Rekomendasi strategi belanja saham big caps harga diskon jelang 2026

Muamalat.co.id , JAKARTA – Akhir tahun ini dinilai menjadi momentum yang tepat bagi investor untuk melaksanakan strategi akumulasi terhadap saham-saham dengan valuasi murah atau terdiskon tetapi memiliki prospek yang positif pada 2026.

Indeks harga saham gabungan (IHSG) pada Selasa (9/12/2025) ditutup melemah 0,61% atau 53,51 poin ke 8.657. Level indeks komposit ini mencerminkan pertumbuhan 22,28% secara year to date (YtD).

Walau IHSG menguat sejak awal tahun, terdapat sejumlah saham yang menjadi penghuni top laggard, alias saham-saham boncos yang menjadi pemberat terbesar indeks komposit. Lima teratas dari deretan saham boncos ini adalah PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA), PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI), PT Amman Mineral Internasional Tbk. (AMMN), PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI), dan PT Bayan Resources Tbk. (BYAN).

Harga BBCA pada Selasa lalu ditutup turun 2,41% ke Rp8.100, mencerminkan koreksi 16,28% YtD. Sedangkan BBRI menguat 0,27% ke Rp3.680, namun secara YtD harganya susut 9,80%. Berikutnya ada BMRI yang turun 1,21% ke Rp4.890, atau 14,21% secara YtD, AMMN juga terkoreksi 1,59% ke Rp6.200 atau susut 26,84% YtD, serta ada saham BYAN yang ditutup turun 1,27% ke Rp17.500, mencerminkan penyusutan 13,58% YtD.

Menilik valuasi harga saham tersebut, price to earnings ratio (PER) BBCA berada di 17,26 kali dengan price to book value ratio (PBV) 3,61 kali. Berikutnya, PER BMRI ada di 9,07 kali dengan PBV 1,62 kali, PER BBRI di 10,26 kali dengan PBV 1,68 kali, PER BYAN ada di 50,22 kali dengan PBV 15,04 kali, sementara PER AMMN -113,79 kali dengan PBV 5,51 kali.

Sebagai konteks, PER dan PBV biasanya dipakai sebagai indikator untuk mengukur harga wajar sebuah saham. PE dihitung dengan membandingkan harga saham dengan laba per saham atau earning per share (EPS).

Sederhananya, PER tinggi berarti pasar menilai perusahaan punya prospek yang besar, dan harga saham cenderung mahal. Sementara itu, PER rendah menunjukkan harga saham sedang murah, atau bisa jadi labanya sedang turun. Contohnya PER AMMN yang negatif sejalan dengan rugi bersih yang diderita perseroan sepanjang Januari-September 2025.

Adapun, PBV dihitung dengan membandingkan harga saham dengan nilai buku per saham atau book value per share (BVPS). BVPS dapat dihitung dengan membandingkan ekuitas perusahaan dengan jumlah saham beredar. PBV biasanya digunakan untuk mengukur kewajaran harga saham dibandingkan dengan nilai buku perusahaan. 

Analis Infovesta Kapital Advisori, Ekky Topan melihat dari deretan saham tersebut terdapat saham yang menarik diakumulasi karena harganya cenderung sedang murah meski fundamentalnya positif.

“Untuk strategi investasi, saham-saham yang terkoreksi signifikan seperti bank-bank besar justru lebih menarik untuk akumulasi bertahap. Pendekatannya bisa menggunakan dollar-cost averaging menjelang awal 2026 sambil menunggu kepastian siklus penurunan suku bunga global, stabilisasi rupiah, dan perbaikan kualitas kredit,” kata Ekky kepada Bisnis, Selasa (9/12/2025).

Sementara untuk saham komoditas seperti BYAN dan AMMN, Ekky menyarakan agar ada pendekatan yang lebih selektif. Investor sebaiknya menunggu kepastian siklus harga atau konfirmasi teknikal yang lebih kuat sebelum masuk. 

Ekky menilai pelemahan harga saham yang dialami lima emiten tersebut sepanjang 2025 memang sudah tercermin cukup jauh dalam valuasinya, terutama untuk bank-bank besar seperti BBRI dan BMRI. Secara price-to-book value, kedua emiten tersebut sudah berada di level yang relatif murah secara historis, sehingga secara valuasi bisa dibilang mulai mendekati harga wajarnya. 

“Berbeda dengan BBCA yang meski secara PER dan PBV masih lebih premium, valuasinya justru tampak lebih menarik dibanding posisi 1–2 tahun terakhir karena pertumbuhan laba tetap positif dan kualitas aset tetap terjaga. Jadi untuk emiten yang fundamentalnya tetap solid, depresiasi harga tahun ini lebih banyak disebabkan sentimen pasar, bukan melemahnya kinerja inti,” ujar Ekky.

Menilik kinerja laba bersih periode Januari-September 2025 dari kelima emiten itu, BBCA membukukan kenaikan laba bersih 5,7% year on year (YoY) menjadi Rp43,4 triliun, sementara BBRI mencatatkan laba bersih Rp41,23 triliun atau turun 9,1% YoY, kemudian BMRI membukukan laba bersih Rp37,7 triliun atau turun 10,24% YoY.

Kemudian, BYAN mengalami koreksi laba besrih 15,89% YoY menjadi US$ 522,15 juta, sedangkan AMMN menderita rugi bersih US$175 juta, berbanding terbalik dengan laba bersih periode yang sama 2024 senilai US$720 juta.

Secara keseluruhan, menurutnya peluang rebound pada 2026 atas kelima saham tersebut cukup terbuka, tetapi paling kuat ada pada sektor perbankan besar yang saat ini valuasinya sudah berada di titik menarik dan menjadi kandidat utama untuk re-rating ketika sentimen global kembali kondusif.

“Untuk peluang rebound tahun depan, sektor perbankan besar menurut saya menjadi kandidat paling jelas. Jika suku bunga global memasuki fase penurunan pada 2026, maka NIM, pertumbuhan kredit, hingga tekanan biaya dana berpotensi membaik. Selain itu, big banks biasanya menjadi tujuan utama aliran dana asing ketika risiko global mereda,” tegasnya. 

Ekky merinci, BBCA memiliki prospek pemulihan paling cepat karena kualitas asetnya paling defensif, sementara BBRI dan BMRI punya peluang rebound lebih besar dari sisi valuasi yang sudah sangat terdiskon. 

Kemudian, untuk emiten komoditas seperti BYAN dan AMMN, dia menilai prospeknya lebih bergantung pada siklus harga komoditas. Saat ini, harga saham BYAN secara valuasi masih sangat premium sehingga ruang kenaikannya lebih terbatas, sedangkan AMMN membutuhkan sentimen positif dari harga tembaga dan kejelasan ekspansi hilirisasi agar minat pasar kembali pulih.

Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.

Leave a Comment