Wacana penggunaan aset kripto sebagai agunan atau jaminan pinjaman di bank telah memicu perdebatan sengit di tengah publik dan para pemangku kepentingan. Usulan ini, yang pertama kali digulirkan oleh sejumlah pelaku usaha kripto, kini menjadi sorotan utama mengingat potensi dan risikonya dalam sistem keuangan nasional.
Salah satu pendukung utama gagasan ini adalah Andrew Hidayat, Pemegang Saham PT Indokripto Koin Semesta Tbk (COIN). Menurut Andrew, potensi penggunaan aset kripto sebagai agunan pengajuan pinjaman sangat terbuka lebar, terutama mengingat praktik serupa telah berjalan di berbagai negara. “Kami memohon mereka (regulator) untuk mengkaji ulang beberapa aturan sehingga kripto bisa digunakan sebagai instrumen pinjaman,” ujar Andrew di sela CFX Crypto Conference 2025, Kamis (21/8/2025), menggarisbawahi perlunya adaptasi regulasi.
Senada dengan Andrew, William Sutanto, CEO dan Co-founder Indodax, meyakini bahwa adopsi aset kripto sebagai instrumen penjamin pinjaman sangat memungkinkan di Indonesia. Ia berargumen bahwa aset digital ini memiliki sifat yang sangat likuid, ditandai dengan selalu adanya suplai dan permintaan di pasar, menjadikannya aset yang berpotensi untuk dijadikan jaminan.
Namun, pandangan optimis tersebut tidak luput dari keberatan sejumlah pakar ekonomi. Wijayanto Samirin, Ekonom Universitas Paramadina, secara tegas menyatakan bahwa kripto adalah aset spekulatif yang tidak memiliki underlying asset riil. Nilainya, kata Wijayanto, murni bergantung pada persepsi pasar serta dinamika suplai dan permintaan. “Sangat berbahaya jika Pemerintah mengizinkan kripto jadi agunan bank, ini akan mengekspos sistem perbankan kita pada naluri para spekulator, pada risiko yang otoritas moneter kita tidak bisa kendalikan,” tegas Wijayanto kepada Kontan, Minggu (24/8), menyoroti bahaya laten terhadap sistem perbankan nasional.
Kekhawatiran serupa juga disuarakan oleh Nailul Huda, Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios). Nailul menilai, gagasan menjadikan aset kripto sebagai jaminan perbankan saat ini masih sangat riskan dan terlampau prematur. Ia menekankan bahwa alasan utamanya adalah karakteristik nilai aset kripto yang sangat volatile atau fluktuatif, sebuah faktor krusial yang sulit diabaikan dalam konteks perbankan.
Fluktuasi harga yang ekstrem ini, menurut Nailul, akan berdampak langsung pada ketidakstabilan nilai pembiayaan. Ia memberikan ilustrasi: apabila saat pengajuan pinjaman harga Bitcoin berada di angka Rp 900 juta, namun saat pencairan nilainya anjlok menjadi Rp 750 juta, hal ini tentu akan menciptakan ketidakpastian antara nilai jaminan dan jumlah pinjaman. Lebih lanjut, ia mengingatkan bahwa sistem perbankan di Indonesia diatur dengan sangat ketat, dengan batasan Kredit Bermasalah (NPL) tidak boleh melebihi 5%. Di sisi lain, pasar kripto masih rentan terhadap kasus penipuan (fraud) dan kegagalan pasar, sehingga sangat meningkatkan risiko bagi perbankan jika harus menanggung jaminan berbasis aset tersebut.
Selain itu, Nailul Huda juga menyoroti bahwa penggunaan aset kripto saat ini masih terbatas pada tujuan investasi, belum meluas untuk aktivitas ekonomi lainnya. Ia bahkan mempertanyakan argumen tentang likuiditas kripto. “Jika pun butuh dana cepat, pemegang aset kripto tinggal jual di pasar atau bursa kripto saja kan? Karena kan likuid, permintaannya tinggi. Jadi buat apa jadi jaminan (di bank)?,” pungkas Nailul, menegaskan bahwa sifat likuiditas aset kripto sebenarnya memungkinkan pemilik untuk langsung menjualnya, tanpa perlu menjadikannya sebagai agunan.
Ringkasan
Wacana penggunaan aset kripto sebagai agunan pinjaman di bank memicu perdebatan. Beberapa pelaku usaha kripto mendukung ide ini, melihat potensi adopsi serupa di negara lain dan likuiditas aset kripto sebagai keunggulan. Mereka mendorong adaptasi regulasi agar kripto dapat dimanfaatkan sebagai instrumen pinjaman.
Namun, pakar ekonomi mengungkapkan kekhawatiran terkait volatilitas kripto dan kurangnya underlying asset riil. Mereka menilai kripto sebagai aset spekulatif yang berisiko bagi sistem perbankan, terutama karena potensi ketidakstabilan nilai pembiayaan dan kerentanan pasar kripto terhadap penipuan. Selain itu, likuiditas kripto yang tinggi dinilai menghilangkan kebutuhan menjadikannya jaminan pinjaman.