Suasana Cafe & Hotel Anda Terancam? Royalti Musik Alam!

Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) menegaskan bahwa penggunaan rekaman suara burung di ruang publik komersial tetap dikenakan royalti, asalkan terdapat produser rekaman tersebut. Hal ini ditegaskan oleh Komisioner LMKN, Dedy Kurniadi, usai pelantikan Komisioner LMKN periode 2025-2028 di Jakarta, Jumat (8/8). “Dikenakan royalti karena ada pemegang hak terkait karya rekaman suara itu,” jelasnya.

Dedy Kurniadi mengamati tren terbaru di kalangan pelaku usaha yang beralih dari memutar musik ke suara alam, termasuk suara burung. Menurutnya, pergeseran ini tidak serta merta membebaskan kewajiban royalti. Ia menekankan bahwa upaya ini sejalan dengan komitmen LMKN untuk meningkatkan pengumpulan royalti demi kesejahteraan pencipta lagu dan pemegang hak terkait. “Siapa masyarakat Indonesia yang tidak ingin penciptanya sejahtera? Itu kuncinya,” tegasnya.

Lebih lanjut, Dedy menyoroti masih rendahnya kesadaran masyarakat Indonesia dalam membayar royalti. Total royalti musik yang terkumpul di Indonesia hanya sekitar Rp75 miliar, jauh tertinggal dibandingkan Malaysia yang mencapai Rp600 miliar, bahkan beberapa negara lain yang mampu mengumpulkan hingga Rp1 triliun. Perbedaan signifikan ini, menurutnya, merupakan indikator penting dari kurangnya edukasi masyarakat terkait hak cipta dan pentingnya menghargai karya pencipta. “Ini berkaitan dengan masih kurangnya edukasi masyarakat di Indonesia. Kami perlu mengupayakannya sejak awal, agar masyarakat secara sadar menghargai para pencipta lagu dan pemegang hak terkait, karena mereka juga berhak sejahtera,” imbuhnya. LMKN pun berkomitmen untuk meningkatkan edukasi dan penegakan hukum untuk melindungi hak cipta.

Penjelasan DJKI

Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM sebelumnya telah menegaskan kewajiban pembayaran royalti bagi seluruh pelaku usaha yang memutar musik di ruang publik komersial, termasuk restoran, kafe, toko, pusat kebugaran, dan hotel. Direktur Hak Cipta dan Desain Industri Kemenkumham, Agung Damarsasongko, menjelaskan bahwa langganan pribadi layanan streaming seperti Spotify, YouTube Premium, atau Apple Music tidak mencakup hak pemutaran komersial di ruang publik. Layanan tersebut bersifat personal. Namun, pemutaran musik di ruang usaha merupakan penggunaan komersial yang memerlukan lisensi tambahan melalui mekanisme resmi, yaitu melalui pembayaran royalti kepada LMKN sesuai Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.

Baca juga:

  • Trump Mediasi Perdamaian Armenia–Azerbaijan, Akhiri 35 Tahun Konflik
  • Indonesia, Prancis dan Cina Kecam Rencana Israel Kuasai Gaza
  • Viral Mahasiswa Telat Kembalikan Buku Didenda Rp 5 Juta, Ini Klarifikasi UGM

Ringkasan

Penggunaan suara alam, seperti suara burung, di tempat usaha komersial tetap dikenakan royalti jika terdapat produser rekamannya. Hal ini ditegaskan LMKN, karena adanya pemegang hak terkait karya rekaman tersebut. Meskipun banyak usaha beralih ke suara alam, kewajiban royalti tetap berlaku dan LMKN berkomitmen meningkatkan pengumpulan royalti untuk kesejahteraan pencipta.

Rendahnya kesadaran masyarakat Indonesia membayar royalti musik, hanya sekitar Rp75 miliar dibandingkan Malaysia Rp600 miliar, menjadi perhatian. Perbedaan signifikan ini menunjukkan kurangnya edukasi masyarakat tentang hak cipta. LMKN berkomitmen meningkatkan edukasi dan penegakan hukum untuk melindungi hak cipta dan meningkatkan kesejahteraan pencipta lagu.

Leave a Comment