Muamalat.co.id, JAKARTA – Nilai tukar rupiah menunjukkan tren pelemahan signifikan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sepanjang pekan terakhir, meskipun sempat mencatat penguatan tipis menjelang penutupan perdagangan.
Mengacu pada data Bloomberg yang dirilis pada Jumat (31/10), rupiah ditutup menguat tipis 0,03%, mencapai level Rp 16.631 per dolar AS dibandingkan posisi perdagangan hari sebelumnya. Namun demikian, secara keseluruhan dalam skala mingguan, mata uang Garuda ini tercatat melemah 0,17% dari level Rp 16.602 per dolar AS pada pekan sebelumnya. Hal ini mengindikasikan adanya tekanan jual yang dominan sepanjang periode tersebut.
Di sisi lain, berdasarkan kurs tengah Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI), rupiah justru ditutup menguat 0,09% ke posisi Rp 16.625 per dolar AS dibandingkan perdagangan sebelumnya. Lebih menarik lagi, secara mingguan, rupiah versi Jisdor bahkan tercatat naik tipis 0,03% dari posisi Rp 16.630 per dolar AS pada pekan lalu, menunjukkan sedikit perbedaan pandangan pasar atau metodologi perhitungan yang patut dicermati.
Alwy Assegaf, seorang analis dari Research & Development Trijaya Pratama Futures, mengamati bahwa pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dalam sepekan terakhir secara umum relatif stabil, meskipun diwarnai oleh fluktuasi. Ia menegaskan, pasar cenderung lebih banyak merespons pengaruh dari faktor eksternal, terutama yang berasal dari kebijakan The Federal Reserve (The Fed).
Lebih lanjut, Alwy menjelaskan bahwa sentimen utama yang memberikan tekanan pada pergerakan rupiah berasal dari pernyataan Ketua The Federal Reserve (The Fed), Jerome Powell. Powell belum memberikan kepastian mengenai peluang penurunan suku bunga lanjutan pada bulan Desember, yang menciptakan ketidakpastian di pasar keuangan global. Situasi ini diperparah oleh isu penutupan sebagian pemerintahan AS yang masih menjadi perhatian pelaku pasar dan menambah volatilitas.
Faktor Domestik: Neraca Perdagangan dan Inflasi
Melangkah ke pekan depan, Alwy memperkirakan bahwa arah pergerakan rupiah akan sangat dipengaruhi oleh sejumlah faktor domestik. Salah satu data kunci yang akan menjadi sorotan adalah rilis data neraca perdagangan Indonesia untuk bulan September. Meskipun diproyeksikan masih mencatat surplus sekitar US$ 5,2 miliar, angka ini diperkirakan sedikit lebih rendah dibanding surplus bulan sebelumnya yang mencapai US$ 5,49 miliar, mengindikasikan adanya perlambatan ekspor.
Selain data neraca perdagangan, pelaku pasar juga akan mencermati proyeksi data inflasi domestik yang diindikasikan akan mengalami kenaikan. Peningkatan inflasi ini berpotensi memberikan tekanan tambahan terhadap stabilitas nilai tukar rupiah, mengingat kekhawatiran akan daya beli dan kemungkinan respons kebijakan moneter yang mungkin diperlukan untuk menahannya.
Dengan mempertimbangkan kombinasi faktor eksternal yang belum menentu dan faktor domestik yang perlu diwaspadai, Alwy Assegaf memproyeksikan bahwa rupiah berpotensi bergerak terbatas pada pekan mendatang. Untuk sepekan ke depan, rentang pergerakan rupiah diperkirakan berada di kisaran Rp 16.580–Rp 16.660 per dolar AS.