Utati Koesalah, seorang perempuan tahanan politik 1965 menolak pemberian gelar pahlawan nasional untuk Presiden ke-2 RI Soeharto. Ia menceritakan pengalamannya ditahan selama 11 tahun di Rumah Tahanan Bukit Duri.
“Tidak pantas kalau Bapak Presiden kedua kita itu diangkat menjadi pahlawan nasional,” kata Utati di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Jakarta Pusat, Selasa (4/11).
Utati menceritakan pengalamannya yang menyisakan trauma mendalam. Selama 11 tahun berada di dalam rutan, ia mencoba segala cara agar dapat keluar dengan keadaan akal yang masih waras.
“Sebagai korban langsung Peristiwa 65, G30S, saya ditahan selama 11 tahun di penjara wanita Bukit Duri, dan dengan segala cara kami yang ada di situ jelas tidak mau mati konyol. Berusaha untuk bertahan bisa hidup keluar dengan akal yang masih waras,” ujar dia.
Ia bersyukur upaya itu sesuai harapan. Tak ada yang menghembuskan napas terakhir di sana. Namun, trauma itu masih membekas untuk dirinya. Utati mengaku, hingga hari ini ia belum merasa benar-benar bebas.
“Tapi sesudah saya diizinkan, disuruh pulang — maaf, saya tidak bisa mengatakan bebas ya, karena sampai sekarang pun saya belum merasakan kebebasan itu betul-betul. Kecuali ada dukungan-dukungan dari Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan teman-teman lain yang sangat peduli dengan kami,” kata Utati.
Utati mengaku setelah reformasi, ia bersama penyintas lainnya baru dapat saling bertemu. Sebelumnya, ia merasakan dibatasi dalam segala hal. Meski sudah boleh pulang, banyak hal yang dilarang pada saat itu.
Satu hal yang membekas baginya yakni “bersih lingkungan”, di mana anak-cucu para penyintas dianggap “tidak bersih” di lingkungannya.
“Larangannya banyak, enggak boleh ini, enggak boleh itu. Sedangkan kami sendiri sekalipun sudah disuruh pulang, tapi setiap gerak kami itu diawasi, karena mau pergi ke luar kota harus lapor, dan lain sebagainya — banyak hal,” kata dia.
Setelah 1998, para penyintas mulai memberanikan diri untuk saling bertemu–meskipun rasa takut diawasi masih belum hilang. Berkali-kali ia menyatakan bahwa rasa takutnya belum hilang, ia merasa hak asasinya belum dipegangnya seutuhnya.
“Sesudah 60 tahun sampai tahun ini, saya merasa belum punya hak asasi saya, belum diberikan. Apa-apa masih khawatir, apalagi anak-anak yang punya anak — ini korbannya banyak tadi, korban sosial itu banyak dari keluarga kami. Karena tidak boleh ini, tidak boleh itu anak-anaknya, dan itu teman-teman daerah juga. Ya, semuanya korbannya banyak karena anak gak boleh apa-apa, dilarang ini. Akhirnya takut — takut mengakui bapaknya, takut mengakui ibunya. Itu ada peristiwa-peristiwa begitu,” kata dia.
Ia menuturkan, efek panjang dari “bersih-bersih lingkungan” itu berimbas luas, salah satunya pada pembatasan dirinya untuk bekerja.
Utati mengatakan hingga saat ini masih ada yang tidak berani berkata jujur pada anak hingga mertuanya bahwa dirinya adalah penyintas.
“Sampai saat ini masih ada yang tidak berani berterus terang pada anaknya sendiri bahwa dia itu korban. Sampai saat ini. Ada yang anaknya bisa dikasih tahu, tapi mertuanya jangan, besannya itu jangan sampai tahu, menantunya sendiri jangan sampai tahu,” kata dia.
Berdasarkan apa yang dirasakannya itu, ia menyatakan tak rela bila Soeharto diangkat menjadi pahlawan nasional. Terlebih, ia merasakan sendiri traumatis dari peristiwa 65.
“Penderitaan itu sampai sekarang masih kami alami. Jadi kalau presiden yang melakukan begitu banyak tekanan pada kami terus mau diangkat menjadi pahlawan nasional, itu rasanya kami tidak rela. Saya terutama ya, karena saya di sini sebagai korban langsung,” kata Utati.