Nilai tukar rupiah menunjukkan pelemahan di pasar spot pada perdagangan Senin (18/8), ditutup pada level Rp 16.198 per dolar Amerika Serikat (AS). Penurunan ini mencerminkan pelemahan sebesar 0,18% dibandingkan posisi penutupan Jumat (15/8) lalu, yang berada di level Rp 16.169 per dolar AS.
Pelemahan nilai tukar rupiah ini, menurut Presiden Komisioner HFX International Berjangka, Sutopo Widodo, kemungkinan besar disebabkan oleh perpaduan sentimen dari ranah global dan domestik. Analisis ini memberikan gambaran komprehensif mengenai faktor-faktor yang menekan mata uang garuda.
Sutopo menjelaskan, di ranah global, dominasi pergerakan dolar AS memiliki dampak signifikan. Penguatan mata uang Paman Sam ini, yang sering kali dipicu oleh data ekonomi Amerika Serikat yang melampaui ekspektasi pasar, pernyataan hawkish dari pejabat Federal Reserve (The Fed), atau adanya sentimen risk-off global—di mana investor mencari aset yang lebih aman seperti dolar AS—secara langsung menekan mata uang lain, termasuk rupiah, untuk melemah.
Di dalam negeri, sentimen negatif dapat bersumber dari rilis data ekonomi seperti inflasi, neraca perdagangan, atau pertumbuhan ekonomi. Apabila indikator-indikator ini menunjukkan performa yang kurang memuaskan, minat investor asing terhadap aset-aset berdenominasi rupiah, seperti saham dan obligasi, dapat berkurang. Fenomena ini kemudian memicu arus modal keluar atau capital outflow. Lebih lanjut, pelebaran selisih imbal hasil (yield) antara obligasi AS dan obligasi Indonesia juga berpotensi mendorong investor asing untuk menarik modalnya dari pasar domestik, yang pada akhirnya meningkatkan permintaan akan dolar AS dan memberikan tekanan lebih lanjut pada rupiah.
Melihat ke depan, Sutopo Widodo memproyeksikan bahwa pergerakan rupiah pada perdagangan berikutnya akan sangat bergantung pada dinamika rilis data ekonomi, perkembangan situasi geopolitik global, serta arah kebijakan moneter, baik yang diterapkan di dalam maupun luar negeri.
Sementara itu, Analis Doo Financial Futures, Lukman Leong, memiliki pandangan yang sedikit berbeda namun tetap sejalan dengan kehati-hatian pasar. Ia memperkirakan rupiah akan cenderung berkonsolidasi dalam rentang yang sempit, seiring investor yang berada dalam mode wait and see. Fokus utama investor saat ini tertuju pada beberapa agenda penting sepanjang pekan, termasuk rilis risalah Federal Open Market Committee (FOMC) dan pidato Ketua The Fed, Jerome Powell, pada simposium ekonomi Jackson Hole yang sangat diantisipasi. Lukman juga menambahkan, pertemuan antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden Ukraina Zelensky diperkirakan tidak akan membawa perubahan signifikan yang dapat memengaruhi pasar.
Dari sisi domestik, para investor juga menantikan Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) yang dijadwalkan pada hari Rabu. Meskipun proyeksi awal mengindikasikan Bank Indonesia kemungkinan akan mempertahankan tingkat suku bunga acuan, Lukman tidak menutup kemungkinan adanya pemangkasan jika tekanan terhadap dolar AS menunjukkan tanda-tanda mereda, memberikan ruang bagi kebijakan moneter yang lebih longgar.
Dengan mempertimbangkan berbagai faktor tersebut, Sutopo Widodo memproyeksikan rupiah akan bergerak dalam rentang yang ketat, yakni antara Rp 16.150 hingga Rp 16.250 per dolar AS. Senada, Lukman Leong juga memperkirakan pergerakan yang cenderung konsolidatif, dengan proyeksi rentang yang sedikit lebih luas, yaitu di level Rp 16.100 hingga Rp 16.250 per dolar AS untuk perdagangan Selasa (19/8).
Ringkasan
Nilai tukar rupiah melemah 0,18% pada Senin (18/8), ditutup di Rp 16.198 per dolar AS. Pelemahan ini disebabkan oleh faktor global seperti penguatan dolar AS akibat data ekonomi AS yang baik dan sentimen risk-off, serta faktor domestik seperti potensi pelemahan data ekonomi dan arus modal keluar.
Proyeksi untuk Selasa (19/8) menunjukkan pergerakan rupiah yang cenderung terbatas. Sutopo Widodo memprediksi rentang Rp 16.150-Rp 16.250 per dolar AS, sementara Lukman Leong memperkirakan rentang Rp 16.100-Rp 16.250 per dolar AS. Pergerakan ini bergantung pada rilis data ekonomi, situasi geopolitik, dan kebijakan moneter domestik dan global.