar saham Amerika Serikat yang tengah berada di puncaknya. Setelah mencetak rekor tertinggi, sejumlah investor memprediksi potensi koreksi pasar ekuitas.
Berdasarkan laporan Reuters (10/8/2025), indeks S&P 500 pada penutupan Jumat (8/8/2025) menunjukkan penguatan lebih dari 8% sepanjang tahun dan berada di ambang level tertinggi sepanjang masa. Nasdaq Composite, indeks teknologi unggulan, bahkan mencetak rekor baru, pulih dari penurunan pasca-rilis data ketenagakerjaan lemah awal bulan.

Namun, peringatan datang dari analis ternama seperti Deutsche Bank dan Morgan Stanley. Mereka memprediksi potensi koreksi setelah reli yang hampir tanpa hambatan selama empat bulan terakhir. Reli ini telah mendorong valuasi saham ke level yang dinilai mahal secara historis, ditambah lagi memasuki periode musiman yang seringkali menjadi jebakan bagi pasar saham.
Laporan Indeks Harga Konsumen (CPI) AS untuk Juli, yang akan dirilis Selasa (12/8/2025), diperkirakan akan menjadi pemicu volatilitas pasar. Inflasi yang melampaui ekspektasi berpotensi meredam optimisme terhadap pemangkasan suku bunga oleh The Federal Reserve (The Fed).
“Saya rasa pasar sudah siap terkoreksi. Banyak kekhawatiran tersembunyi di bawah permukaan,” ungkap Dominic Pappalardo, Chief Multi-Asset Strategist di Morningstar Wealth. Sentimen ini diperkuat oleh lonjakan S&P 500 sebesar 28% sejak titik terendah tahun ini di bulan April. Kekhawatiran resesi akibat perang tarif sempat mereda setelah Presiden AS Donald Trump mengumumkan “Liberation Day”, meskipun sempat menimbulkan volatilitas ekstrem di pasar.
Analisis lebih lanjut menunjukkan S&P 500 saat ini diperdagangkan pada rasio harga terhadap laba (Price-to-Earnings ratio) lebih dari 22 kali estimasi laba 12 bulan ke depan. Angka ini jauh di atas rata-rata jangka panjang 15,8 kali dan merupakan valuasi tertinggi dalam lebih dari empat tahun terakhir (data LSEG Datastream).
Faktor musiman juga menjadi perhatian. Stock Trader’s Almanac mencatat, dalam 35 tahun terakhir, Agustus dan September merupakan bulan dengan kinerja terburuk S&P 500, dengan penurunan rata-rata masing-masing 0,6% dan 0,8%. Michael Wilson, Equity Strategist Morgan Stanley, menyatakan, “Kombinasi data tenaga kerja yang lemah dengan kekhawatiran inflasi akibat tarif bisa menjadi resep untuk terjadinya koreksi, terutama di kuartal III yang secara musiman lemah.” Meskipun demikian, ia tetap optimistis dalam jangka 12 bulan dan menyatakan akan membeli saham saat harga turun.
Survei Reuters memperkirakan CPI Juli naik 2,8% secara tahunan. Investor akan mencermati apakah tarif impor yang diberlakukan Trump memicu kenaikan harga, menyusul laporan CPI Juni yang menunjukkan dampak tarif pada beberapa barang. Taruhan pasar atas pemangkasan suku bunga The Fed menguat setelah data ketenagakerjaan yang lemah, dengan Fed funds futures menunjukkan peluang lebih dari 90% bahwa bank sentral akan memangkas suku bunga pada pertemuan September, dan setidaknya dua kali sepanjang tahun ini.
Namun, skenario ini bisa berubah jika CPI Juli lebih tinggi dari perkiraan, sehingga membuat The Fed lebih berhati-hati. “Jika CPI menunjukkan pasar terlalu optimistis, volatilitas bisa meningkat. Tapi jika tidak lebih buruk dari perkiraan, ini bisa memperkuat keyakinan bahwa kita berada di titik balik kebijakan The Fed,” jelas Angelo Kourkafas, Senior Investment Strategist di Edward Jones.
Bayang-bayang kenaikan tarif dan dampak ekonominya masih membayangi pasar, meskipun indeks saham tetap mencetak rekor tertinggi. Kenaikan tarif impor dari puluhan negara yang mulai berlaku Kamis (7/8/2025) mendorong bea masuk rata-rata AS ke level tertinggi dalam seabad. Trump juga mengumumkan rencana pengenaan tarif pada chip semikonduktor dan impor farmasi. China berpotensi menghadapi kenaikan tarif baru pada Selasa (12/8/2025) kecuali Trump memperpanjang gencatan dagang. Matt Rowe, Senior Portfolio Manager di Man Group, mengatakan pasar tampaknya mengabaikan potensi dampak negatif dari gesekan ini terhadap ekonomi. “Pasar sudah merasa nyaman dengan tarif seolah-olah itu bukan masalah, padahal menurut saya itu keliru,” tegasnya.
Ringkasan
Pasar saham AS, setelah mencetak rekor tertinggi, menghadapi potensi koreksi yang dipicu oleh rilis data inflasi AS (CPI) untuk bulan Juli pekan depan. Analis memperingatkan valuasi saham yang mahal secara historis dan periode musiman yang lemah dapat memicu penurunan. Investor akan memantau CPI untuk melihat dampaknya terhadap kebijakan suku bunga The Fed.
Kenaikan tarif impor dan potensi dampak ekonominya juga menjadi perhatian, meskipun pasar saham saat ini tampaknya mengabaikan risiko tersebut. CPI Juli diperkirakan akan naik 2,8% secara tahunan, dan investor akan mengamati apakah tarif impor yang diberlakukan memicu kenaikan harga, yang dapat mempengaruhi ekspektasi pemangkasan suku bunga oleh The Fed.