Emiten pertambangan, PT PAM Mineral Tbk (NICL), berhasil membukukan penjualan yang memukau pada kuartal III-2025, mencapai Rp 1,35 triliun. Angka ini menandai lonjakan signifikan sebesar 64,82% year on year (yoy) dibandingkan periode yang sama sebelumnya yang sebesar Rp 821 miliar.
Kinerja penjualan yang melesat ini didorong oleh peningkatan masif pada volume penjualan nikel. Dari 1.273.855,62 metrik ton pada kuartal III-2024, volume penjualan NICL meroket 88,76% yoy hingga menyentuh 2.404.590,63 metrik ton pada kuartal III-2025.
Dampak positif dari peningkatan penjualan, ditambah dengan efisiensi biaya yang dilakukan perusahaan, terlihat jelas pada laba kotor NICL. Laba kotor perusahaan melonjak tajam 104,53% yoy, dari Rp 293,80 miliar pada kuartal III-2024 menjadi Rp 600,92 miliar pada kuartal III-2025. Sejalan dengan pertumbuhan laba kotor, marjin laba kotor NICL juga menguat, meningkat dari 35,77% menjadi 44,39%.
Peningkatan profitabilitas ini berlanjut hingga tingkat operasional dan neto. Laba usaha NICL turut meroket 123,71% yoy, mencapai Rp 504,88 miliar pada kuartal III-2025 dari sebelumnya Rp 225,68 miliar. Berkat volume penjualan yang melonjak dan efisiensi beban usaha yang berkelanjutan, laba neto periode berjalan NICL melambung drastis 131,28% yoy, menyentuh Rp 401,66 miliar pada kuartal III-2025, naik signifikan dari Rp 173,66 miliar pada periode sebelumnya.
Menanggapi dinamika pasar, Direktur Utama NICL, Ruddy Tjanaka, menjelaskan bahwa meskipun harga acuan nikel domestik sempat mengalami penurunan 5,20% sejak akhir 2024—sejalan dengan tren global dan fluktuasi euforia industri baterai kendaraan listrik—NICL memandang koreksi harga ini sebagai sesuatu yang positif dan sudah diantisipasi. Perusahaan telah menyiapkan langkah antisipatif sejak awal tahun, yang terbukti dengan pertumbuhan kinerja operasional dan keuangan yang positif hingga kuartal III-2025. “Kami meyakini penurunan harga ini merupakan fluktuasi jangka pendek dan perusahaan berkomitmen untuk tetap adaptif terhadap situasi terkini guna mempersiapkan juga mengantisipasi segala kemungkinan yang terjadi,” ujarnya dalam siaran pers.
Dari sisi neraca, terjadi sedikit penurunan pada jumlah aset NICL per kuartal III-2025 sebesar 7,45% menjadi Rp 971,88 miliar, dibandingkan Rp 1,05 triliun pada akhir 2024. Di saat yang sama, liabilitas perusahaan mencatatkan penurunan dari Rp 171,92 miliar pada akhir Desember 2024 menjadi Rp 138,60 miliar pada akhir September 2025, yang disebabkan oleh pembayaran utang pada periode tersebut. NICL juga menegaskan tidak memiliki utang bank jangka panjang. Sementara itu, ekuitas NICL sedikit menurun dari Rp 878,18 miliar pada akhir 2024 menjadi Rp 833,27 miliar pada akhir kuartal III-2025. Secara keseluruhan, kinerja operasional yang kuat berdampak positif pada keuangan, sehingga posisi neraca NICL tetap sehat dan kuat.
Dalam aspek operasional, NICL telah mencapai 92,48% dari Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) tahun 2025 yang disetujui. Untuk memenuhi kebutuhan pasar hingga akhir 2025, perusahaan telah mengajukan pembaruan RKAB ke Kementerian ESDM guna menambah kuota. Ruddy mengakui bahwa meskipun kinerja operasional dan finansial NICL memuaskan, angka tersebut belum sepenuhnya mencapai ekspektasi perusahaan. “Dikarenakan RKAB perusahaan yang saat ini masih dalam proses pengajuan, sehingga hal itu menjadi salah satu tantangan yang dihadapi perusahaan tahun ini,” jelasnya.
Prospek kuartal IV-2025 menunjukkan bahwa harga nikel kemungkinan masih bergejolak, dipengaruhi oleh kebijakan tarif perdagangan Amerika Serikat (AS) dan kelebihan pasokan global. Namun, industri nikel domestik memiliki peluang strategis yang cerah. Ketegangan geopolitik mendorong banyak negara mencari alternatif pasokan logam kritis, menempatkan Indonesia sebagai pemain kunci non-China. Selain itu, tanda-tanda pengurangan kondisi kelebihan pasokan global mulai terlihat, dengan perbaikan harga acuan nikel domestik.
Di tengah peluang tersebut, NICL juga menghadapi sejumlah tantangan domestik, terutama terkait pembaruan regulasi yang memengaruhi kelancaran dan kecepatan persetujuan dokumen seperti studi kelayakan, Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL), dan RKAB. Perubahan signifikan adalah penyesuaian regulasi RKAB dari jangka waktu tiga tahun menjadi satu tahun. Perubahan ini menuntut NICL untuk melakukan berbagai penyesuaian dokumen studi kelayakan dan AMDAL agar selaras dengan ketentuan terbaru dan mendukung rencana peningkatan kapasitas produksi pada tahun 2026. Menyadari faktor regulasi sebagai penentu utama keberlangsungan operasional dan arus kas, NICL aktif mengikuti agenda sosialisasi pembaruan sistem administrasi di kementerian terkait untuk mempercepat proses persetujuan dokumen teknis.
Tantangan lainnya adalah ketergantungan penuh terhadap smelter sebagai price taker, yang membatasi posisi tawar perusahaan berskala menengah dan kecil. Mereka sering kali harus menerima harga di bawah Harga Patokan Mineral (HPM) dan memenuhi persyaratan spesifikasi bijih nikel yang ketat. Menghadapi dinamika ini, NICL berkomitmen untuk memenuhi seluruh kuota RKAB tahun 2025 yang telah diperoleh, sambil menantikan proses persetujuan RKAB tahun 2026. Komitmen ini diiringi dengan penekanan pada tata kelola yang baik serta standar keberlanjutan atau Environmental, Social, and Governance (ESG) sebagai fondasi utama menjaga keberlanjutan usaha.
Hingga akhir 2025, NICL menargetkan produksi bijih nikel gabungan sebesar 2,6 juta ton ore, didukung oleh program pengeboran lanjutan untuk menambah cadangan sumber daya. Dalam menyikapi dinamika pasar domestik, NICL fokus pada peningkatan efisiensi operasional dan penguatan pengendalian mutu. Ini dilakukan melalui penerapan prosedur quality assurance-quality control (QAQC) yang lebih ketat, serta investasi pada peralatan analisa berteknologi tinggi untuk meminimalkan potensi kesalahan dan deviasi spesifikasi produk.
Lebih lanjut, NICL aktif memperluas kerja sama strategis dengan smelter dan trader di wilayah Sulawesi, Pulau Obi, dan Halmahera. Langkah ini didukung oleh penguatan kemitraan jangka panjang yang krusial untuk memperkokoh posisi pasar, mempercepat distribusi, dan menjaga stabilitas penjualan di tengah fluktuasi harga nikel global.