IS2P Terbaru: Laporan Keberlanjutan Lebih Akurat, Ini yang Berubah!

Indonesian Society of Sustainability Professionals (IS2P) secara tegas menyoroti urgensi pembaruan standar laporan keberlanjutan. Langkah ini krusial untuk memastikan bahwa laporan-laporan tersebut tetap relevan, akurat, dan mampu menjawab berbagai tantangan zaman yang terus berkembang. Tuntutan akan data yang presisi, klaim yang didukung oleh bukti konkret, serta standar yang diselaraskan dengan kebutuhan investor dan publik menjadi fokus utama.

Diskusi mendalam mengenai hal ini terkuak dalam “Ngulik,” sebuah acara bulanan yang diselenggarakan oleh IS2P. Acara tersebut menghadirkan dua pakar terkemuka di bidangnya: Lany Harijanti, ASEAN Regional Program Manager dari Global Reporting Initiative (GRI), dan Salman Nursiwan, seorang Sustainability Expert dari KTM Solutions.

Lany Harijanti menjelaskan bahwa GRI Standard tetap menjadi rujukan utama secara global. Keunggulan ini tak lepas dari proses penyusunan standarnya yang inklusif, melibatkan beragam pemangku kepentingan, termasuk masukan berharga dari IS2P. “Sejumlah pembaruan penting sedang berjalan agar laporan keberlanjutan lebih menjawab tantangan saat ini,” ungkap Lany dalam keterangan resminya, Sabtu (27/9), menekankan komitmen GRI untuk terus beradaptasi.

Baca juga:

  • IS2P Serukan Setop Eskalasi Konflik Demi Masa Depan Indonesia
  • ESG Tentukan Keberlanjutan Industri Sawit, Petani dan Anak Muda Punya Andil
  • Kadin Sebut Perusahaan Terancam Kerugian jika Tak Terapkan Prinsip ESG

Beberapa pembaruan signifikan yang tengah dilakukan GRI mencakup perluasan cakupan pelaporan dari sekadar “employees” menjadi “workers,” yang kini mencakup pekerja kontrak dan mereka yang berada di bawah kendali operasional perusahaan. Terkait isu perubahan iklim, GRI telah meluncurkan standar baru, GRI 102. Standar ini mewajibkan perusahaan untuk menyajikan rencana transisi (transition plan), skenario adaptasi, serta target pengurangan emisi yang rinci untuk Scope 1, 2, dan 3.

Lany menekankan bahwa pembaruan ini sangat mengedepankan akurasi dan keterbukaan. “Kalau perusahaan menyatakan target pengurangan emisi, harus jelas dasar perhitungannya dan dapat diverifikasi. Klaim tanpa bukti hanya akan menimbulkan risiko greenwashing,” tegasnya, mengingatkan pentingnya integritas data.

Selain itu, GRI juga berupaya memperkuat interoperabilitas dengan standar IFRS. Lany menjelaskan bahwa GRI berfokus pada dampak sosial dan lingkungan, sementara IFRS lebih menitikberatkan pada financial materiality. “Keduanya saling melengkapi untuk menjawab kebutuhan publik maupun investor,” tambahnya, menunjukkan sinergi antara standar untuk cakupan yang lebih komprehensif.

Metodologi Laporan Keberlanjutan Harus Bisa Dipertanggungjawabkan

Pada kesempatan yang sama, Salman Nursiwan menegaskan bahwa pembaruan standar merupakan langkah vital agar laporan keberlanjutan tidak berhenti menjadi sekadar formalitas. Ia mengapresiasi kontribusi besar GRI dalam menyediakan metrik yang seragam dan metodologi yang transparan. “Dengan ukuran yang universal, hasil laporan bisa dilacak, diuji, dan dipertanggungjawabkan. Ini membantu perusahaan membangun kepercayaan,” ujar Salman, menyoroti pondasi kredibilitas.

Salman juga mengamati bahwa banyak perusahaan masih menetapkan target ambisius tanpa dilengkapi dengan baseline dan metrik yang memadai. “Tanpa baseline, sulit mengukur progres. Pembaruan standar mendorong perusahaan untuk lebih realistis sekaligus transparan,” katanya. Ia juga menekankan perlunya melihat isu materialitas secara dinamis, tidak hanya berdasarkan mayoritas suara pemangku kepentingan, melainkan dari analisis risiko jangka panjang yang lebih mendalam.

Menurut Salman, digitalisasi laporan akan mempercepat umpan balik dan memperkuat akuntabilitas. Pelaporan yang lebih mutakhir juga harus memperhitungkan perspektif etika lintas generasi dan kelestarian lingkungan hidup secara berkelanjutan.

Diskusi yang diinisiasi oleh IS2P ini secara jelas menunjukkan bahwa keberhasilan laporan keberlanjutan tidak hanya bergantung pada kepatuhan regulasi semata. Faktor penentu lainnya adalah kemauan perusahaan untuk terus memperbarui praktiknya secara proaktif. “Standar yang diperbarui membantu perusahaan menyesuaikan diri dengan isu-isu terkini seperti iklim, hak pekerja, hingga tata kelola. Laporan yang baik bukan sekadar kewajiban, tetapi sarana untuk membangun kepercayaan,” pungkas Lany.

Salman menambahkan, pembaruan standar adalah jalan untuk memperkuat akuntabilitas. “Transparansi berarti berani membuka capaian sekaligus keterbatasan. Dari situlah laporan keberlanjutan menjadi bermakna,” tutupnya, memberikan penekanan pada esensi dari pelaporan yang jujur dan komprehensif.

Ringkasan

Indonesian Society of Sustainability Professionals (IS2P) menekankan pentingnya pembaruan standar laporan keberlanjutan agar tetap relevan dan akurat, sejalan dengan tuntutan investor dan publik. Global Reporting Initiative (GRI) Standard tetap menjadi rujukan utama, dengan pembaruan yang berfokus pada perluasan cakupan pelaporan, isu perubahan iklim (termasuk rencana transisi dan target emisi), serta peningkatan akurasi dan keterbukaan data untuk menghindari greenwashing.

Pembaruan standar laporan keberlanjutan bertujuan untuk meningkatkan akuntabilitas dan kredibilitas laporan. Metodologi laporan harus dipertanggungjawabkan dengan metrik yang seragam dan transparan. Selain itu, perusahaan didorong untuk menetapkan target yang realistis dengan baseline yang jelas, mempertimbangkan isu materialitas secara dinamis, dan memanfaatkan digitalisasi untuk mempercepat umpan balik dan memperkuat akuntabilitas, serta memasukkan perspektif etika lintas generasi dan kelestarian lingkungan.

Leave a Comment