Jejak duka di Ranah Minang: Catatan perjalanan menyusur sisa amuk banjir bandang

Pengalaman menjejak Ranah Minang hari itu menjadi hal yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Terbang di atas ketinggian sepuluh ribu kaki dari permukaan tanah pada Jumat (5/12), saya melihat kota Padang yang menjadi ibu kota provinsi Sumatra Barat tak lagi indah seperti yang biasa terpampang di berbagai kampanye wisata. 

Di sepanjang mata memandang bercak lumpur yang dibawa banjir terlihat di mana-mana. Padahal, itu adalah hari kedelapan setelah bencana. Saya tak bisa membayangkan betapa nestapa mencekam di hari banjir bandang itu menerjang kota Padang. 

Selama tiga hari berturut-turut, hujan mengguyur wilayah Sumatra bagian barat dan utara. Sejak Senin (24/11), intensitas hujan meningkat tajam akibat siklon Senyar. Bencana pun datang beruntun. Pada Rabu (26/11), kabar duka pertama menyebar: sebuah kampung di Malalak, Kabupaten Agam, tenggelam diterjang banjir bandang dan longsor.

Sehari berselang, kabar serupa kembali datang. Berjarak sekitar 118 kilometer dari Malalak, sebuah kampung bernama Salareh Aia Timur di Kecamatan Palembayan masih di Kabupaten Agam dilaporkan hilang, tersapu banjir bandang tanpa sisa.

Baca juga:

  • Simulasi Demi Nyawa di Masa Depan: 42 Jurnalis Latihan Liputan di Daerah Rawan
  • Laporan dari Agam: Duka di Kampung yang Hilang, Sepekan Setelah Banjir Bandang
  • Laporan dari Lembah Anai: Tangan-Tangan yang Tak Menyerah di Jalan yang Terbelah

Di Padang, air meluap dari sejumlah sungai yang bermuara ke laut. Sebanyak 16 kabupaten dan kota terendam, 24.049 warga terpaksa mengungsi. Maka, ketika saya tiba di Bandar Udara Minangkabau dan bergerak menuju kota, jejak amuk banjir bandang itu masih begitu jelas.

Robohan kayu, genangan air, serta rumah-rumah rusak menjadi pemandangan yang jamak. Warga terus bercerita tentang kedahsyatan banjir di penghujung November itu. Mereka menyebut banjir bandang sebagai galodo, yaitu bahala yang menghantam Ranah Minang.

Lubuk Minturun menjadi lokasi pertama yang saya datangi bersama tim Katadata.co.id. Mobil kami berhenti di depan sebuah perumahan elit bernama Lumin Park Cluster, kawasan yang tak luput dari terjangan banjir. Deretan rumah dua lantai berdiri sunyi. Lantai pertama tertutup lumpur. Mobil dan sepeda motor tergeletak tak beraturan, sebagian tertimbun material longsor.

Tak jauh dari perumahan itu, sebuah sungai membentang dengan lebar sekitar sepuluh meter. Dari perbincangan dengan warga, saya baru mengetahui bahwa Sungai Batang Kuranji awalnya hanya selebar separuh dari kondisi saat ini. Kedalamannya pun dulu tiga kali lebih dalam. Banjir telah mengikis dinding sungai sekaligus mendangkalkannya.

Pemandangan Sungai Kuranji hari itu jauh berbeda dari yang pernah saya lihat di media sosial. Air yang sebelumnya jernih berubah menjadi cokelat pekat, dipenuhi lumpur, gelondongan kayu, serta batu-batu besar. Seluruh material itu terbawa dari hulu sungai, dari perbukitan di belakang Lubuk Minturun.

Banjir bandang di Padang (ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra/foc.)  

Saat menyusuri aliran bekas banjir hingga ke hilir, kondisinya kian porak-poranda. Langkah saya terhenti di samping sebuah rumah yang nyaris ambruk. Lumpur menutupi hampir setengah bagian rumah. Di depan rumah itu menganga bukaan aliran banjir selebar sekitar 15 meter. Satu langkah saja, saya bisa terjatuh ke dalamnya.

Saya tak kuasa menahan air mata ketika mendengar cerita bahwa bukaan itu dulunya adalah permukiman warga. Sebanyak 18 rumah hanyut disapu galodo. Ratusan lainnya rusak berat. Delapan orang tewas, dua masih dalam pencarian.

Saya bertemu Ina, salah satu korban terdampak galodo. Rumahnya hilang, ibunya pun belum ditemukan. Mahasiswi Universitas Negeri Padang itu menceritakan bagaimana banjir menghantam rumah mereka, membawa ia, kakaknya, dan sang ibu hanyut bersama arus. Dada saya menghangat oleh duka yang menyesak.

Ucapan astaghfirullah berulang kali terucap setiap kali warga menunjuk bekas aliran banjir dan berkata, “Dulu di sana rumah saya. Rumah kerabat saya.”

Saya juga melihat sisa jembatan beton dan bendungan yang roboh. Luapan Sungai Kuranji begitu besar hingga alirannya berbelok ke permukiman warga, bukan lagi ke bendungan seperti sebelumnya.

Dampak banjir bandang di Salareh Aia, Palembayan, Sumatera Barat (Katadata/Wahyu Dwi Jayanto)

Dari Kota Padang, esok harinya saya bertolak ke Kabupaten Agam. Kabupaten ini menjadi wilayah dengan jumlah korban terbanyak dari seluruh kabupaten yang dilanda banjir se-Sumatra. Sebanyak 184 orang dinyatakan meninggal di kabupaten ini. 

Saya mendatangi dua kecamatan yang terdampak paling parah, yaitu Palembayan dan Malalak. Ketika mobil sudah memasuki Nagari Salareh Aia, Palembayan yang terlihat di kanan dan kiri jalan hanya lumpur. Kondisinya mengerikan. Rumah ambruk tak berbentuk, lahan warga tertutupi tanah longsor dan debu mengepul sepanjang perjalanan. 

Mobil terus menanjak ke arah timur. Saya melihat tanah lapang penuh lumpur dan batu besar. Sementara itu, eskavator terus mengeruk tanah di sekitarnya. 

Perasaan tak enak membuat saya meminta berhenti. Di sana, aparat kepolisian dan TNI memanggul puing-puing rumah. Ketika saya bertanya apa yang terjadi, seorang polisi menjawab singkat, “Dulu ini pemukiman warga. Ramai. Tapi sudah disapu galodo.”

Saya termenung memandangi hamparan tanah itu. Membayangkan sore hari ketika warga bersiap menyambut magrib, lalu tanpa aba-aba air bah datang dan menghapus satu kampung dari peta. Satu kampung telah hilang.

Perjalanan ke Malalak keesokan harinya memakan waktu empat jam, padahal normalnya hanya satu jam. Longsor menutup banyak titik jalan. Namun perjalanan panjang itu tak sebanding dengan nestapa warga Malalak. Kecamatan ini sempat terisolasi dua hari. Tak ada bantuan yang bisa masuk.

Warga membangun jembatan darurat dari batang kelapa agar tetap terhubung dengan relawan. Bantuan itulah yang mereka andalkan. Akses pasar tertutup. Mereka tak berbelanja selama 15 hari.

Karena terdesak, warga kemudian membangun jembatan darurat dari pohon kelapa agar tetap terhubung dengan relawan. Saat menghampiri warga yang sedang memilah-milih baju dan bahan makanan, mereka berujar hanya bantuan itulah yang mereka andalkan saat ini. Akses ke pasar ikut tertutup karena longsor, mereka sudah tidak berbelanja lima belas hari sejak hujan deras. 

Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah Sumatra Barat mencatat, per Kamis 17 Desember 2025, sebanyak 244 orang meninggal dan 86 orang masih dinyatakan hilang di provinsi itu. Selain itu, 12.451 rumah rusak, mulai dari kategori ringan hingga berat. 

Beberapa kisah dari mereka yang bertahan selama amuk banjir bandang menerjang saya tuliskan dalam bagian terpisah: 

Klik Judul untuk Membaca:  

Cerita Warga Bertahan Hidup saat Terseret Banjir Bandang Maut di Kota Padang

Laporan dari Agam: Duka di Kampung yang Hilang, Sepekan Setelah Banjir Bandang

Laporan dari Padang: Jejak Amuk Banjir Bandang dan Duka Warga yang Tak Hilang

Asa dari Alam Minangkabau Dampak banjir bandang dan tanah longsor di Kecamatan Malalak, Kabupaten Agam, Sumatera Barat (Katadata/Wahyu Dwi Jayanto)  

Delapan hari setelah bencana, kondisi tak banyak berubah.  Wajah-wajah penuh harap dan penantian terlihat di mana-mana. Dari beberapa warga yang saya temui, mereka masih menanti kabar di mana keluarga dan sanak saudara mereka

Setiap hari, saya terus memantau jumlah korban dari data BPBD. Jumlahnya bertambah seiring hari berganti. Saya sempat mewawancarai seorang dokter di Palembayan yang bercerita tentang lansia yang selamat setelah tertimbun lumpur selama 24 jam.

Tapi tak semua seberuntung itu. Tak banyak yang memiliki kesempatan bertemu dengan dokter atau tim penyelamat dengan cepat. Banyak korban ditemukan berhari-hari setelah tertimbun longsor. 

Saya sempat bertemu seorang anggota tim SAR yang bertugas di Malalak, dia bercerita kebutuhan tim SAR kesulitan mengevakuasi korban hilang. Setelah dua belas hari setelah bencana, memang tanah longsor sudah mengeras. 

Di sela waktu istirahat evakuasi siang itu, dia menitipkan pesan kepada saya agar dapat memberitakan bahwa mereka amat membutuhkan eskavator mini untuk mengevakuasi dan membuka akses jalan malalak yang tertutup longsor.  

“Saat ini kami sangat memerlukan ukuran 10 ton, tapi kendala di Padang kami belum menemukan unit tersebut,” kata Idri di Malalak, Agam, Sumatera Barat pada Minggu (7/12). 

Hati saya nyeri mendengarnya. Waktu dua belas hari tidak cukup baik dimanfaatkan  untuk lekas bergerak.  Mereka mencari para korban dengan alat terbatas. Tentu situasinya akan berbeda bila bantuan alat berat untuk pencarian bisa didatangkan. 

Evakuasi korban sakit di desa terisolir di Palembayan (ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan)  

Tak jauh berbeda dengan penanganan evakuasi korban, penanganan jaringan telekomunikasi dan listrik juga lambat. Pada saat di Malalak dan Palembayan, saya bahkan tidak menemukan sinyal sama sekali. Perlu berjalan sekitar sepuluh menit ke pusat kecamatan agar dapat kembali terkoneksi dan segera mengirimkan berita kepada tim di Jakarta.

Kegetiran itu makin bergejolak saat seorang warga di Palembayan, yang namanya tidak ingin disebutkan bercerita, bahwa listrik sempat pulih sebentar saat Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka meninjau langsung ke wilayah Palembayan pada Kamis (4/12) lalu. Dua hari kemudian, wilayah kembali gelap.

Saat tiba di Palembayan, saya masih melihat para petugas PLN tampak memperbaiki jaringan listrik di Palembayan. Meski berita yang bertebaran menyampaikan bahwa kondisi listrik di Sumatra Barat telah pulih 100%, nyatanya hal tersebut tidak sepenuhnya terjadi. Saat malam tiba, saya menyaksikan sendiri kegelapan di Malalak Timur. 

Duka di Pelambayan dan Malalak hanyalah setitik cerita. Saat bersamaan bencana banjir dan longsor juga melanda wilayah lain di Sumatra Utara dan Aceh. Data BNPB menyebutkan sebanyak 52 kabupaten dan kota di tiga provinsi yang terdampak. 

Saya tak bisa bayangkan betapa berapa hidup warga di lokasi terdampak. Andai bencana bisa dimitigasi lebih awal. Padahal, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika telah menyatakan bahwa 17 November telah dideteksi Pusat Tekanan Rendah (Low Pressure Area). Pers rilis BMKG telah menegaskan pentingnya pemerintah daerah untuk mulai waspada atas potensi bencana hidrometeorologi. 

Kemudian, tanggal 21 November 2025, BMKG menyatakan bahwa pusat tekanan rendah telah menjadi Bibit Siklon. Kedua informasi ini menunjukkan bahwa peringatan dini sudah cukup menjelaskan adanya potensi bencana. Namun, peringatan itu tak direspons dengan kesiapsiagaan yang memadai.

Selama empat hari meliput wilayah terdampak, dapat saya rangkum kebutuhan para korban saat dini. Di antaranya kepastian relokasi rumah, bantuan logistik dan bantuan terhadap pekerjaan-pekerjaan mereka yang hilang dibawa banjir. Misalnya pabrik dan lahan penduduk.

Ketika Hutan Minangkabau Hanyut ke Muara Sampah kayu gelondongan pascabanjir bandang (ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra/YU)  

Hujan deras yang melanda Wilayah Sumatra Barat selama tiga hari berturut-turut disinyalir menjadi salah satu penyebab banjir besar. Selama saya berada di Sumatra Barat saat itu, saya bahkan tak pernah lepas dari hujan. Intensitasnya terbilang tinggi. 

Musim hujan yang melanda wilayah Sumatra Barat memang kerap menyebabkan banjir di beberapa titik. Namun para warga menyebut banjir kali ini seperti tsunami. 

Selain faktor intensitas hujan yang tinggi, dugaan adanya deforestasi dan tata letak permukiman yang tidak tepat membuat bahala ini semakin menakutkan.

Jika memperhatikan peta Padang dengan cermat, gelondongan kayu kami temukan saat liputan di Pantai Parkit, berasal dari dari aliran sungai di kawasan Busuak yang di hulu nya berada di bukit barisan. Ribuan kayu itu hanyut dari hulu bukit ke muara. 

Kondisi kayu-kayu tersebut bervariasi. Ada yang memiliki akar dan ada yang tidak. Ukuran panjang kayu juga beragam. Ada yang sekitar dua hingga tiga meter, ada yang lebih. Namun kebanyakan, kayu-kayu tersebut memiliki ukuran yang sama. 

Saat berada di lapangan, saya sempat bertemu Dinas Kehutanan setempat. Dia bersama tim sedang mengambil sampel kulit kayu-kayu gelondongan untuk dicocokkan dengan pohon yang berada di bukit barisan, diduga tempat kayu-kayu itu berasal. 

Dalam tata kelola, pemerintah perlu melakukan relokasi rumah-rumah warga terdampak ke wilayah yang lebih aman. Saya memperhatikan, saat perjalanan menuju Palembayan dan Malalak, kampung-kampung yang tersapu banjir berada di kaki bukit. 

Di belakang pemukiman merupakan aliran selokan, warga menyebutnya sebagai banda. Karena intensitas hujan yang tinggi membuat banda menjadi meluap. Alhasil, perumahan yang berada di dekat banda tak terelakkan dari banjir.

Nestapa di Ranah Minang bukan sekadar catatan tentang hujan yang jatuh terlalu lama. Ia adalah kisah tentang peringatan yang datang lebih dulu, tetapi tak segera direspons; tentang hutan yang tergerus, sungai yang meluap, dan kampung-kampung yang berdiri terlalu dekat dengan bahaya.

Perjalanan ini berakhir, tetapi duka warga Ranah Minang belum. Selama peringatan dini masih berhenti di meja rapat, selama relokasi dan pemulihan berjalan lambat, dan selama alam terus diperlakukan tanpa kehati-hatian, galodo akan selalu menemukan jalannya sendiri.

Dan di tanah yang pernah saya jejaki itu, nestapa bukan hanya milik masa lalu. Ia adalah peringatan agar bahala tak kembali datang dengan nama yang sama, di tempat yang sama. 

Leave a Comment