
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Sejak awal tahun 2025, dinamika pasar modal Indonesia diwarnai oleh perombakan signifikan dalam keanggotaan indeks MSCI, tolok ukur penting bagi investor global. Perubahan komposisi ini kerap memicu sentimen yang mempengaruhi pergerakan harga saham emiten-emiten yang terlibat, baik positif maupun negatif.
Pada pembaruan edisi Februari 2025, MSCI melakukan penyesuaian besar dengan mencoret tiga emiten dari daftar MSCI Global Standard Indexes. Ketiga saham tersebut adalah PT Indah Kiat Pulp and Paper Tbk (INKP), PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA), dan PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR). Sebagai langkah selanjutnya, INKP dan MDKA dialihkan ke MSCI Small Cap Index, di mana mereka bergabung dengan PT Sariguna Primatirta Tbk (CLEO) yang juga baru masuk.
Tak berhenti di situ, pembaruan pada Mei 2025 kembali membawa perubahan dalam indeks MSCI Small Cap. Kali ini, MSCI menambahkan dua anggota baru yang menarik perhatian pelaku pasar, yaitu PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk (MTEL) dan PT Merdeka Battery Materials Tbk (MBMA), memperkaya daftar saham dengan potensi pertumbuhan.
Analis MNC Sekuritas PIK, Hijjah Marhama, menyoroti bahwa perubahan posisi saham dalam indeks MSCI dapat menjadi sentimen negatif yang signifikan, khususnya bagi saham-saham yang terdegradasi. Ia mencontohkan kasus INKP dan MDKA yang sebelumnya berada di MSCI Global Standard namun kemudian turun ke kategori MSCI Small Cap. “Tentu menekan pergerakan harga saham karena ekspektasi foreign flow yang porsinya menurun,” ungkap Hijjah kepada Kontan, Kamis (7/8).
Dampak langsung dari sentimen ini terlihat jelas. Setelah pengumuman pada Februari lalu, harga saham INKP sempat terkoreksi tajam hingga 29% dalam kurun waktu dua bulan, jatuh dari level Rp 6.000 ke posisi terendah Rp 4.290 pada 9 April 2025. Senada dengan itu, MDKA juga mengalami tekanan serupa, anjlok 32% dalam periode yang sama, menunjukkan respons pasar yang cepat terhadap perombakan indeks.
“Yang paling berpengaruh untuk jangka lebih panjang adalah saham yang benar-benar new entry,” jelas Hijjah, menekankan bahwa masuknya saham baru ke dalam indeks ini membawa potensi aliran dana segar yang signifikan. Lebih lanjut, Hijjah menegaskan bahwa indeks MSCI merupakan acuan krusial bagi manajer investasi global dalam membuat keputusan alokasi portofolio mereka. Dengan menganalisis perubahan komposisi indeks, pelaku pasar dapat mengidentifikasi saham mana yang bobotnya ditambah, yang kembali masuk (re-entry), atau yang mengalami pengurangan bobot (underweight).
Perubahan tersebut tidak hanya berdampak langsung pada saham yang bersangkutan, tetapi juga berpotensi memengaruhi pergerakan saham lain dalam sektor yang sama atau yang memiliki hubungan afiliasi. Hal ini menciptakan efek domino yang perlu dicermati oleh investor.
Di sisi lain, Hijjah juga mengingatkan bahwa arus dana asing yang mengalir sebagai respons terhadap perubahan indeks seringkali bersifat dinamis dan cenderung berjangka pendek. Oleh karena itu, investor disarankan untuk tetap mempertimbangkan prospek fundamental emiten secara menyeluruh. Ini mencakup analisis kondisi global, potensi pertumbuhan bisnis inti, rencana aksi korporasi, hingga sentimen pasar yang lebih luas, untuk pengambilan keputusan investasi yang lebih matang.
Pengamat Pasar Modal dari Universitas Indonesia, Budi Frensidy, menambahkan bahwa saham-saham yang baru masuk ke dalam indeks MSCI, terutama yang berkapitalisasi besar, umumnya akan mendapatkan sentimen positif. Hal ini dipicu oleh masuknya investor institusi asing yang menyesuaikan bobot saham tersebut dalam indeks. Namun, Budi menilai dampak dari sentimen MSCI terhadap pergerakan saham biasanya tidak berlangsung lama. “Paling hanya sekitar satu pekan, lalu kembali stabil,” terang Budi kepada Kontan, Rabu (7/8).
Senada dengan pandangan tersebut, Managing Director Research PT Samuel Sekuritas Indonesia, Harry Su, menegaskan bahwa keberadaan suatu saham dalam indeks MSCI memang mampu berdampak pada pergerakan harga. Pasalnya, banyak fund manager asing yang tolok ukurnya secara eksplisit mengacu pada indeks MSCI. “Tentunya ada pengaruh,” tambah Harry singkat kepada Kontan, Kamis (7/8).
Adapun menurut Hijjah, saat ini saham MDKA memiliki katalis positif seiring dengan potensi rebound harga tembaga global. Ia melihat peluang bagi MDKA untuk mencapai level Rp 3.000, dengan batas risiko (stop loss) di kisaran Rp 2.200, mengisyaratkan potensi kenaikan yang menjanjikan.
Sementara itu, untuk saham MTEL, permintaan terhadap menara telekomunikasi dinilai tetap stabil, menjaga fundamental bisnisnya tetap solid. Perusahaan juga terus memperkuat bisnis serat optik dan mulai mengadopsi sistem RCS, yang mencerminkan strategi diversifikasi usaha yang solid dan adaptasi terhadap perkembangan teknologi. Menurut Hijjah, prospek jangka panjang MTEL cukup menjanjikan, dengan target harga di level Rp 780 dan stop loss di kisaran Rp 560, menunjukkan potensi pertumbuhan yang berkelanjutan.
Ringkasan
Pada tahun 2025, indeks MSCI Indonesia mengalami perubahan signifikan dengan masuk dan keluarnya beberapa emiten. Beberapa emiten seperti INKP dan MDKA diturunkan dari MSCI Global Standard Indexes ke MSCI Small Cap Index, yang mempengaruhi pergerakan harga saham mereka. Sebaliknya, MTEL dan MBMA masuk ke MSCI Small Cap Index, berpotensi menarik aliran dana segar dan mempengaruhi harga saham.
Perubahan dalam indeks MSCI dapat memicu sentimen pasar jangka pendek, terutama karena banyak fund manager asing menggunakan indeks ini sebagai acuan. Analis menyarankan investor untuk mempertimbangkan fundamental emiten secara menyeluruh, termasuk prospek pertumbuhan bisnis, kondisi global, dan aksi korporasi, dalam mengambil keputusan investasi. Meskipun sentimen MSCI berpengaruh, dampaknya dinilai tidak bertahan lama.