Valuasi Saham LQ45 Melonjak Meski Laba Tertekan, Investor Perlu Waspada

Muamalat.co.id JAKARTA. Laporan keuangan kuartal III-2025 telah dirilis oleh mayoritas emiten yang tergabung dalam indeks LQ45 hasil rebalancing terbaru. Ironisnya, di tengah status mereka sebagai saham pilihan, sebagian besar emiten ini justru menghadapi tekanan signifikan pada kinerja laba bersih atau bottom line.

Dari catatan KONTAN, beberapa emiten unggulan mencatatkan penurunan laba, bahkan ada yang terperosok ke dalam kerugian. Sebagai contoh, PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) melaporkan koreksi laba bersih sebesar 22,17% secara tahunan (yoy), menjadi US$104,28 juta hingga akhir September 2025. Situasi lebih memprihatinkan dialami PT Amman Mineral Tbk (AMMN), yang menanggung kerugian hingga US$178,53 juta pada periode yang sama.

Yang mengejutkan, meskipun fundamental perusahaan belum menunjukkan kekuatan, sejumlah saham LQ45 justru memiliki valuasi saham yang terbilang mahal atau overvalued. Fenomena ini jelas terlihat dari rasio Price to Earnings Ratio (PER) yang melonjak tinggi, menunjukkan disonansi antara harga pasar dan profitabilitas inti perusahaan.

Ambil contoh saham AMMN, yang memiliki PER fantastis mencapai 2.376 kali di harga Rp7.100 per saham hingga perdagangan Jumat (31/10/2025). Meskipun demikian, sepanjang tahun berjalan (year to date), saham ini justru terkoreksi 16,22%. Sebaliknya, saham PGEO mengalami kenaikan tajam 38,83% (ytd) ke level Rp1.305 per saham, meskipun valuasinya juga tinggi dengan PER 25,36 kali. Bahkan, PT Bumi Resources Tbk (BUMI), penghuni baru LQ45, mencatat lonjakan harga 15,45% (ytd) dengan rasio PER yang mencapai 855,42 kali, padahal laba bersih BUMI anjlok 76,1% secara tahunan menjadi US$29,4 juta hingga kuartal III-2025.

Menanggapi fenomena ini, Pengamat Pasar Modal Universitas Indonesia, Budi Frensidy, menilai bahwa pergerakan harga saham di indeks LQ45 tidak selalu mencerminkan secara akurat kondisi fundamental perusahaan. “Kenaikan harga saham sering kali lebih dipengaruhi oleh faktor permintaan di pasar, seperti aksi buyback, peran market maker, atau liquidity provider,” ujar Budi, Minggu (2/11/2025).

Senada, Co-Founder Pasardana, Hans Kwee, menambahkan bahwa dinamika pasar saham Indonesia pada 2025 mengalami perubahan signifikan. Saham-saham berkapitalisasi besar dengan fundamental kuat justru tertekan akibat keluarnya dana asing (outflow). Di sisi lain, saham-saham milik konglomerasi cenderung naik, didorong oleh banyaknya aktivitas bisnis. “Penurunan peringkat saham Indonesia oleh beberapa perusahaan investasi global turut membuat investor asing melakukan aksi jual pada saham-saham berkapitalisasi besar,” jelas Hans.

Melengkapi pandangan tersebut, Investment Analyst Edvisor Provina Visindo, Indy Naila, menekankan bahwa kinerja saham LQ45 tidak hanya ditentukan oleh performa keuangan internal perusahaan. “Faktor makroekonomi, kondisi sektor industri, serta arus dana asing juga sangat memengaruhi pergerakan harga saham,” ujarnya.

Melihat kondisi pasar yang kompleks ini, para analis sepakat bahwa investor perlu lebih selektif dan cermat dalam menilai valuasi saham unggulan. Hal ini krusial agar tidak terjebak dalam euforia harga yang tidak sejalan dengan kinerja keuangan sebenarnya, sehingga keputusan investasi dapat didasarkan pada analisis yang solid dan hati-hati.

Leave a Comment