Rupiah Menguat Awal Pekan Ini? Cek Prediksi & Faktornya

Muamalat.co.id – JAKARTA. Prospek penguatan kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali mencuat jelang perdagangan Senin (27/10/2025). Berbagai faktor domestik dan global diperkirakan akan menjadi pendorong utama bagi mata uang Garuda untuk mengawali pekan dengan performa positif.

Pada penutupan perdagangan Jumat (24/10), rupiah telah menunjukkan sinyal positif. Berdasarkan data Bloomberg, kurs rupiah di pasar spot tercatat menguat 0,16% secara harian, mencapai level Rp 16.602 per dolar AS. Penguatan ini juga tercermin dari data Jisdor Bank Indonesia (BI) yang menunjukkan kenaikan 0,09% secara harian, ke posisi Rp 16.630 per dolar AS.

Rupiah Bergerak Fluktuatif, Investor Tunggu Hasil Pertemuan China-AS

Faktor global menjadi penentu utama pergerakan kurs rupiah. Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menggarisbawahi data inflasi inti Amerika Serikat (AS) bulan September yang tercatat naik 0,2% secara bulanan (month-to-month/mtm). Kenaikan yang lebih moderat ini diinterpretasikan pasar sebagai sinyal kuat bahwa Bank Sentral AS (The Fed) berpeluang untuk melonggarkan kebijakan moneternya dengan memangkas suku bunga pada pertemuan yang akan datang.

Kondisi ini diperkuat dengan stabilnya imbal hasil obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun yang bertahan di kisaran 4%. Stabilitas ini mengindikasikan meredanya tekanan kenaikan biaya dan potensi pelemahan dolar AS. Josua menjelaskan bahwa perpaduan antara inflasi yang lebih terkendali dan imbal hasil obligasi yang stabil secara historis cenderung mengurangi dorongan penguatan pada dolar AS, sehingga memberikan ruang bagi penguatan mata uang kawasan, termasuk rupiah. “Rupiah yang ditutup menguat ke Rp 16.602 per dolar AS pada Jumat, berpeluang membuka pekan depan (27/10/2025) dengan kecenderungan menguat tipis namun tetap dalam rentang tertentu,” kata Josua kepada Kontan, Sabtu (25/10/2025).

Selain faktor ekonomi AS, sentimen hubungan Amerika Serikat-China juga diprediksi akan menjadi kunci pergerakan rupiah di awal pekan. Josua Pardede menyoroti agenda pertemuan para pemimpin kedua negara yang telah terkonfirmasi. Harapan akan tercapainya kompromi dari pertemuan tersebut diyakini akan meningkatkan selera risiko investor terhadap aset-aset di Asia.

Menurut pandangan riset pasar, kecenderungan kedua negara untuk mencapai kesepahaman akan membatasi tekanan terhadap mata uang di kawasan Asia. Terlebih lagi, penetapan kurs rujukan yuan yang cenderung kuat turut berfungsi sebagai jangkar stabilitas bagi pergerakan mata uang regional lainnya.

Dinamika regional pun menunjukkan indikasi stabilitas yang mendukung. Josua mencatat bagaimana Won Korea sempat menguat menyusul sinyal kesiapan langkah stabilisasi dari otoritas setempat, diikuti oleh penguatan serupa pada Baht Thailand. “Isyarat kesiapan kebijakan di kawasan seperti ini lazimnya menahan pelemahan mata uang Asia pada pembukaan pekan, dan memberi waktu bagi rupiah untuk bergerak mengikuti arus selera risiko global,” jelas Josua, menggarisbawahi dampak positif dari kebijakan regional yang pro-stabilitas.

Tidak hanya itu, sentimen domestik juga turut memperkuat skenario penguatan rupiah, meskipun dalam rentang terbatas. Josua menyoroti imbal hasil Surat Utang Negara (SUN) tenor 10 tahun yang kini berada di sekitar 5,99% dan menunjukkan penurunan signifikan sepanjang bulan berjalan. Kondisi ini menjadi indikasi kuat meningkatnya minat investor terhadap pasar obligasi Indonesia.

Di pasar ekuitas, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga mencatatkan kenaikan impresif sepanjang bulan ini, seiring dengan tren positif mayoritas bursa global pada pekan terakhir. “Kombinasi penurunan imbal hasil obligasi dan penguatan pasar saham lazimnya menarik aliran dana portofolio ke dalam negeri, yang pada gilirannya akan membantu menahan volatilitas rupiah di awal pekan,” papar Josua, menjelaskan sinergi positif antara pasar keuangan domestik dan stabilitas mata uang.

Sementara itu, Pengamat mata uang dan komoditas, Ibrahim Assuaibi, memberikan perspektif tambahan mengenai pengaruh sentimen dari China terhadap rupiah. Menurut Ibrahim, peluncuran rencana ekonomi lima tahun baru oleh Partai Komunis China yang berfokus pada manufaktur canggih, kemandirian teknologi, serta penguatan permintaan domestik, menjadi faktor positif.

Kerangka kebijakan strategis tersebut tidak hanya memperkuat optimisme pasar, tetapi juga menegaskan komitmen Beijing dalam menjaga keberlanjutan pertumbuhan ekonomi melalui reformasi struktural dan inovasi. Hal ini secara tidak langsung turut mendukung stabilitas dan potensi penguatan mata uang kawasan, termasuk rupiah.

Dengan mempertimbangkan berbagai sentimen tersebut, Ibrahim Assuaibi memperkirakan kurs rupiah akan bergerak fluktuatif namun dalam rentang yang terbatas, yaitu Rp 16.600 – Rp 16.650 per dolar AS pada perdagangan Senin (27/10/2025). Senada, Josua Pardede memproyeksikan rupiah akan berada dalam kisaran-susun dengan kecenderungan menguat tipis, bergerak antara Rp 16.550 – Rp 16.680 per dolar AS, menandakan awal pekan yang berpotensi positif bagi mata uang nasional.

Ringkasan

Pada awal pekan, rupiah diprediksi berpotensi menguat terhadap dolar AS didorong oleh faktor global dan domestik. Data Bloomberg menunjukkan rupiah telah menguat pada penutupan perdagangan Jumat, dan sentimen positif diperkirakan berlanjut. Faktor global yang mempengaruhi adalah data inflasi AS yang moderat dan stabilitas imbal hasil obligasi pemerintah AS yang meredakan tekanan pada dolar AS.

Selain faktor global, sentimen domestik juga berperan dalam potensi penguatan rupiah. Imbal hasil Surat Utang Negara (SUN) yang menurun dan penguatan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menunjukkan minat investor yang meningkat terhadap pasar Indonesia. Pertemuan pemimpin AS-China dan rencana ekonomi baru China juga dipandang positif bagi stabilitas mata uang regional, termasuk rupiah.

Leave a Comment