Rupiah menghadapi tekanan signifikan pada Selasa (26/8/2025), tercatat melemah di tengah gejolak pasar global. Menurut data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI), nilai tukar rupiah berada di level Rp 16.277 per dolar Amerika Serikat (AS). Angka ini mencerminkan depresiasi sebesar 0,14% jika dibandingkan dengan posisi Senin (25/8) yang kala itu stabil di Rp 16.255 per dolar AS. Tekanan terhadap rupiah juga terlihat jelas di pasar spot, di mana mata uang Garuda ini menutup perdagangan pada level Rp 16.299 per dolar AS, melanjutkan pelemahan sebesar 0,25% dari sesi sebelumnya yang ditutup di Rp 16.351 per dolar AS.
Pelemahan rupiah ini tidak berdiri sendiri, melainkan sejalan dengan tren koreksi yang melanda sejumlah mata uang di kawasan Asia. Peso Filipina dan won Korea Selatan bahkan memimpin penurunan, masing-masing ambruk lebih dari 0,5% terhadap dolar AS. Sementara itu, ringgit Malaysia dan rupee India turut tertekan bersama rupiah, melemah lebih dari 0,2%.
Sentimen negatif global ini dipicu oleh guncangan di pasar keuangan global menyusul langkah tak terduga Presiden AS, Donald Trump. Ia secara mendadak memecat pejabat The Fed, Lisa Cook, dengan dalih dugaan penyimpangan hipotek. Keputusan yang tidak lazim ini sontak memicu kekhawatiran serius di kalangan investor mengenai independensi bank sentral AS. Imbasnya, indeks dolar AS sempat menunjukkan respons volatile, anjlok 0,2% setelah sehari sebelumnya justru melonjak tajam 0,7%.
Menanggapi dinamika ini, Christopher Wong, seorang analis valas dari OCBC, menilai bahwa pelemahan dolar AS saat ini merefleksikan meningkatnya keresahan pasar. Kekhawatiran tersebut berpusat pada kemungkinan bahwa perombakan dalam struktur The Fed dapat membuka jalan bagi penerapan kebijakan moneter yang lebih dovish atau akomodatif. Kendati demikian, Wong menambahkan, apabila dalam beberapa pekan mendatang kekhawatiran terhadap perlambatan ekonomi global terbukti berlebihan dan pasar mendapatkan kejelasan mengenai panduan pemangkasan suku bunga The Fed, maka dolar AS berpotensi kembali melemah. Skenario ini, menurutnya, akan menciptakan peluang bagi mata uang-mata uang Asia, termasuk won Korea Selatan dan ringgit Malaysia, untuk kembali menguat.
Di tengah fluktuasi pasar ini, perhatian investor kini tertuju pada serangkaian data ekonomi penting yang akan dirilis. Hari ini, pasar menantikan publikasi data Consumer Confidence Conference Board dan pesanan barang tahan lama (durable goods orders) untuk bulan Juli di Amerika Serikat. Sementara itu, indikator inflasi utama yang menjadi preferensi The Fed, yakni indeks harga pengeluaran konsumsi pribadi (PCE), dijadwalkan akan dirilis pada Jumat mendatang, yang berpotensi memberikan arah lebih lanjut bagi ekspektasi kebijakan moneter AS.
Tidak hanya dari Amerika Serikat, fokus juga beralih ke kebijakan bank sentral di tingkat regional. Pekan ini, Bank of Korea dan Bangko Sentral ng Pilipinas dijadwalkan akan mengumumkan keputusan terkait suku bunga acuan mereka. Konsensus para ekonom memperkirakan Korea Selatan akan mempertahankan suku bunga acuannya, sedangkan Filipina diproyeksikan akan melakukan pemangkasan suku bunga sebesar 25 basis poin.
Tren pelonggaran kebijakan moneter juga telah terlihat di beberapa negara Asia lainnya. Bank Indonesia, contohnya, mengejutkan pasar pekan lalu dengan memangkas suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin, bahkan mengisyaratkan potensi pemangkasan lanjutan. Senada dengan itu, Bank of Thailand juga telah mengambil langkah proaktif dengan menurunkan suku bunga sebesar 25 basis poin. Sementara itu, Reserve Bank of India memilih untuk menahan suku bunga setelah sebelumnya melakukan pemangkasan signifikan sebesar 50 basis poin pada Juni lalu, menunjukkan pendekatan yang bervariasi di antara bank sentral regional dalam menanggapi kondisi ekonomi saat ini.
Ringkasan
Pada Selasa, 26 Agustus 2025, rupiah mengalami pelemahan terhadap dolar AS, tercatat pada Rp 16.277 menurut data Jisdor Bank Indonesia. Pelemahan ini sejalan dengan tren koreksi mata uang di Asia, dipicu oleh gejolak pasar keuangan global akibat pemecatan pejabat The Fed oleh Presiden AS. Tindakan ini menimbulkan kekhawatiran akan independensi bank sentral AS, mempengaruhi indeks dolar AS.
Analis valas OCBC menilai pelemahan dolar AS mencerminkan keresahan pasar terkait kebijakan moneter The Fed. Investor kini menantikan data ekonomi AS dan keputusan suku bunga dari Bank of Korea dan Bangko Sentral ng Pilipinas. Beberapa bank sentral di Asia, termasuk Bank Indonesia dan Bank of Thailand, telah melonggarkan kebijakan moneter dengan memangkas suku bunga.