Peringkat Adopsi Kripto Indonesia Turun, Industri Perlu Lebih Sering Garap Ekosistem

Muamalat.co.id JAKARTA. Indonesia menempati posisi ke-7 dunia dalam hal adopsi kripto berbasis akar rumput, menurut Laporan Chainalysis Global Crypto Adoption Index 2025 yang dirilis pada Selasa (2/9). Pencapaian ini menandai penurunan signifikan dibandingkan tahun sebelumnya, di mana Indonesia berhasil menduduki peringkat lima besar global. Penurunan ini mencerminkan dinamika persaingan yang semakin ketat dalam lanskap adopsi kripto global.

Dalam daftar lima besar teratas, India kokoh di puncak, diikuti oleh Amerika Serikat (AS), Pakistan, dan Vietnam. Sementara itu, Brasil dan Nigeria berhasil melampaui Indonesia, menempati posisi sedikit di atas. Kondisi ini secara jelas menunjukkan bahwa persaingan dalam adopsi kripto antarnegara kini semakin intens, khususnya di kawasan Asia-Pasifik yang merupakan pasar penting bagi aset digital.

Meskipun Indonesia masih memiliki fundamental yang kuat di sektor ritel kripto, perubahan metodologi dalam laporan Chainalysis tahun ini memberikan dampak besar pada peringkatnya. Salah satu faktor kunci adalah penambahan sub-indeks aktivitas institusional, yang mengukur transaksi bernilai lebih dari US$1 juta. Akibatnya, negara-negara dengan ekosistem keuangan yang sudah mapan, seperti AS, India, dan Brasil, memperoleh keuntungan signifikan berkat tingginya partisipasi institusi, termasuk melalui produk inovatif seperti ETF Bitcoin spot.

Sebaliknya, sub-indeks DeFi ritel, yang sebelumnya menjadi salah satu keunggulan utama Indonesia dalam pertumbuhan ekosistem kripto, justru dihapus. Menurut Chainalysis, DeFi kini dianggap sebagai aktivitas “niche” yang tidak lagi merepresentasikan adopsi akar rumput secara umum. Perubahan ini secara langsung mempengaruhi penilaian terhadap negara-negara yang memiliki basis pengguna DeFi ritel yang kuat.

Di tengah pergeseran dinamika global, platform kripto Indonesia tidak tinggal diam dan terus berupaya mengembangkan ekosistem lokal. Upbit Indonesia, misalnya, secara proaktif memadukan edukasi tren Web3, fenomena yapping dan SocialFi, serta konsep sportainment, untuk menarik dan mengedukasi masyarakat luas tentang potensi aset digital.

Fenomena “yapping” sendiri merujuk pada aktivitas meramaikan materi terkait kripto melalui percakapan intens di berbagai platform media sosial seperti Twitter/X, Telegram, atau Discord. Aktivitas ini menjadi elemen krusial dalam membangun eksposur serta menjaga keberlangsungan proyek-proyek kripto, menciptakan gelombang antusiasme dan informasi di komunitas.

Selaras dengan itu, SocialFi merupakan model inovatif yang memungkinkan interaksi sosial dimonetisasi secara langsung melalui token atau NFT. Konsep ini memberdayakan komunitas untuk tidak hanya menjadi pengguna, tetapi juga pemilik sejati dari platform yang mereka dukung. Keduanya saling terkait erat: semakin ramai “yapping”, semakin tinggi pula nilai yang berpotensi tercipta di dalam ekosistem SocialFi.

“Melalui diskusi maupun aktivitas sportainment, kami ingin menunjukkan bahwa Web3 bukan hanya sekadar soal teknologi, melainkan juga tentang membangun koneksi yang kuat dan kolaborasi yang berkelanjutan,” ujar Resna Raniadi, Chief Operating Officer Upbit Indonesia, dalam rilisnya kepada Kontan.co.id pada Kamis (4/9).

Resna menambahkan bahwa pemahaman yang lebih mendalam mengenai tren Web3, seperti yapping dan SocialFi, akan membekali investor dan komunitas untuk lebih siap menghadapi perkembangan pesat di dunia digital. “Edukasi adalah kunci utama agar ekosistem kripto dapat tumbuh sehat dan berkelanjutan di masa mendatang,” pungkas Resna, menekankan pentingnya literasi digital bagi seluruh pelaku pasar kripto Indonesia.

Leave a Comment