Muamalat.co.id, JAKARTA — Lonjakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang berhasil menyentuh level tertinggi sepanjang masa (ATH) belakangan ini ternyata didominasi oleh pergerakan saham-saham lapis kedua dan kelompok konglomerat. Ironisnya, emiten-emiten dengan fundamental kuat justru terlihat tertinggal dalam reli pasar ini. Menanggapi fenomena menarik ini, JP Morgan memproyeksikan bahwa saham-saham lapis utama baru akan menunjukkan kebangkitan signifikan, atau rebound, pada tahun 2026 mendatang.
Henry Wibowo, Head of Indonesia Research and Strategy JP Morgan, menjelaskan adanya disparitas pertumbuhan yang mencolok antara IHSG, LQ45, dan MSCI Indonesia, yang kini mencapai 10%-15%. Kesenjangan ini, menurutnya, disebabkan oleh saham-saham berkinerja tinggi di IHSG yang tidak termasuk dalam daftar LQ45 atau indeks MSCI Indonesia, menunjukkan pergerakan pasar yang kurang merata.

“Baik itu saham lapis satu atau dua, sektor apa pun, yang paling esensial adalah kembali lagi ke fundamental pertumbuhan laba,” tegas Henry dalam Media Briefing JP Morgan Indonesia di Jakarta, Kamis (4/9/2025). Pernyataan ini menegaskan kembali prinsip investasi bahwa kekuatan fundamental tetap menjadi penentu utama nilai jangka panjang.
Henry melanjutkan penjelasannya dengan menyoroti kondisi pertumbuhan laba emiten di pasar modal tahun ini, yang secara rata-rata mencatat minus 5%. Angka ini mengindikasikan bahwa lonjakan IHSG yang mencapai ATH adalah refleksi pertumbuhan yang relatif lemah dari sisi bottom line perusahaan, menghadirkan narasi yang kontradiktif.
Kendati demikian, prospek untuk tahun depan terlihat lebih cerah. Henry memprediksi rata-rata pertumbuhan laba dapat bangkit kembali ke kisaran 5%-10%. Harapan kenaikan ini ditopang oleh proyeksi peningkatan belanja pemerintah, khususnya dengan asumsi adanya peningkatan signifikan dalam efektivitas eksekusi anggaran oleh pihak pemerintah.
Dengan optimisme ini, Henry juga meyakini bahwa kinerja sektor-sektor kunci seperti perbankan, konsumer, dan telekomunikasi berpotensi kuat untuk mengalami rebound. Sektor-sektor ini diharapkan menjadi motor penggerak pemulihan laba emiten di tahun depan.
Sementara itu, fenomena kenaikan saham-saham konglomerat belakangan ini diuraikan oleh Henry sebagai dampak dari masuknya saham-saham tersebut ke dalam indeks internasional terkemuka seperti MSCI dan FTSE. Kedua indeks global ini dikenal luas menjadi acuan bagi banyak investor asing dalam mengambil keputusan investasi.
“Jika ada saham dari negara emerging market seperti Indonesia yang berhasil masuk ke indeks tersebut, secara otomatis ia akan menarik perhatian investor global. Hal ini memicu adanya passive flow yang signifikan masuk ke saham tersebut,” jelas Henry, menyoroti mekanisme aliran dana pasif yang mengalir setelah suatu emiten terindeks secara internasional.
Menyajikan perspektif tambahan, CEO & Senior Country Officer JP Morgan Indonesia Gioshia Ralie mengungkapkan bahwa hingga kuartal II/2025, hanya sektor real estate dan healthcare di Bursa Efek Indonesia yang berhasil mencatat pendapatan positif. Sektor-sektor lainnya, secara umum, mengalami pertumbuhan negatif, memberikan gambaran tekanan yang meluas.
“Kondisi inilah yang menjadi faktor utama di balik kinerja indeks kita yang kurang optimal. Namun, situasi ini sebenarnya sudah sesuai ekspektasi pasar, mengingat volatilitas yang cukup besar di pasar, gejolak nilai tukar rupiah, suku bunga yang cenderung stagnan, dan daya beli masyarakat yang terdampak. Semua faktor ini secara kolektif menekan profitabilitas perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Bursa,” papar Gioshia secara rinci.
Lebih jauh, Gioshia menambahkan bahwa minat investor asing terhadap pasar Indonesia masih terbilang cukup baik, bahkan setelah terjadi demonstrasi pada akhir Agustus lalu. Menurutnya, respons positif dari pemerintah terhadap tuntutan para demonstran akan menjadi sentimen krusial yang dapat memperkuat kepercayaan investor dan menciptakan iklim investasi yang semakin kondusif bagi Indonesia.
—
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.
Ringkasan
JP Morgan memproyeksikan saham lapis utama baru akan menunjukkan kebangkitan signifikan pada tahun 2026, setelah lonjakan IHSG didominasi saham lapis kedua dan konglomerat. Disparitas pertumbuhan antara IHSG, LQ45, dan MSCI Indonesia disebabkan oleh saham-saham berkinerja tinggi di IHSG yang tidak termasuk dalam daftar LQ45 atau indeks MSCI Indonesia.
Meskipun pertumbuhan laba emiten tahun ini rata-rata minus 5%, JP Morgan memprediksi rata-rata pertumbuhan laba dapat bangkit kembali ke kisaran 5%-10% tahun depan, didorong oleh peningkatan belanja pemerintah. Sektor-sektor seperti perbankan, konsumer, dan telekomunikasi berpotensi kuat untuk mengalami *rebound*.