Kinerja sejumlah emiten bahan kimia dasar di Indonesia menunjukkan dinamika yang bervariasi sepanjang semester I 2025. Meskipun dihadapkan pada beragam tantangan, sektor ini tetap menyimpan potensi dan momentum bagi perusahaan untuk membalikkan atau meningkatkan performa keuangan mereka di paruh kedua tahun ini.
Salah satu pemain, PT Samator Indo Gas Tbk (AGII), berhasil mencatatkan peningkatan pendapatan dari kontrak dengan pelanggan. Per akhir Juni 2025, pendapatan AGII mencapai Rp 1,42 triliun, tumbuh tipis 2,16% secara tahunan (YoY) dibandingkan Rp 1,39 triliun pada periode yang sama tahun sebelumnya. Namun, kenaikan pendapatan ini tidak sejalan dengan profitabilitas. Pada periode yang sama, AGII justru membukukan penurunan signifikan pada laba bersihnya, anjlok 64,99% YoY menjadi Rp 24,20 miliar dari Rp 69,14 miliar yang dicatat pada akhir Juni 2024.

Sementara itu, performa kontras ditunjukkan oleh PT Chandra Asri Pacific Tbk (TPIA), yang berhasil mencetak pembalikan kinerja luar biasa. Dari rugi bersih US$ 46,62 juta pada periode yang sama tahun lalu, TPIA melonjak drastis meraih laba bersih mencapai US$ 1,61 miliar. Pencapaian fantastis ini juga didukung oleh lonjakan pendapatan yang signifikan, naik dari US$ 866,49 juta menjadi US$ 2,92 miliar.
Menurut Direktur sekaligus Chief Financial Officer TPIA, Andre Kohr, pencapaian gemilang tersebut utamanya didorong oleh keberhasilan akuisisi Aster Chemicals and Energy Pte. Ltd (Aster) dari Shell pada 1 April 2025. Akuisisi strategis ini tidak hanya memperkuat posisi TPIA, tetapi juga menandai ekspansi perusahaan ke sektor bisnis kilang yang baru. Andre menjelaskan lebih lanjut, kontributor utama dari capaian profitabilitas ini adalah pencatatan keuntungan yang berasal dari pembelian dengan harga rendah atau yang dikenal sebagai bargain purchase accounting (negative goodwill) dari akuisisi tersebut.
Akuisisi Aster Chemicals and Energy Pte. Ltd memang menghasilkan keuntungan sebesar US$ 1,75 miliar bagi TPIA. Namun demikian, langkah korporasi ini turut memicu peningkatan signifikan pada beban pokok pendapatan, yang melambung dari US$ 853,64 juta menjadi US$ 3,02 miliar. Kenaikan drastis beban pokok pendapatan tersebut diakibatkan oleh beberapa faktor: integrasi nilai barang jadi milik Aster senilai US$ 455,25 juta, peningkatan masif biaya bahan baku dari US$ 610,63 juta menjadi US$ 2,09 miliar, dan kenaikan biaya pabrikasi dari US$ 104,54 juta menjadi US$ 207,96 juta.
Selain itu, beban keuangan TPIA juga mengalami kenaikan 39,6% YoY, dari US$ 77,22 juta menjadi US$ 107,80 juta. Lonjakan ini sebagian besar disebabkan oleh bunga utang bank yang melonjak tajam dari US$ 36,84 juta menjadi US$ 72,99 juta. Konsekuensinya, TPIA mencatat rugi kotor sebesar US$ 99,51 juta, berbanding terbalik dengan laba kotor US$ 12,84 juta yang dibukukan pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Efek domino dari akuisisi Aster juga terasa positif pada kinerja emiten milik Prajogo Pangestu lain, PT Barito Pacific Tbk (BRPT). BRPT berhasil mencatatkan pendapatan sebesar US$ 3,22 miliar, melesat 178,52% YoY dari US$ 1,15 miliar per Juni 2024. Lonjakan pendapatan ini berimbas pada ledakan laba bersih. BRPT membukukan laba bersih fantastis sebesar US$ 1,72 miliar di paruh pertama 2025, meroket 3.324,03% YoY dari US$ 50,34 juta.
Direktur Utama Barito Pacific, Agus Pangestu, menjelaskan bahwa kinerja cemerlang BRPT ini juga diperkuat oleh kontribusi signifikan dari PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN). BREN mencatatkan peningkatan output panas bumi dan ekspansi margin yang solid. Adapun, laba tahun berjalan yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk BREN sendiri mengalami lonjakan 12,96% YoY, mencapai US$ 65,46 juta per Juni 2025 dari US$ 57,95 juta per Juni 2024. Agus Pangestu menegaskan, “Peningkatan operasional pada segmen energi terbarukan dan kimia, didukung oleh pengelolaan modal yang efektif, telah membantu kami mengimbangi berbagai tantangan eksternal dan sekaligus memperkuat rencana pertumbuhan perusahaan.”
Di sisi lain, tidak semua emiten kimia menikmati pertumbuhan profitabilitas. PT Lautan Luas Tbk (LTLS), misalnya, mencatat kenaikan pendapatan 13,78% YoY, dari Rp 3,70 triliun menjadi Rp 4,21 triliun. Namun, sayangnya, laba bersih LTLS justru menyusut 31,84% YoY, dari Rp 141,25 miliar menjadi Rp 96,27 miliar dibandingkan setahun sebelumnya.
Kondisi serupa dialami oleh PT ESSA Industries Indonesia Tbk (ESSA), yang performanya kurang menggembirakan di semester I 2025. ESSA mencatat penurunan pendapatan sebesar 9,24% YoY, yakni dari US$ 151,61 juta menjadi US$ 137,58 juta. Sejalan dengan itu, laba bersih tahun berjalan juga merosot 28,56% YoY, dari US$ 27,42 juta menjadi US$ 19,59 juta. Presiden Direktur dan CEO ESSA Industries Indonesia, Kanishk Laroya, menjelaskan bahwa penurunan kinerja ESSA ini terutama disebabkan oleh dua faktor utama: penurunan harga amonia global dan berkurangnya pasokan gas ke pabrik amonia perusahaan. “Kondisi ini merupakan imbas dari pemeliharaan bergilir di pemasok gas hulu, yang pada akhirnya berdampak langsung pada volume produksi amonia kami,” papar Kanishk. Meski demikian, ada secercah harapan bagi ESSA. Proses pemeliharaan yang menjadi kendala telah selesai dan pasokan gas telah kembali normal sejak Juli. Selain itu, harga amonia juga menunjukkan tanda-tanda pemulihan secara bertahap sejak bulan Juni, memberikan potensi perbaikan kinerja di masa mendatang.
Melihat performa beragam ini, Investment Analyst Edvisor Profina Visindo, Indy Naila, menilai bahwa AGII, ESSA, dan LTLS masih menghadapi tekanan pada profitabilitas mereka sepanjang semester I 2025. Kondisi ini kontras dengan BRPT, yang menurutnya sukses mencatatkan kinerja bottom line yang sangat apik, ditunjukkan oleh lonjakan laba bersih yang pesat. “Laba beberapa emiten memang tergerus akibat peningkatan beban usaha dan beban keuangan yang signifikan. Namun, untuk BRPT, performanya justru terangkat pesat berkat pertumbuhan luar biasa di segmen petrokimia,” jelas Indy menganalisis. Untuk mendorong kinerja keuangan ke depan, Indy menyarankan AGII agar lebih mengoptimalkan lini bisnis gas dan jasa yang dimilikinya. Sementara itu, BRPT dipandang perlu untuk melanjutkan dan memperluas ekspansi pada segmen petrokimia guna mempertahankan serta meningkatkan margin keuntungan. Selain itu, semua perusahaan bahan kimia dasar ini juga ditekankan untuk selalu cermat dalam mengamati dan merespons volatilitas harga komoditas, karena faktor ini sangat krusial dalam setiap keputusan bisnis mereka. “Proyeksi ke depan, BRPT tampaknya masih memiliki momentum pertumbuhan yang kuat. Sementara itu, emiten seperti AGII, ESSA, dan LTLS perlu fokus memantau sisi permintaan dan melakukan perbaikan pada beban operasional mereka untuk bisa bangkit,” pungkas Indy.
Menambah perspektif, Senior Market Analyst Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta, menjelaskan bahwa pergerakan harga saham emiten-emiten kimia ini juga sangat dipengaruhi oleh berbagai aksi korporasi yang mereka lakukan dalam rangka ekspansi bisnis. Nafan mengamati bahwa saham BRPT sempat mengalami tekanan dalam sepekan terakhir, utamanya akibat aksi profit taking investor setelah harganya melejit hingga 147,83% sejak awal tahun. Kenaikan luar biasa ini sebagian besar didorong oleh afiliasi BRPT dengan saham-saham lain milik taipan Prajogo Pangestu yang memang sedang menjadi primadona di pasar sejak kuartal II tahun ini. Bagi saham-saham emiten kimia yang masih terdepresiasi, Nafan menekankan pentingnya peningkatan efisiensi bisnis, terutama saat terjadi kenaikan biaya operasional. Selain itu, ia juga menyoroti bahwa penerapan prinsip good corporate governance (GCG) secara disiplin sangat krusial untuk terus menjaga dan meraih kepercayaan investor. “Kenaikan harga komoditas juga diharapkan dapat menjadi katalis positif yang mendorong pergerakan harga saham emiten-emiten kimia ini ke depan,” imbuh Nafan.
Melihat potensi tersebut, Nafan merekomendasikan speculative buy untuk saham BRPT dan TPIA. Untuk BRPT, ia menyarankan investor untuk masuk pada rentang harga Rp 2.280-2.320, sementara TPIA direkomendasikan pada level Rp 9.075-9.275. Senada, Indy Naila juga menyarankan trading buy terhadap saham BRPT, dengan target harga yang lebih ambisius di Rp 2.850 per saham.
Ringkasan
Kinerja emiten bahan kimia dasar pada semester I 2025 bervariasi. Beberapa perusahaan seperti PT Chandra Asri Pacific Tbk (TPIA) dan PT Barito Pacific Tbk (BRPT) mencatatkan lonjakan laba bersih signifikan, terutama didorong oleh akuisisi strategis dan kontribusi dari anak perusahaan di sektor energi terbarukan. Namun, emiten lain seperti PT Samator Indo Gas Tbk (AGII), PT Lautan Luas Tbk (LTLS), dan PT ESSA Industries Indonesia Tbk (ESSA) mengalami penurunan profitabilitas akibat peningkatan beban usaha, fluktuasi harga komoditas, dan gangguan pasokan.
Analis merekomendasikan speculative buy untuk saham BRPT dan TPIA, dengan target harga tertentu. Peningkatan efisiensi bisnis dan penerapan GCG menjadi kunci bagi emiten kimia untuk menjaga kepercayaan investor dan memanfaatkan potensi kenaikan harga komoditas. BRPT dipandang memiliki momentum pertumbuhan yang kuat, sementara emiten yang mengalami penurunan perlu fokus pada peningkatan permintaan dan pengelolaan beban operasional.