Indonesia kini berada di garis depan transformasi menuju ekonomi hijau, sebuah keharusan untuk mencapai target ambisius net zero emission pada 2060 atau bahkan lebih cepat. Namun, perjalanan menuju keberlanjutan ini tidak semata-mata bergantung pada inovasi teknologi atau kucuran modal; pondasinya yang paling krusial adalah kesiapan sumber daya manusia (SDM) yang kompeten.
Menyadari urgensi ini, Menteri Ketenagakerjaan Yassierli menegaskan bahwa pembangunan kapasitas tenaga kerja adalah kunci utama agar transisi menuju ekonomi hijau dapat berjalan secara adil dan inklusif. “Transisi ini hanya akan berhasil jika masyarakat kita siap,” ucapnya dalam forum prestisius Indonesia International Sustainability Forum (ISF) 2025 di Jakarta. Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), sebagai ujung tombak, telah menetapkan target ambisius: meningkatkan keterampilan (upskilling) dan mengembangkan ulang keterampilan (reskilling) bagi minimal 1,1 juta individu per tahun hingga 2029. Strategi ini diwujudkan melalui revisi komprehensif Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) serta integrasi pelatihan hijau ke dalam kurikulum Balai Latihan Kerja (BLK) komunitas.
Yassierli menekankan bahwa program pelatihan hijau tidak hanya ditujukan bagi pencari kerja baru, melainkan juga penting bagi mereka yang sebelumnya berkarier di sektor berbasis fosil. “Kami ingin memastikan transisi energi tetap adil bagi semua,” ujarnya, menyoroti komitmen pemerintah terhadap keberlanjutan sosial. Prospek pekerjaan hijau juga sangat menjanjikan; Kementerian ESDM memproyeksikan peningkatan signifikan hingga 2,26 juta pekerjaan pada 2029, enam kali lipat dari tahun 2022. Mayoritas, sekitar 90 persen, akan terkonsentrasi di subsektor listrik dan energi terbarukan. “Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034 mempertegas bahwa 75 persen pembangkit baru akan bersumber dari energi terbarukan. Ini bukan ancaman, melainkan peluang besar untuk menciptakan pekerjaan yang lebih baik,” imbuh Yassierli, menggambarkan visi positif masa depan.
Meskipun demikian, Menaker Yassierli tak menampik adanya empat tantangan mendasar yang harus diatasi. Tantangan tersebut meliputi ketidakselarasan antara kebutuhan industri dengan kurikulum vokasi yang ada, disparitas akses pelatihan antarwilayah, ketersediaan fasilitas BLK yang masih belum memadai, serta rendahnya permintaan industri terhadap pekerja hijau yang kompeten. Untuk memecah kebuntuan ini, Kemnaker aktif berkolaborasi dengan organisasi internasional seperti ASEAN Productivity Organization. Kerja sama ini bertujuan mengembangkan kerangka produktivitas hijau, lengkap dengan dasbor dan kalkulator yang aplikatif lintas sektor, untuk memastikan efisiensi dan relevansi dalam persiapan tenaga kerja.
Yassierli lebih lanjut menjelaskan bahwa Indonesia kini memasuki fase krusial dalam transisi hijau. Dalam lima tahun mendatang, permintaan terhadap tenaga kerja berkompetensi hijau diprediksi akan melonjak tajam, terutama di sektor energi terbarukan. Transformasi menuju ekonomi berkelanjutan memang memerlukan waktu, investasi, dan sinergi kuat dari berbagai pihak. Namun, dengan dukungan SDM yang terampil dan ekosistem yang inklusif, Indonesia memiliki peluang besar untuk tampil sebagai pemain kunci dalam ekonomi hijau global. “Kami membuka pintu lebar untuk kolaborasi dengan industri, universitas, dan organisasi internasional guna membangun tenaga kerja masa depan yang sepenuhnya siap menyambut era ekonomi hijau,” serunya, menggarisbawahi pentingnya kemitraan strategis.
Dari perspektif sektor swasta, CEO Sintesa Group sekaligus Wakil Ketua Umum Koordinator Bidang Pembangunan Manusia, Kebudayaan dan Pembangunan Berkelanjutan Kadin Indonesia, Shinta W. Kamdani, menekankan perlunya peta jalan yang jelas bagi industri untuk melakukan transformasi hijau. “Kami bekerja sama dengan Bappenas melalui Skill Hub Accelerator dan kini sedang mengembangkan Green Workforce Accelerator untuk memetakan secara detail kebutuhan industri akan tenaga kerja berkompetensi hijau,” ungkap Shinta. Ia menyebutkan sektor energi, manufaktur, dan pertanian sebagai prioritas utama. Shinta menambahkan, “Kurikulum pelatihan harus disusun bersama dengan sektor swasta. Pemerintah juga perlu memberikan insentif agar perusahaan terdorong untuk mempercepat transisi tenaga kerja menuju green jobs.”
Shinta juga menyoroti peran vital Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang harus diintegrasikan ke dalam rantai pasok hijau. UMKM berpotensi besar dalam upaya dekarbonisasi proses produksi sekaligus menciptakan lapangan kerja baru yang berkelanjutan. Sejalan dengan itu, dari sisi perencanaan nasional, Bappenas tengah aktif menyusun peta jalan pekerjaan hijau yang lebih terkoordinasi dan berorientasi pada aksi nyata. “Kami ingin memastikan bahwa kolaborasi lintas pemangku kepentingan dapat secara efektif meningkatkan daya saing tenaga kerja kita,” kata Maliki, Sekretaris Deputi Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Kependudukan, dan Ketenagakerjaan Bappenas. Untuk mencapai tujuan tersebut, Bappenas akan mengadakan serangkaian dialog dan analisis pekerjaan guna menyelaraskan kebutuhan industri dengan kapasitas tenaga kerja. “Kami juga menyiapkan model percontohan (pilot project) yang siap untuk diperluas ke seluruh pelosok negeri,” tambahnya.
Dukungan signifikan untuk agenda transisi hijau Indonesia juga mengalir dari panggung global, khususnya dari World Economic Forum (WEF). Tarini Fernando, perwakilan Center for the New Economy and Society, mengapresiasi Indonesia sebagai salah satu negara pertama yang secara serius mengedepankan konsep equitable transition atau transisi hijau yang adil dan setara. “Akselerator ini dirancang untuk memastikan adanya pasokan talenta berkompetensi hijau yang kuat, memperluas akses kesempatan bagi perempuan dan penyandang disabilitas, serta meminimalkan risiko sosial yang mungkin timbul dari transisi hijau,” jelas Tarini, menyoroti dimensi inklusif dari upaya ini.
Di kesempatan yang sama dalam ISF, Ketua Umum Kadin Indonesia, Anindya Bakrie, kembali menegaskan urgensi sinergi antara pemerintah dan sektor swasta. “Ketika kita membicarakan pertumbuhan ekonomi, 85 persen kontribusinya berasal dari sektor bisnis, termasuk UMKM. Oleh karena itu, pertumbuhan hijau haruslah inklusif,” tegasnya. Anindya mencontohkan inisiatif program makan bergizi gratis (MBG) pemerintah, yang membutuhkan 30 ribu dapur di seluruh Indonesia untuk melayani 80 juta penerima manfaat. “Program semacam ini tidak hanya membuka peluang kerja masif di rantai pasok, tetapi juga menuntut kita untuk memastikan prosesnya sejak awal dirancang agar rendah karbon,” tambahnya, menunjukkan bagaimana keberlanjutan dapat diintegrasikan dalam program berskala besar.
Forum Internasional Keberlanjutan Indonesia (Indonesia International Sustainability Forum – ISF) adalah platform tahunan yang sejak 2023 menjadi episentrum kolaborasi, mendorong investasi, inovasi, dan aksi nyata menuju pembangunan berkelanjutan. Sejak awal penyelenggaraannya, ISF telah mencatat capaian impresif, antara lain menghadirkan lebih dari 11.000 peserta dari 53 negara, memfasilitasi 12 nota kesepahaman krusial di sektor transisi energi dan dekarbonisasi, serta berhasil menghubungkan berbagai proyek strategis dengan sumber pembiayaan baru. Pada tahun 2025, ISF kembali menegaskan posisinya sebagai ajang utama yang mempertemukan para pemimpin global, inovator, dan pembuat kebijakan, dengan misi tunggal: mempercepat pertumbuhan berkelanjutan demi kesejahteraan umat manusia dan kelestarian bumi.