Muamalat.co.id – JAKARTA. Nilai tukar rupiah sepanjang 2025 bergerak melemah. Memasuki 2026, rupiah diproyeksi masih bergerak defensif dengan kecenderungan datar hingga melemah, seiring terbatasnya ruang penguatan di tengah tantangan eksternal dan domestik.
Untuk diketahui, sepanjang 2025 pergerakan rupiah dapat dibaca sebagai pelemahan yang gradual dan terkendali, bukan depresiasi yang bersifat tajam.
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef, M. Rizal Taufikurahman, mengatakan sepanjang 2025 pergerakan rupiah dapat dibaca sebagai pelemahan yang gradual dan terkendali, bukan depresiasi yang bersifat tajam.
Siang Ini, Rupiah Melemah ke Rp 16.783 per Dolar AS
Adapun tekanan terhadap rupiah sebenarnya sudah terasa sejak awal tahun, terutama akibat menguatnya dolar AS seiring ekspektasi suku bunga global yang bertahan tinggi lebih lama dari perkiraan awal.
Pada fase ini, arus modal portofolio cenderung keluar dari emerging markets, termasuk Indonesia. Memasuki pertengahan tahun, rupiah sempat bergerak lebih stabil berkat masuknya devisa ekspor dan respons kebijakan Bank Indonesia yang aktif menjaga pasar melalui intervensi valas dan instrumen stabilisasi.
“Namun di paruh akhir tahun, tekanan kembali meningkat seiring ketidakpastian global yang belum mereda dan meningkatnya kehati-hatian investor terhadap prospek fiskal dan pembiayaan domestik,” terang Rizal kepada Kontan, awal pekan lalu.
Pun keputusan BI menahan suku bunga di level 4,75% pada Desember 2025 mencerminkan fokus utama menjaga stabilitas nilai tukar di tengah ruang pelonggaran yang semakin terbatas.
Menurutnya, memasuki tahun 2026, rupiah masih berpotensi bergerak relatif datar dengan bias melemah, kendati bukan masuk fase pelemahan tajam.
“Kisaran Rp 16.600 per dolar AS masih cukup relevan sebagai titik tengah pergerakan, tetapi dengan rentang fluktuasi yang lebih lebar,” ujar Rizal kepada Kontan, awal pekan lalu.
Diferensial suku bunga Indonesia-AS yang masih ketat, kebutuhan pembiayaan eksternal yang tetap besar, serta sikap investor global yang masih selektif membuat ruang penguatan rupiah menjadi terbatas.
Dalam kondisi seperti ini, Rizal menyebut rupiah cenderung bergerak defensive, yakni tidak mudah menguat, tetapi juga tidak mudah tertekan dalam selama stabilitas makro tetap terjaga.
Saham Darma Henwa (DEWA) Melejit di Atas Target Para Analis
Di sisi lain, peluang penguatan rupiah sebenarnya tetap terbuka, meski sifatnya kondisional dan tidak otomatis. Surplus neraca perdagangan yang berlanjut memang menjadi bantalan fundamental penting, namun ketergantungan pada komoditas membuat efeknya rentan terhadap volatilitas harga global.
Sikap BI yang semakin berhati-hati memang membantu menahan ekspektasi depresiasi, tetapi penguatan yang lebih berkelanjutan membutuhkan katalis tambahan, terutama masuknya investasi langsung yang kuat dan berkualitas.
“Tanpa dorongan FDI (Foreign Direct Investment) dan perbaikan persepsi risiko jangka menengah, surplus dagang dan stabilitas kebijakan moneter saja belum cukup untuk mendorong apresiasi signifikan,” lanjutnya.
Rizal menjelaskan, bahwa ke depan pasar akan mencermati kombinasi sentimen eksternal dan internal secara bersamaan. Dari eksternal, arah kebijakan The Fed, dinamika geopolitik, serta pergerakan harga komoditas tetap menjadi penentu utama volatilitas.
Sedang dari internal, kredibilitas bauran kebijakan fiskal dan moneter menjadi kunci, terutama terkait disiplin pengelolaan defisit, strategi pembiayaan utang, dan konsistensi reformasi struktural.
Indo Premier Luncurkan Reksadana ETF Pasar Uang Pertama di Indonesia
Dengan mempertimbangkan seluruh faktor tersebut, Rizal memproyeksi pada 2026 rupiah paling realistis bergerak di kisaran Rp 17.000 per dolar AS. Pelemahan menembus Rp 17.000 kemungkinan hanya terjadi jika muncul guncangan eksternal besar atau memburuknya persepsi risiko domestik.
“Artinya, 2026 masih lebih tepat dibaca sebagai tahun stabilisasi nilai tukar, bukan tahun penguatan struktural rupiah,” tutur dia.